Belasan aktivis perguruan tinggi dan organisasi sipil mendesak Presiden mengevaluasi kinerja panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK. Alasannya, 20 nama yang muncul sejauh ini tidak memberi harapan bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan.
“Presiden perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja Pansel, sebab banyak kritikan dan masukan publik tidak dihiraukan. Presiden harus membuktikan komitmen memperkuat KPK, dengan tidak memilih nama-nama Capim yang terindikasi bermasalah. Bagaimanapun, hasil kerja Pansel menjadi cermin sikap Presiden. Tanpa ketegasan dan kepemimpinan Presiden, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak akan berhasil,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Hasrul Halili dari Pukat FH UGM membacakan butir keempat tuntutan belasan aktivis kepada Presiden Joko Widodo. Tuntutan ini berhulu dari hasil kerja Pansel Capim KPK sejauh ini, yang melahirkan lebih banyak nama-nama yang patut dipertanyakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Tuntutan ini disampaikan oleh individu, lembaga di perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat.
Turut di dalamnya antara lain MHH PP Muhammadiyah, Pusham UII, ICM, LBH Yogyakarya, IDEA, PIA, AJI Yogyakarta, Walhi Yogyakarta, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwo Santoso, mantan penasehat KPK Suwarsono, dan aktivis seperti BivitriSusanti (STIH Jentera), Widodo D Putro (FH Unram) dan Herlambang (FH Unair), Lukas Ispandriarno (Atmajaya) dan aktivis HAM, Usman Hamid.
Selain soal evaluasi, tuntutan itu juga memuat kekecewaan para aktivis karena Pansel tidak memandang penting syarat laporan harta kekayaan Capim KPK. Pansel juga dinilai tidak memperhatikan rekam jejak calon. Menurut mereka dari 20 calon yang lolos, ada yang tidak taat dalam pelaporan LHKPN, diduga pernah terlibat pelanggaran etik, menghalangi kerja KPK, bahkan ada yang diduga pernah menerima gratifikasi. Butir ketiga tuntutan ini mendesak Pansel Capim KPK transparan serta mempertimbangkan masukan publik dalam melakukan seleksi.
Usman Hamid mengatakan, ada tiga upaya pelemahan KPK yang selama ini telah dilakukan.
“Pelemahan institusional melalui Pansel. Integritas, keahlian dan komposisi yang meragukan akibat konflik kepentingan. Pelemahan melalui pembiaran serangan fisik tanpa ada penegakan hukum dan pelemahan melalui labelisasi, adalah tiga gejala yang hari ini merefleksikan pertarungan kepentingan besar dan konflik prioritas antara pemerintah dan KPK,” kata Usmad Hamid.
Secara rinci, Usman Hamid mengatakan integritas, keahlian, dan komposisi anggota Pansel memang menimbulkan keragu-raguan sejak awal. Keraguan pada kinerja yang tidak akan menghasilkan pemberantasan korupsi yang diinginkan sejak awal, yaitu korupsi politik dan penegakan hukum.
Pelemahan kedua, kata Usman, adalah melalui pembiaran serangan fisik yang dialami petugas KPK.
“Pemukulan penyidik KPK di Hotel Borobudur, serangan terhadap Novel Baswedan, pemukulan terhadap penyidik Afif, dan ada banyak kasus yang dalam dua tahun terakhir, sejak Novel diserang tidak ada satupun yang dibuka oleh penegak hukum,” kata Usman.
Pelemahan ketiga dilakukan melalui labelisasi dan tuduhan negatif terhadap KPK atau para penyidik yang selama ini sangat diandalkan dan tidak diragukanintegritasnya, seperti Novel Baswedan. Pelabelan ini, misalnya, dengan menyebut sekelompok penyidik KPK seperti Novel sebagai penyidik garis keras dan tidak pro-NKRI dan Pancasila, sehingga tak perlu dibela.
Mantan Panasehat KPK, Suwarsono mengakui, lembaga itu memiliki posisi unik. Banyak pihak mendukung, tetapi banyak juga yang merasa terganggu. Karena posisinya itulah, ujar Suwarsono, KPK sepanjang hidupnya akan berada dalam posisi yang disebut sebagai political trap atau jebakan politik.
“Harus hati-hati, karena yang menunggu KPK berbuat salah itu banyak. Tetapi keresahan kali ini memang jauh lebih sungguh-sungguh dibandingkeresahan sebelumnya, setiap kali ada pemilihan pimpinan KPK,” kata Suwarsono.
Keresahan yang disebut Suwarsono adalah reaksi dari masyarakat sipil atas kinerjaPanselCapim KPK, yang sejauh ini justrukerjanya tidak memberi harapan. Dia menambahkan, dalam posisi ini presiden harus turun tangan. Dalam sejarah pemberantasan korupsi, tidak ada yang dapat sepenuhnya dibebankan kepada KPK atau rakyat saja. Presiden harus berada dalam posisi terdepan untuk menunjukkan komitmennya.
“Fokus kita, adalah mendesak Presiden agar sedikit atau banyak melakukan intervensi, agar pilihan Pansel itu menjadi lebih baik. Kenapa kali ini kita ajukan ke Presiden? Karena itulah kemungkinan satu pintu yang masih terbuka. Karena terbukti, ketika kita melakukan kritik kepada Pansel, itu tidak didengarkan. Dan harapan saya, ketika ada kritik tajam dari masyarakat, Presiden akan mendengarkan. Kita semua masih percaya pada Presiden. Dan harapan kami, Presiden tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu,” papar Suwarsono.
Pakar hukum Bivitri Susanti menilai, sejak awal Pansel memang sudah bermasalah. Sayangnya, untuk setiap kritik yang disampaikan kepada mereka, Pansel selalu bersikap defensif. Suara keras yang disampaikan beberapa kali oleh kalangan LSM, misalnya, dibalas Pansel dengan penilaian bahwa kekritisan itu karena calon yang didukung masyarakat sipil tidak lolos. Respons semacam ini sangat disayangkan.
Konflik kepentingan antara anggota Pansel dan sejumlah nama Capim KPK sangat jelas terlihat. Hal itu terwujud, misalnya dalam proses penelusuranprofil calon, yang tidak menghasilkan data berarti. Sekali lagi, Bivitri memberi contoh, ada nama yang jelas-jelas bermasalah dengan KPK secara internal, dan dibuktikan melalui investigasi sejumah media, namun tetap diloloskan.
“Dengan itu semua, maka ingin kami tanyakan, pilihan Pansel ini, yang mencerminkan Presiden itu membayangkan KPK ke depan akan seperti apa. Salah satu poin penting dalam Nawacita adalah pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan penguatan KPK. Apa betul dengan Capim-Capim ini KPK bisa dikuatkan? Ini pertanyaan retorik, karena cukup jelas sebenarnya itu tidak ada terjadi,” kata Bivitri.
Ada 20 nama Capim KPK yang lolos dan saat ini sedang mengikuti uji publik. Dari proses ini, Pansel akan memilih 10 nama untuk diserahkan kepada Presiden Jokowi. Sepuluh nama itu akan dibawa ke DPR untuk kemudian dipilih lima komisioner terpilih, yang akan bekerja selama empat tahun ke depan. Jokowi diharapkan menggunakan kewenangan dan pengaruhnya, agar Pansel benar-benar memilih sepuluh nama yang memberi harapan bagi Indonesia ke depan. [ns/uh]