Presiden Didesak Segera Kirim Utusan Khusus ke Papua

  • Wella Sherlita

Pelajar Papua Barat saat melakukan demonstrasi atas pelanggaran HAM di Papua (foto dok. 2008)

LIPI mendesak Presiden Yudhoyono segera mengirim utusan khusus ke Papua, menyusul rencana dialog antara pemerintah pusat dengan Papua.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat tidak ada kemajuan yang berarti selama sembilan tahun pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Papua. Intensitas kekerasan yang mengarah pada pelanggaran HAM terhadap masyarakat, yang dilakukan oleh aparat TNI dan Polri bahkan meningkat. Hal ini dikemukakan peneliti Papua dari LIPI, Dr. Muridan Widjojo, dalam diskusi bertajuk “Meretas Jalan Damai Papua”, di Jakarta hari Senin.

LIPI mendesak Presiden Yudhoyono segera mengirimkan utusan khusus (special envoy), untuk segera memulai dialog atau yang dalam bahasa Presiden “Komunikasi Konstruktif”, dengan Papua.

“Sekarang pemerintah menghadapi kenyataan bahwa masalah otsus bukan masalah sosial ekonomi tetapi juga masalah politik, sehingga mereka mendorong dialog tetapi namanya 'komunikasi konstruktif'. Kalau Presiden SBY memang betul ingin melakukan komunikasi konstruktif, supaya beliau segera menunjuk utusan khusus untuk bicara dengan orang asli Papua. Utusan khusus itu penting karena selama ini komunikasi politik (dengan Papua) itu macet,” ungkap Muridan Widjojo.

Dari catatan LIPI, sepanjang tahun 2010 telah terjadi 17 kali kontak senjata dan serangan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Puncak Jaya. Sementara dari segi pembangunan ekonomi -- yang menjadi mandat utama otonomi khusus, tidak ada pemanfaatan pembangunan yang cukup layak, meskipun dana trilyunan rupiah telah dikucurkan setiap tahun.

Usulan untuk mengirimkan utusan khusus ini disambut baik oleh Menteri Perhubungan, Freddy Numberi. Kepada VOA, Numberi menilai Presiden Yudhoyono perlu memikirkan cara-cara di luar sistem yang selama ini dijalankan pemerintah.

Demonstrasi OPM di Papua.

“Mungkin juga bukan orang dalam sistem, dia harus netral, tidak punya kepentingan pada pemerintah pusat dan daerah. Saya belum tahu siapa orangnya, Presiden belum sampaikan. Buat saya tidak harus orang Papua, yang penting dia cinta Papua dan memahami anatomi permasalahan di Papua,” jelas Freddy Numberi.

Freddy Numberi adalah mantan Gubernur Papua pada awal masa reformasi, yang ikut merumuskan otonomi khusus Papua.

Saat ditanyakan lebih lanjut, apakah dialog dengan Papua juga perlu melibatkan para investor utama di provinsi itu, seperti perusahaan tambang emas Amerika Serikat, Freeport dan perusahaan minyak British Petroleum (BP), Freddy Numberi mengisyaratkan hal itu dimungkinkan.

“Mungkin ada orang Papua yang tidak puas, selama ini kan Freeport hanya mengembalikan ke daerah hanya 2%, mungkin nanti ada orang Papua yang minta Freeport mengembalikan (bagi hasil tambang) 30%, Freeport perlu mendengar juga dalam diskusi itu, nah tapi ini hanya misalnya saja…”

LIPI telah mengeluarkan empat rekomendasi bagi pemerintah Indonesia untuk mewujudkan perdamaian di Papua. Empat rekomendasi itu adalah perlindungan atas diskriminasi terhadap orang asli Papua, paradigma baru pembangunan yang disesuaikan dengan kondisi budaya dan geografis Papua, rekonsiliasi dan pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan sekarang, serta dialog antara Jakarta dan Papua untuk mengakhiri konflik politik.