Dalam catatan akhir tahunnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa pemerintah daerah merupakan pelanggar HAM tertinggi pada tahun 2010.
Selama Januari hingga Oktober 2010, setidaknya Komnas HAM menerima 2.000 pengaduan kasus pelanggaran HAM dari seluruh wilayah Indonesia. Pihak yang banyak diadukan adalah pemerintah daerah, sebanyak 1.000 kasus, baik pelanggaran HAM yang berdimensi sipil, politik maupun ekonomi, sosial dan budaya.
Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim menilai hal tersebut disebabkan para penyelenggara pemerintahan daerah tidak sensitif terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Pelanggaran yang dilakukan pemerintah daerah banyak dilakukan pada kasus sengketa lahan dalam konteks perkebunan dan pertambangan. Selain itu pemerintah daerah juga sangat lemah terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penyusunan kebijakan publik di daerah dalam bentuk perda.
Hingga tahun 2010, ribuan perda diprotes oleh masyarakat di daerah karena telah menjerat dan memperberat beban sosial dan ekonomi, serta memicu munculnya kekerasan dan konflik vertikal maupun horizontal di tengah masyarakat.
“Karena sekarang yah sejak desentralisasi itu pemerintah daerah juga punya peranan dalam memberikan izin-izin perusahaan tambang, izin perusahaan perhutanan dan sebagainya. Pemerintah daerah berfungsi sebagai regulator, dia juga menjadi pihak yang sangat aktif memberikan perlindungan terhadap korporasi yang invest di daerahnya itu. Diluar sengketa lahan yah, lebih banyak memang peraturan-peraturan daerah yang dibuat untuk mengontrol perilaku masyarakatnya,” ungkap Ifdal Kasim.
Menurut Ifdal Kasim kasus konflik sengketa lahan yang melibatkan pemerintah daerah paling banyak terjadi di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jambi dan Kepulauan Riau.
“Kekerasan maupun tindakan-tindakan penyiksaan, penembakan dan sebagainya itu juga terjadi dalam konteks konflik kepemilikan lahan, itu sangat tinggi di daerah Sumur, Sulut, Jambi dan Keppri. Nah ini semua basisnya konflik lahan,” jelas Ifdal Kasim.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida mengatakan sistem desentralisasi yang ditandai dengan proses pembangunan di daerah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dan saling terkait dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Banyaknya pemerintah daerah yang melakukan pelanggaran HAM menurut La Ode Ida salah satunya disebabkan tidak adanya pengawasan pemerintah pusat ke daerah pasca otonomi daerah dilakukan.
“Kewenangan pusat melakukan supervisi kepada daerah. Jangankan melakukan supervisi, instrumen untuk melakukan supervisi dalam pembuatan kebijakanpun tidak ada,” ujar La Ode Ida.
Ifdal Kasim mengatakan pihaknya akan terus memberikan pemahaman tentang HAM kepada kepala daerah melalui workshop dan sejumlah kegiatan lainnya.