Kejaksaan Agung mengaku belum mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus Munir karena tidak ada bukti baru.
Belum terungkapnya otak pelaku pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia, Munir, meski sudah delapan tahun berlalu membuat Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM) melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki keberanian untuk menuntaskan kasus tersebut.
Koordinator KASUM, Chairul Anam, mengatakan kasus ini bukan lagi soal teknis hukum, melainkan kemauan politik.
“Saya yakin ini bukan lagi persoalan peninjauan kembali (PK) Jaksa Agung sehingga kasus ini terhenti, tapi ini persoalan presiden yang tidak berani mengambil langkah konkrit dan menepati janjinya. Kasus Munir ini harus selesai karena ini tantangan bagi sejarah peradaban Indonesia,” ujarnya pada Selasa (17/7).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan tengah berupaya melakukan Peninjauan Kembaliatas vonis bebas mantan Deputy 5 Badan Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono dalam kasus pembunuhan Munir.
Namun Jaksa Agung Basrief Arief Selasa mengatakan hingga kini pihaknya belum memperoleh adanya ada bukti baru (novum) sebagai prasyarat diajukannya PK.
“Kalau melanjutkan kasusnya Munir, masalahnya di situ. Dalam PK itu harus ada satu novum, atau adanya kekeliruan hakim dalam memutuskan itu. Nah kita belum memperoleh itu,” ujarnya di Jakarta.
Chairul Anam kepada Voa memastikan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dengan menyerahkan bukti-bukti baru yang memastikan adanya peran kuat Mayjen Muchdi dalam kasus pembunuhan Munir.
Sekitar satu setengah bulan yang lalu KASUM menyampaikan ada novum dan sudah diberikan kepada Kejaksaan Agung, ujar Chairul.
“Yang pertama dan yang kami dapatkan terakhir itu soal pernyataan Badan Intelijen Negara (BIN) secara formal di bawah yurisdiksi Komisi Informasi Pusat yang mengatakan Muchdi tidak pernah mendapat penugasan ke Malaysia. Yang kedua pengakuan adanya rekaman suara antara Muchdi dengan Policarpus. Waktu itu kami mendapat pengakuan suara tersebut dari pihak Kejaksaan, yang kami temui satu hari menjelang berkas perkara Muchdi dikirim dari Kejaksaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Bambang Widodo Umar, mengatakan sulitnya pengungkapan kasus-kasus HAM di Indonesia, tidak terlepas dari adanya tarik menarik kepentingan politik.
“Masalah HAM di Indonesia hampir di beberapa kasus sampai saat ini belum terungkap dengan tuntas. Saya melihat indikator ini ada kecenderungan tarik menarik di dalam konteks kepentingan politik. Hal-hal yang demikian sebetulnya jangan sampai terjadi di lingkungan penegak hukum Indonesia. Akan tetapi karena kondisi struktur lembaga penegak hukum Indonesia seperti kepolisian dan jaksa agung ada di bawah eksekutif, maka kemungkinan intervensi bisa saja terjadi,” ujarnya.
Munir tewas diracun pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Putusan kasasi Mahkamah Agung pada 15 juni 2009 memvonis bebas mantan Deputy 5 Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono terkait kasus pembunuhan Munir. Vonis kasasi Mahkamah Agung ini, senada dengan vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008, yang memvonis bebas mantan komandan Komando Pasukan Khusus itu.
Koordinator KASUM, Chairul Anam, mengatakan kasus ini bukan lagi soal teknis hukum, melainkan kemauan politik.
“Saya yakin ini bukan lagi persoalan peninjauan kembali (PK) Jaksa Agung sehingga kasus ini terhenti, tapi ini persoalan presiden yang tidak berani mengambil langkah konkrit dan menepati janjinya. Kasus Munir ini harus selesai karena ini tantangan bagi sejarah peradaban Indonesia,” ujarnya pada Selasa (17/7).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan tengah berupaya melakukan Peninjauan Kembaliatas vonis bebas mantan Deputy 5 Badan Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal Purnawirawan Muchdi Purwoprandjono dalam kasus pembunuhan Munir.
Namun Jaksa Agung Basrief Arief Selasa mengatakan hingga kini pihaknya belum memperoleh adanya ada bukti baru (novum) sebagai prasyarat diajukannya PK.
“Kalau melanjutkan kasusnya Munir, masalahnya di situ. Dalam PK itu harus ada satu novum, atau adanya kekeliruan hakim dalam memutuskan itu. Nah kita belum memperoleh itu,” ujarnya di Jakarta.
Chairul Anam kepada Voa memastikan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dengan menyerahkan bukti-bukti baru yang memastikan adanya peran kuat Mayjen Muchdi dalam kasus pembunuhan Munir.
Sekitar satu setengah bulan yang lalu KASUM menyampaikan ada novum dan sudah diberikan kepada Kejaksaan Agung, ujar Chairul.
“Yang pertama dan yang kami dapatkan terakhir itu soal pernyataan Badan Intelijen Negara (BIN) secara formal di bawah yurisdiksi Komisi Informasi Pusat yang mengatakan Muchdi tidak pernah mendapat penugasan ke Malaysia. Yang kedua pengakuan adanya rekaman suara antara Muchdi dengan Policarpus. Waktu itu kami mendapat pengakuan suara tersebut dari pihak Kejaksaan, yang kami temui satu hari menjelang berkas perkara Muchdi dikirim dari Kejaksaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Bambang Widodo Umar, mengatakan sulitnya pengungkapan kasus-kasus HAM di Indonesia, tidak terlepas dari adanya tarik menarik kepentingan politik.
“Masalah HAM di Indonesia hampir di beberapa kasus sampai saat ini belum terungkap dengan tuntas. Saya melihat indikator ini ada kecenderungan tarik menarik di dalam konteks kepentingan politik. Hal-hal yang demikian sebetulnya jangan sampai terjadi di lingkungan penegak hukum Indonesia. Akan tetapi karena kondisi struktur lembaga penegak hukum Indonesia seperti kepolisian dan jaksa agung ada di bawah eksekutif, maka kemungkinan intervensi bisa saja terjadi,” ujarnya.
Munir tewas diracun pada 7 September 2004 dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Putusan kasasi Mahkamah Agung pada 15 juni 2009 memvonis bebas mantan Deputy 5 Badan Intelijen Negara Muchdi Purwoprandjono terkait kasus pembunuhan Munir. Vonis kasasi Mahkamah Agung ini, senada dengan vonis dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008, yang memvonis bebas mantan komandan Komando Pasukan Khusus itu.