Hal ini karena warga Filipina umumnya menyambut baik bantuan yang diberikan oleh militer Amerika, meski ada kenangan yang tidak menyenangkan pada era kolonial Amerika.
Presiden Rodrigo Duterte berusia 71 tahun, yang dikenal karena pernyataan-pernyataan keras dan sikap tidak percaya terhadap Amerika, pekan lalu mengatakan ia tidak akan mengijinkan kekuatan asing membantu patroli di wilayah laut yang disengketakan di dekat Laut China Selatan, kebijakan yang tampak bertentangan dengan perjanjian yang dicapai dengan pendahulunya dengan imbalan bantuan dari Amerika. China adalah saingan utama Filipina dalam klaim wilayah itu.
Sehari sebelumnya, Presiden Duterte menyerukan kepada tim penasehat militer Amerika untuk meninggalkan wilayah selatan Mindanao – sebuah pulau di mana pasukan Filipina sedang memerangi pemberontak Muslim. Tetapi Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay kemudian mengatakan Duterte tidak akan keluar dari perjanjian bantuan militer Amerika.
Beberapa analis di Manila mengatakan dalam kedua kasus itu, Duterte mungkin bicara terlalu terburu-buru.
‘’Presiden Duterte sangat terbuka dan terlalu transparan tentang perasaan dan sikap pribadinya, dan saya kira khusus dalam pernyataan ini, mungkin ada ekspresi pribadi yang disampaikan," ujar Jay Batongbacal – Direktur Institut Urusasn Maritim dan Hukum Laut di Universitas Filipina.
Kedutaan Besar Amerika di Manila menyebut aliansi Amerika dan Filipina sebagai salah satu yang paling ‘’penting dan abadi” di Asia Pasifik.
“Aliansi itu telah menjadi tonggak stabilitas selama lebih dari 70 tahun”, ujar juru bicara kedutaan itu melalui email. Ditambahkannya, “aliansi itu menunjukkan pengorbanan demokrasi dan HAM, dan hubungan antar-individu dan masyarakat yang kuat.”
Kedutaan Besar Amerika di Manila menolak mengomentari pernyataan Duterte pekan lalu.
Pasukan Amerika membantu unit-unit lokal menyelidiki ancaman penculikan, analisa forensik dan “pembentukan lembaga” penyelidik kejahatan dunia maya, tambah juru bicara itu.
Pasukan Amerika telah membantu memerangi gerilyawan Filipina di Mindanao selama 14 tahun dan mendanai operasi-operasi kontra-terorisme. Salah satu kelompok – Abu Sayyaf – telah melawan upaya Duterte untuk memberantas mereka. Bentrokan itu telah menewaskan warga sipil, gerilyawan dan militer. Bulan ini Duterte menyalahkan daerah itu sebagai kawasan tanpa hukum guna membantu mengkoordinir militer dan polisi.
Dua tahun lalu Filipina dan Amerika menandatangani Perjanjian Peningkatan Kerjasama Pertahanan yang membuat pasukan Amerika bisa dirotasi di dalam dan luar Filipina, dan membangun atau mengoperasikan fasilitas militer.
Penolakan Duterte pekan lalu terhadap hubungan kerjasama ini mungkin mengisyaratkan bahwa pemerintahnya mulai beralih ke China, yang baru-baru ini kalah di pengadilan arbitrase yang menyidangkan klaim maritim di Laut China Selatan. Pendahulu Duterte adalah pihak yang mengajukan gugatan hukum tersebut. [em/jm]