Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan pengaduan masyarakat atas kasus intoleransi beragama mengalami peningkatan.
Dalam tiga bulan pertama tahun 2015, lembaga hak asasi manusia itu mencatat adanya kenaikan 30 persen dibanding tahun lalu pengaduan masyarakat soal intoleransi beragama. Kasus penyerangan rumah ibadah masih mendominasi peristiwa intoleransi beragama yang terjadi saat ini.
Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahman, Jumat (10/4) mengatakan memburuknya toleransi beragama ini tidak hanya sehubungan dengan jumlah kasus tetapi juga kualitas tindak pelanggaran kebebasan beragama. Dia mengatakan aparat negara terlibat dalam meningkatnya kasus intoleransi antarumat beragama di Indonesia.
Aparat, menurutnya, disebut sering kali melakukan pembiaran saat kasus kekerasan terjadi. Komnas HAM, tambah Imdadun, belum melihat langkah konkret Presiden Joko Widodo dalam memperbaiki situasi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Imdadun juga menyayangkan tidak masuknya Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama dalam program legislasi nasional 2015-2019, padahal aturan tersebut sangat penting dalam melindungi umat beragama.
"Ada banyak kasus, Komnas HAM menerima banyak pengaduan tetapi ada beberapa yang menjadi perhatian publik. Kami berharap kasus-kasus itu diselesaikan," ujarnya.
Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik menilai pemerintah gagal mendidik kelompok mayoritas untuk bersikap toleran terhadap kaum minoritas yang menganut agama atau keyakinan berbeda.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin membantah jika dikatakan aparat telah melakukan pembiaran dalam kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Menurutnya, kasus intoleransi beragama lebih disebabkan minimnya pengetahuan agama yang dianut sekelompok masyarakat. Untuk itu, Kementerian Agama tambahnya selalu memberikan pembinaan kepada masyarakat agar kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak terjadi lagi.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Refendi Djamin menilai pasca ratifikasi kovenan sipil dan politik, perlindungan hak asasi manusia di Indonesia tidak kunjung membaik.
Menurutnya, bahkan dalam rentang waktu beberapa tahun ini, perlindungan hak sipil dan politik belum mencapai cita-cita yang menjamin setiap orang bebas dari tindakan penyiksaan, bebas menyakini agama dan menjalankan Ibadah sesuai dengan keyakinannya, menjamin hak berpendapat yang dilakukan secara damai, khususnya di Papua, serta tindakan lainnya.
"Ketika terjadi upaya untuk secara canggih menutupi problem yang riil yang ada dalam pelaksanaan hak sipol maka yang keluar adalah rekomendasi yang tidak relevan bahkan menjadi tidak efektif, tidak mengena pada sasaran nya menuju perbaikan yang signifikan. Jadi mengandaikan adanya keterbukaan tersebut menjadi penting untuk mendapatkan seperangkat rekomendasi yang berguna bagi perlindungan hak sipil dan politik di Indonesia," ujarnya.