Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas telah menunjuk Mohammed Mustafa, penasihat urusan ekonomi yang telah lama dipercaya, sebagai perdana menteri, kata kantor berita resmi Wafa, pada Kamis (14/3).
Penunjukan Mustafa dilakukan kurang dari tiga minggu setelah pendahulunya, Mohammed Shtayyeh, mengundurkan diri, dengan alasan perlunya ada perubahan setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, yang memicu kembali pecahnya perang dengan Israel di Gaza.
Pria berusia 69 tahun itu kini menghadapi tugas untuk membentuk pemerintahan baru Otoritas Palestina, yang memiliki kekuasaan terbatas di beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.
Sejak 2007, kendali atas wilayah Palestina telah terbagi ke dalam dua bagian, Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Abbas memegang wilayah Tepi Barat, sedangkan Hamas di Jalur Gaza.
BACA JUGA: Ribuan Warga Israel Tuntut Pria Yahudi ultra-Ortodoks Tidak Dikecualikan Dari Wajib MiliterMustafa, yang lulusan George Washington University di Amerika Serikat, merupakan anggota komite eksekutif independen Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didominasi gerakan Fatah yang saat ini berkuasa.
Ia telah menduduki jabatan sebagai wakil perdana menteri bidang ekonomi, dewan di Dana Investasi Palestina dan bekerja di sejumlah posisi senior di Bank Dunia.
Ia juga pernah menjadi penasihat pemerintah Kuwait dan dana kekayaan negara Arab Saudi Dana Investasi Publik.
Mustafa juga terlibat dalam upaya rekonstruksi di Gaza setelah invasi Israel tahun 2014.
Orang kepercayaan
Penunjukan Mustafa merupakan upaya untuk memperkuat institusi Palestina dan “menutup beberapa celah dalam Otoritas Palestina,” ketika Abbas tengah “dikepung dan berada di bawah tekanan” Israel dan Amerika Serikat, kata pengamat Palestina, Abdul Majeed Sweilem, kepada AFP.
Mustafa kemungkinan besar akan "dapat diterima oleh Amerika karena ia mengikuti pendekatan liberal," tambah Sweilem.
Gedung Putih pada hari Kamis menyambut baik penunjukan Mustafa dan menyerukan agar dia melakukan “reformasi yang kredibel dan berjangkauan luas” saat mempersiapkan kabinetnya.
“Otoritas Palestina yang sudah direformasi menjadi sangat penting untuk memberikan hasil bagi rakyat Palestina dan menciptakan stabilitas di Tepi Barat dan Gaza,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Adrienne Watson, dalam sebuah pernyataan.
BACA JUGA: PBB: Serangan Israel ke Pusat Bantuan Gaza Tewaskan 1 Staf UNRWANamun, analis politik dan penulis Khalil Shaheen mengatakan, kedekatan Mustafa dengan Abbas membatasi prospek perubahan besar.
"Pada akhirnya, (Mustafa) tetap menjadi tangan kanan Presiden Abbas... Abbas ingin menunjukkan bahwa dia mendukung reformasi, namun reformasi itu tetap berada di bawah kendalinya," kata Shaheen.
Perang Gaza kali ini kembali pecah setelah militan Hamas menyerang Israel selatan pada tanggal 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.160 orang, di mana sebagian besarnya adalah warga sipil, menurut penghitungan AFP atas data Israel.
Pada gilirannya, serangan balasan militer Israel ke Gaza telah menewaskan sedikitnya 31.341 orang, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan wilayah tersebut.
Selama perang, kekerasan di Tepi Barat telah mencapai level yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam dua dekade terakhir.
Pasukan dan pemukim Israel telah membunuh sedikitnya 430 warga Palestina di Tepi Barat sejak perang Gaza dimulai, menurut kementerian kesehatan di Ramallah.
Amerika Serikat dan negara-negara lain telah menyerukan reformasi Otoritas Palestina untuk mengambil alih seluruh wilayah Palestina setelah perang berakhir.
Sementara pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak rencana kedaulatan Palestina pascaperang.
Tak lama setelah pengunduran diri Shtayyeh pada akhir Februari, faksi-faksi Palestina termasuk Hamas dan Fatah berpartisipasi dalam perundingan yang diselenggarakan oleh Rusia untuk membahas perang di Gaza dan rencana pascaperang.
Setelah itu, faksi-faksi tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka akan mengupayakan “kesatuan tindakan” dalam menghadapi Israel. [rd/rs]