Presiden SBY memastikan pembahasan rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah dibahas DPR, terus dilanjutkan.
JAKARTA —
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung penuh pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah dibahas DPR, tetap dilanjutkan.
Juru Bicara Kepresidenan RI, Julian Aldrin Pasha kepada VOA, Rabu (26/2) mengatakan jika memang ada materi dalam revisi undang-undang itu dirasa melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih terbuka peluang untuk dilakukan perbaikan.
"Posisi Pemerintah sekarang adalah meneruskan pembahasan tersebut bersama dengan DPR RI. Nah nanti tinggal tinggal dilihat, kalau memang betul sifatnya ada yang kontra produktif atau tidak sejalan dengan semangat upaya pemberantasan korupsi sebagaimana yang menjadi komitmen bersama dari Pemerintah, maka ya tentu akan ada ruang pembahasan dan waktu di dalam pembahasan di DPR RI. Kita terbuka saja dalam hal ini," kata Julian Aldrin Pasha.
Lebih lanjut dikatakan Julian Aldrin Pasha, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung pembahasan RUU kuhp dan KUHAP di DPR tetap berlanjut, namun menurutnya tidak ada niat dari Presiden untuk melemahkan KPK.
"Dari awal pemerintahan Presiden SBY jelas bahwa komitmen beliau tidak berubah ya, terhadap penanganan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini tentu yang kita tahu bahwa KPK sebagai komisi yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi mendapat support dan dukungan penuh dari Presiden. Jadi tidak ada sedikit pun niat untuk melakukan upaya untuk memperlemah KPK," lanjut jubir Presiden.
Sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM memastikan pembahasan revisi KUHP tidak akan mengurangi kewenangan KPK. Wakil Menteri Hukum dan HAM Deni Indrayana mengatakan kemenkumham mendukung jika memang ada aturan yang ingin dikhususkan kepada KPK.
"Tidak ada pelemahan KPK, tidak ada pelemahan kepada institusi penegak hukum manapun ya. Kalau ternyata ada aturan-aturan yang ingin dikhususkan kepada KPK kami dukung. Jadi misalnya kalau KPK ingin melakukan penyitaan dan penggeledahan tidak memerlukan izin dari hakim kami dukung. Tapi sebenarnya tentang itu perlu diatur agar lebih baik," kata Deni Indrayana.
Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan, sulit menghentikan pembahasan sebuah rancangan undang-undang yang tengah dilakukan DPR dengan pemerintah. Apalagi menurutnya, RUU KUHP dan KUHAP itu telah masuk di program legislasi nasional DPR yang ditargetkan selesai sebelum periode berakhirnya periode DPR di September 2014. Ia memastikan tidak ada upaya untuk melemahkan kewenangan KPK dalam menjalankan tugasnya.
"Saya setuju tidak usah dihentikan (pembahasannya), tapi mungkin diperbaiki prosesnya. Di dalam revisi undang-undang itu ada banyak sekali agenda pembaharuan hukum. Pelaksanaan diversi, kemudian pembekuan harta pedagang manusia yang selama ini belum dilakukan. Termasuk juga non corporal punishment untuk anak-anak dan penguatan HAM ya. Semua itu masak harus di buyarkan hanya karena KPK keberatan pasal penyadapan, kan gak fair . saya harapkan KPK dilibatkan dalam tim pemerintah untuk bersama-sama membahas. Dan draft itu bisa berubah kok, selama belum di gedok (ketok palu) itu masih bisa di rubah," kata Eva Kusuma Sundari.
Ahli tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih kepada VOA mengatakan jika pembahasan ruu ini tetap dilanjutkan, maka dikhawatirkan akan menghasilkan produk perundangan yang tidak sesuai harapan.
"Pemerintah 'kan bisa saja menarik kembali, kenapa enggak? Kinerja KPK tidak akan dapat dilemahkan jika seandainya undang-undang diluar KUHAP yaitu Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak dicabut. Ini bukan waktu yang tepat. Ini tersisa lima bulan, diujung masa bakti mereka (anggota DPR) dan akan menghadapi pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Saya khawatir bila RUU ini menjadi tidak bagus," jelas Yenti Ganarsih.
Sebelumnya, KPK meminta pemerintah untuk memperbaiki dan menarik kembali RUU KUHP dan KUHAP yang tengah dibahas di DPR. Ketua KPK Abraham Samad memastikan ruu itu dinilai mengganggu pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK.
Diantaranya kewenangan melakukan penyitaan harus ada izin pengadilan. Termasuk diantaranya delik aturan tentang penyuapan atau gratifikasi dalam UU Korupsi, tak masuk lagi ke delik korupsi. Sehingga kasus penyuapan atau gratifikasi tidak bisa ditangani KPK.
Juru Bicara Kepresidenan RI, Julian Aldrin Pasha kepada VOA, Rabu (26/2) mengatakan jika memang ada materi dalam revisi undang-undang itu dirasa melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih terbuka peluang untuk dilakukan perbaikan.
"Posisi Pemerintah sekarang adalah meneruskan pembahasan tersebut bersama dengan DPR RI. Nah nanti tinggal tinggal dilihat, kalau memang betul sifatnya ada yang kontra produktif atau tidak sejalan dengan semangat upaya pemberantasan korupsi sebagaimana yang menjadi komitmen bersama dari Pemerintah, maka ya tentu akan ada ruang pembahasan dan waktu di dalam pembahasan di DPR RI. Kita terbuka saja dalam hal ini," kata Julian Aldrin Pasha.
Lebih lanjut dikatakan Julian Aldrin Pasha, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung pembahasan RUU kuhp dan KUHAP di DPR tetap berlanjut, namun menurutnya tidak ada niat dari Presiden untuk melemahkan KPK.
"Dari awal pemerintahan Presiden SBY jelas bahwa komitmen beliau tidak berubah ya, terhadap penanganan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini tentu yang kita tahu bahwa KPK sebagai komisi yang dibentuk khusus untuk pemberantasan korupsi mendapat support dan dukungan penuh dari Presiden. Jadi tidak ada sedikit pun niat untuk melakukan upaya untuk memperlemah KPK," lanjut jubir Presiden.
Sebelumnya Kementerian Hukum dan HAM memastikan pembahasan revisi KUHP tidak akan mengurangi kewenangan KPK. Wakil Menteri Hukum dan HAM Deni Indrayana mengatakan kemenkumham mendukung jika memang ada aturan yang ingin dikhususkan kepada KPK.
"Tidak ada pelemahan KPK, tidak ada pelemahan kepada institusi penegak hukum manapun ya. Kalau ternyata ada aturan-aturan yang ingin dikhususkan kepada KPK kami dukung. Jadi misalnya kalau KPK ingin melakukan penyitaan dan penggeledahan tidak memerlukan izin dari hakim kami dukung. Tapi sebenarnya tentang itu perlu diatur agar lebih baik," kata Deni Indrayana.
Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari mengatakan, sulit menghentikan pembahasan sebuah rancangan undang-undang yang tengah dilakukan DPR dengan pemerintah. Apalagi menurutnya, RUU KUHP dan KUHAP itu telah masuk di program legislasi nasional DPR yang ditargetkan selesai sebelum periode berakhirnya periode DPR di September 2014. Ia memastikan tidak ada upaya untuk melemahkan kewenangan KPK dalam menjalankan tugasnya.
"Saya setuju tidak usah dihentikan (pembahasannya), tapi mungkin diperbaiki prosesnya. Di dalam revisi undang-undang itu ada banyak sekali agenda pembaharuan hukum. Pelaksanaan diversi, kemudian pembekuan harta pedagang manusia yang selama ini belum dilakukan. Termasuk juga non corporal punishment untuk anak-anak dan penguatan HAM ya. Semua itu masak harus di buyarkan hanya karena KPK keberatan pasal penyadapan, kan gak fair . saya harapkan KPK dilibatkan dalam tim pemerintah untuk bersama-sama membahas. Dan draft itu bisa berubah kok, selama belum di gedok (ketok palu) itu masih bisa di rubah," kata Eva Kusuma Sundari.
Ahli tindak pidana pencucian uang Yenti Ganarsih kepada VOA mengatakan jika pembahasan ruu ini tetap dilanjutkan, maka dikhawatirkan akan menghasilkan produk perundangan yang tidak sesuai harapan.
"Pemerintah 'kan bisa saja menarik kembali, kenapa enggak? Kinerja KPK tidak akan dapat dilemahkan jika seandainya undang-undang diluar KUHAP yaitu Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak dicabut. Ini bukan waktu yang tepat. Ini tersisa lima bulan, diujung masa bakti mereka (anggota DPR) dan akan menghadapi pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Saya khawatir bila RUU ini menjadi tidak bagus," jelas Yenti Ganarsih.
Sebelumnya, KPK meminta pemerintah untuk memperbaiki dan menarik kembali RUU KUHP dan KUHAP yang tengah dibahas di DPR. Ketua KPK Abraham Samad memastikan ruu itu dinilai mengganggu pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK.
Diantaranya kewenangan melakukan penyitaan harus ada izin pengadilan. Termasuk diantaranya delik aturan tentang penyuapan atau gratifikasi dalam UU Korupsi, tak masuk lagi ke delik korupsi. Sehingga kasus penyuapan atau gratifikasi tidak bisa ditangani KPK.