Presiden Tunisia Kais Saied pada Kamis (31/3) malam mengatakan ia tidak akan mengadakan pemilu dalam tiga bulan setelah ia membubarkan parlemen pekan ini, langkah terbaru dalam upaya menuju ke kediktatoran absolut setelah mengesampingkan sebagian besar konstitusi demokratis.
Partai-partai dari semua spektrum politik Tunisia dan serikat pekerja yang berpengaruh telah mengutip konstitusi untuk meminta presiden agar mengadakan pemilu lebih cepat setelah pada hari Rabu mengumumkan bahwa ia membubarkan parlemen.
“Saya tidak tahu bagaimana mereka mendapat interpretasi ini,” kata Saied dalam rekaman video pertemuannya dengan PM Najla Bouden yang diposting tengah malam di laman Facebook kepresidenan Tunisia.
Hari Kamis, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington sangat prihatin atas tindakan Saied membubarkan parlemen dan atas berbagai laporan bahwa ia akan menuntut para legislator yang bergabung dalam sidang yang menentang presiden pada hari Rabu.
“Peralihan segera ke pemerintahan konstitusional, termasuk parlemen terpilih, sangat penting bagi pemerintahan yang demokratis,” kata Price dalam pesan video online.
AS telah menjadi negara donor besar bagi Tunisia sejak revolusinya tahun 2011 yang memperkenalkan demokrasi, dan pemerintahan Saied sedang mengupayakan dana internasional untuk menghindari krisis keuangan publik yang membayangi dalam waktu dekat.
Krisis politik Tunisia meningkat tajam hari Rabu sewaktu lebih dari setengah anggota parlemen, yang diskors Saied pada Juli lalu dalam langkah yang oleh lawan-lawannya disebut sebagai kudeta, mengadakan sidang online untuk mencabut dekrit tersebut.
BACA JUGA: Para Hakim Tunisia Tuduh Presiden Berusaha Kendalikan Lembaga KehakimanSerikat pekerja UGTT, badan politik paling berpengaruh di negara itu yang memiliki lebih dari satu juta anggota, sebelumnya telah mendesak Saied agar membubarkan parlemen dan segera mengadakan pemilu baru yang lebih awal.
Ennahda, partai terbesar di parlemen yang berhaluan Islamis dan merupakan satu-satunya yang memiliki organisasi nasional yang kuat, telah menolak pembubaran parlemen oleh Saied, namun menyatakan presiden masih harus mengadakan pemilu dalam tiga bulan ini.
Partai Konstitusional Bebas, yang pemimpinnya, Abir Moussi, adalah pendukung presiden autokrat, mendiang Zine El Abidine Ben Ali, dan musuh bebuyutan Ennahda, memuji langkah Saied tetapi juga menyerukan pemilu lebih awal.
BACA JUGA: Polisi Tunisia Tembak dan Lukai Ekstremis yang Berupaya Menyerang MerekaMoussi, yang partainya unggul dalam berbagai jajak pendapat umum, mengatakan, berdasarkan konstitusi Saied harus mengadakan pemilu dalam waktu tiga bulan.
Saied sebelumnya mengatakan ia akan membentuk satu komite untuk menyusun kembali konstitusi, mengajukannya ke referendum pada bulan Juli dan kemudian mengadakan pemilu pada bulan Desember.
Pemimpin Ennahda Rached Ghannouchi mengatakan Reuters hari Kamis bahwa partainya akan memboikot referendum apa pun yang diadakan Saied untuk merestrukturisasi sistem politik secara sepihak. [uh/ab]