Pro dan Kontra di Balik Sistem Pemilu Amerika, “Electoral College”

Suasana di salah satu TPS di Park Slope Armory YMCA, New York, Selasa, 5 November 2024. (Yuki Iwamura/AP)

Sistem Pemilu Amerika melalui “electoral college” telah menjadi tradisi selama lebih dari dua abad. Seiring waktu, sistem tersebut menuai pro dan kontra, dengan ratusan proposal diajukan ke Kongres Amerika Serikat untuk mereformasinya.

Tidak seperti Indonesia, yang presidennya dipilih melalui pemilu dengan sistem suara terbanyak, Amerika Serikat menggunakan sistem “electoral college”, di mana warganya tidak memilih presiden secara langsung, melainkan berdasarkan suara mayoritas elektor atau sekelompok orang yang mewakili para pemilih di setiap negara bagian.

Elektor umumnya merupakan pejabat, pemimpin partai politik, atau orang-orang di negara bagian yang memiliki afiliasi pribadi maupun politik dengan calon presiden dari partai mereka.

Your browser doesn’t support HTML5

Pro dan Kontra Di Balik Sistem Pemilu Amerika, “Electoral College”

Melalui pemungutan suara pada pemilu, pemilih sebenarnya memberikan suara mereka kepada para elektor, yang nantinya akan memilih presiden yang memperoleh suara mayoritas di negara bagiannya.

Terdapat 538 elektor dari seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Setiap negara bagian memiliki jumlah elektor yang berbeda-berbeda, yang biasanya proporsional dengan jumlah populasi di negara bagian masing-masing. Calon presiden harus meraih setidaknya 270 suara elektoral untuk bisa memenangkan pemilu.

Tuai Pro dan Kontra

Pemilihan melalui elektor menjadi kekhasan Amerika Serikat yang tidak terlepas dari tradisi dan para perumus konstitusi negara itu. Inilah salah satu faktor yang mendasari argumen pendukung sistem tersebut.

Arya Budi, pakar politik dan pemilu di University of Illinois Urbana-Champaign (dok. pribadi)

Jika menilik sejarahnya, sistem electoral college dirancang sebagai respons untuk menghindari kekuasaan yang terlalu besar, bahkan absolut, dari satu cabang pemerintahan, kata Arya Budi, pakar politik dan pemilu di Universitas Illinois Urbana-Champaign, kepada VOA (30/10).

Para pemikir dan pendiri negara itu ingin memastikan bahwa pemilihan presiden tidak hanya bergantung pada suara langsung dari rakyat, tetapi juga melibatkan perwakilan yang dianggap lebih mampu dan terdidik untuk memilih pemimpin, tambahnya.

Laporan Congressional Research Service tahun 2009 juga menyatakan para pendukung electoral college menilai sistem tersebut membantu semua negara bagian agar tetap terdengar dan berperan penting dalam berbagai bidang pemerintahan.

Di sisi lain, Joshua Holzer, lektor ilmu politik dari Westminster College, Missouri, mengatakan, meski negara-negara bagian yang lebih padat penduduk mendapatkan lebih banyak suara elektoral dan negara-negara bagian yang lebih sedikit penduduknya mendapatkan lebih sedikit suara elektoral, sebenarnya jumlah suara elektoral per negara bagian tidak sepenuhnya proporsional berdasarkan jumlah penduduk.

Joshua Holzer, lektor ilmu politik dari Westminster College, Missouri (dok. pribadi)

“Sebaliknya, sistem ini bersifat proporsional degresif. Dengan kata lain, sistem ini memberi para pemilih di negara-negara bagian dengan populasi lebih kecil lebih banyak pengaruh daripada pemilih di negara-negara bagian yang lebih besar populasinya,” kata Holzer dalam wawancara tertulis dengan VOA, Sabtu (2/11).

Ia mencontohkan negara bagiannya, Missouri, memiliki populasi lebih dari 6 juta jiwa, dan memiliki 10 suara elektoral. Ini berarti, untuk kira-kira setiap 600.000 orang diwakili 1 suara elektoral. Sebagai perbandingan, negara bagian Wyoming yang memiliki populasi kurang dari 600.000 orang justru memiliki tiga suara elektoral.

Selain itu, salah satu faktor kontroversial dalam electoral college adalah bahwa presiden yang meraup suara populer atau suara paling banyak belum tentu terpilih menjadi presiden karena adanya mekanisme “winner-takes-all”, di mana jika kandidat dari satu partai unggul tipis, bahkan 0,1 persen suara, maka ia dapat memenangkan seluruh suara elektoral.

Ricky Suyono, pemilih diaspora Indonesia (Rivan Dwiastono/VOA)

Ricky Suyono, pemilih diaspora Indonesia di Palm Beach, Florida, mengaku lebih mendukung “popular vote”, alias pemungutan populer, sebagai penentu kemenangan pilpres karena setiap setiap suara pemilih diakui.
Namun, ia tidak mempermasalahkan electoral college. Sebab, nyatanya hingga kini sistem itu tetap efektif dalam menentukan presiden.

“Saya rasa sistem ini tidak menunjukkan keberpihakan terhadap partai mana pun. Nyatanya cara memilih presiden seperti ini berhasil,” katanya.

Riri Sastro, pemilih diaspora Indonesia (VOA Indonesia/Rivan Dwiastono)

Hal senada diutarakan Riri Sastro, pemilih diaspora Indonesia lainnya dari kawasan yang sama. Sebagai eks-WNI yang pernah mengikuti sistem popular vote, ia kurang mendukung mekanisme winner-takes-all dalam electoral college. Namun, ia mengungkapkan, “Kita tidak bisa marah. Itulah sistemnya,” ujar Riri.

Sulitnya Mengubah Sistem

Selama dua abad terakhir, ratusan proposal telah diajukan ke Kongres AS untuk mereformasi atau menghapus electoral college, menurut situs Arsip Nasional AS. “Itu salah satu indikator yang menunjukkan bahwa sistem ini sendiri contested,” kata Arya Budi.

Tipisnya dukungan terhadap sistem tersebut juga ditunjukkan oleh survei terbaru lembaga riset Pew Research Center pada September 2024, yang menunjukkan hanya 35 persen warga Amerika Serikat yang masih ingin mempertahankan electoral college, sementara berdasarkan survei lembaga Gallup, angkanya mencapai 39 persen.

Para pegawai menguji peralatan pemungutan suara di Departemen Pemilu Kabupaten Miami-Dade, Rabu, 19 Oktober 2022, di Miami, menjelang pemilihan paruh waktu 2022 pada 8 November. (Lynne Sladky/AP)

Meski sebagian besar penduduk tidak mendukung electoral college, proses politik di Amerika sendirilah yang membuat reformasi sistem pemilu di negara itu jalan di tempat.

“Kedua, Partai Republik juga adalah salah satu partai yang solid, dan Demokrat pun juga solid. Ini yang menjelaskan, sulit itu berubah, bukan hanya oleh partai dan elit secara institusi, tetapi publik sendiri yang berada di balik mereka, yang terus memilih mereka,” tambah Arya.

Sementara itu, Joshua Holzer menyampaikan, “Terlepas dari bagaimana atau mengapa electoral college diadopsi, saat ini, jika (warga Amerika Serikat) ingin para kandidat memedulikan masalah dan kebutuhan negara bagian mereka, yang terbaik adalah tidak terikat pada satu partai saja. Dengan begitu, semua kandidat mencoba meraih suara elektoral negara bagian itu.” [br/ab]