Prokontra Usulan Penghapusan BBM Jenis Premium

  • Iris Gera

Para pengguna sepeda motor mengantri di sebuah SPBU di kota Bandung untuk membeli BBM jenis premium (foto: dok).

Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk mengalihkan produksi kilang minyak dari Premium menjadi Pertamax untuk menghindari permainan harga oleh kartel, memicu tanggapan pro dan kontra.

Minggu, 21 Desember 2014, Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah dan Pertamina untuk mengalihkan produksi kilang minyak dari bensin RON 88 atau jenis Premium menjadi bensin RON 92 atau setara dengan jenis Pertamax.

Rekomendasi dikeluarkan karena tim tersebut menilai Indonesia merupakan satu-satunya negara yang masih menggunakan Premium sehingga rawan menjadi permainan kartel karena mulai dari produksi hingga harga ditentukan oleh produsen tanpa adanya acuan harga pasar. Jika Indonesia hanya impor Pertamax yang banyak dipasar membuat peluang adanya kartel sangat kecil.

Rekomendasi tim tersebut mendapat respons dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintah.

Jika bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi jenis Premium dihapus, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, hal itu akan bermanfaat namun butuh waktu. Sementara Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menegaskan menunggu respons Kementerian ESDM mengenai usulan dihapusnya BBM jenis Premium terkait APBN Perubahan atau APBNP 2015. Sedangkan Eri Purnomohadi dari Hiswana Migas menegaskan, penghapusan BBM bersubsidi akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat kurang mampu.

Kepada pers di Jakarta, Selasa, Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan peralihan Premium ke Pertamax butuh waktu, namun usulan tersebut dinilai wapres positif.

“Itu suatu usul yang baik, memang sejak dulu sebenarnya usulan itu penting antara lain untuk suplai dan kedua, sangat penting untuk kualitas pembakaran sehingga mesin-mesih itu lebih awet sebenarnya, itu kan masalah kualitas saja bukan masalah jumlah, disamping itu tentu akan ada perubahan-perubahann teknis tetapi saya kira tidak banyak,” kata Wapres Kalla.

Hal senada juga disampaikan Menko bidang Perekonomian, Sofyan Djalil karena infrastruktur Pertamina belum siap untuk mengalihkan penggunaan Premium ke Pertamax.

“Kilang Pertamina belum siap, oleh sebab itu prosesnya akan dilakukan secara bertahap,” kata Sofyan Djalil.

Sementara terkait kemungkinan berubahnya struktur anggaran negara jika Premium dihapus, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan, Kementerian Keuangan menunggu keputusan Kementerian ESDM. Namun menteri keuangan berharap impor minyak tidak bertambah jika peralihan dilakukan.

“Ya nanti kita tunggu dari ESDM, itu kan baru rekomendasi dari tim, ESDM harus lihat dulu Pertamina bisa nggak mengganti produksi kilangnya dari Premium menjadi Pertamax, kemudian harus dipastikan bahwa ini tidak menambah volume impor,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro.

Sementara Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas atau Hiswana Migas, Eri Purnomohadi menilai, penghapusan Premium akan merugikan masyarakat kurang mampu dan akan menimbulkan ketidakadilan.

“RON 88 dulu oleh pemerintah, siapapun pemerintahnya itu sudah diposisikan sebagai bahan bakar untuk golongan masyarakat tidak mampu sehingga RONnya adalah RON rendah karena harganya juga murah, sedangkan oktan 92 itu sudah dipositioningkan oleh government menjadi BBM mahal, BBM untuk oktan tinggi untuk high class, nah kalau oktan 92 menggantikan oktan 88 berarti oktan 92 ini kan disubsidi, apakah pantas golongan masyarakat kaya itu disubsidi, nah ini ada azas ketidakadilan,” papar Eri Purnomohadi.

Meski Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengakui penghapusan Premium tidak bisa dilakukan segera karena kapasitas kilang minyak Indonesia sebagain besar memproduksi Premium, Pertamina diberi waktu 5 bulan untuk mempersiapkan diri. Ketidakmampuan kilang minyak di Indonesia menghasilkan Premium sesuai kebutuhan membuat Indonesia harus mengimpornya.

Tim Reformasi Tata Kelola Migas mencatat anggaran Pertamina untuk impor Premium sekitar 13 milyar dollar Amerika per tahun, padahal menurut tim anggaran tersebut dapat digunakan untuk biaya investasi pembangunan kilang minyak baru.