Proposal Regulasi Uni Eropa Diyakini Perbaiki Tata Kelola Sawit Indonesia

  • Nurhadi Sucahyo

Ilustrasi - Pekerja memuat tandan kelapa sawit untuk diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, Riau, 27 April 2022. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Uni Eropa menginginkan produk sawit yang lebih ramah lingkungan, sementara petani sawit Indonesia berkomitmen memperbaiki tata kelola komoditas ini. Di luar gonjang-ganjing soal minyak sawit, kedua belah pihak sebenarnya saling membutuhkan.

Sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil dan petani sawit Indonesia, bertemu dengan Komisi Eropa pekan lalu, untuk mengkomunikasikan komitmen bersama, terkait produk sawit Indonesia. Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo yang ikut dalam pertemuan itu kepada VOA menceritakan, salah satu bahasan yang dibicarakan adalah Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB).

Ada komitmen, RAN-KSB akan diperkuat dengan data minyak sawit yang lebih baik, melalui pemetaan dan verifikasi seperti yang dipersyaratkan Uni Eropa sendiri. Selain itu, juga memasukkan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (HCSA) sebagai cara untuk membuktikan tidak ada deforestasi yang dilakukan petani kecil dan perusahaan.

RAN-KSB, kata Rambo, akan memperbaiki situasi hubungan Uni Eropa dan Indonesia yang saat ini kurang baik, dalam perdagangan sawit. “Saya optimistis, kalau dua-duanya mau mengimplementasikan secara baik, karena dua-duanya kan sebenarnya saling membutuhkan dalam kerangka itu. Membutuhkan dalam artian, mempunyai tujuan yang sama untuk perbaikan tata kelola di perkebunan sawit,” kata Rambo.

BACA JUGA: Peneliti: Jangan Istimewakan Sawit dalam Proyek Bahan Bakar Nabati

“Mengimplementasikan RAN-KSB dengan baik, sama juga menurunkan deforestasi, seperti tujuan yang ada di kebijakan Uni Eripa yang terbaru. Sehingga sebenarnya tujuannya sama. Saya melihatnya begitu,” tambahnya lagi.

Proposal Regulasi Baru

Selain Sawit Watch, organisasi yang bertemu dengan Departemen Komisi Eropa yang mengurusi Lingkungan dan Kemitraan Internasional adalah Kaoem Telapak, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Pusaka, Elsam, The Institute for Ecosoc Rights, Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Walhi Eksekutif Nasional. Pertemuan dilakukan di Brussels, Belgia, pada 23 November 2022.

Pertemuan ini dilakukan sebagai respon dan masukan terhadap proposal Regulasi Uni Eropa terbaru, mengenai produk bebas deforestasi yang diajukan Komisi Eropa tepat setahun yang lalu. Melalui proposal ini, Uni Eropa ingin memastikan produk-produk yang masuk atau diekspor dari pasar Uni Eropa, berasal dari sumber- sumber legal dan bebas deforestasi atau degradasi hutan. Regulasi ini akan mengikat enam komoditas dan produk turunannya, seperti kayu termasuk kertas, sawit, kedelai, kopi, biji kakao, dan daging sapi.

Proposal regulasi Uni Eropa ini, menurut sejumlah organisasi di Indonesia, merupakan perkembangan positif.

BACA JUGA: Peneliti: Jangan Istimewakan Sawit dalam Proyek Bahan Bakar Nabati

Rambo menambahkan, tantangan terbesar dalam melaksanakan skema baru ini ada di dua pihak, yaitu Uni Eropa maupun Indonesia. Kedua pihak harus bekerja sama, karena sama-sama memiliki kepentingan.

“Mencari titik temu itu yang menurut saya jauh lebih penting, sehingga bisa mensinergikan dua kepentingan. Indonesia butuh mengimplementasikan supaya sawitnya berkelanjutan. Uni Eropa butuh mengonsumsi sawit yang berkelanjutan. Menurut saya, itu titik temunya,” kata Rambo lagi.

Dua Skema Penting

Sementara Kepala Advokasi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Marselinus Andri kepada VOA menyebut, pihaknya fokus pada petani kecil dalam pertemuan dengan Komisi Eropa. Dua hal dalam kerangka RAN-KSB yang menjadi perhatian adalah traceability atau ketelusuran dan praktik High Carbon Stock Approach (HCSA).

Seorang pekerja menurunkan buah kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit di Gambut Jaya, Provinsi Jambi. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via REUTERS)

“Pertama soal traceability. Memang di kebijakan Uni Eropa itu mengharuskan ketelurusan produk sawit, yang bebas deforestasi, dan SPKS sangat mendukung itu,” kata Andri.

Tidak hanya mendukung, SPKS juga sudah melangkah dalam skema ini. “Kami sampaikan, bahwa SPKS sudah menyediakan data yang penting, untuk membangun sistem, traceability by name by address dan juga data geolokasi,” jelasnya.Ketelusuran penting, karena menjadi jaminan agar petani terlibat dalam rantai pasok CPO dan menyambungkan mereka dengan pasar. Di sisi lain, karena petani mau menjamin ketelusuran produk mereka, Uni Eropa diharapkan mendukung dan memastikan pasar mereka harus menerima pasokan CPO dari petani, dengan penerapan kuota minimal, misalnya 30 persen.

Your browser doesn’t support HTML5

Proposal Regulasi Uni Eropa Diyakini Perbaiki Tata Kelola Sawit Indonesia

“Ada semacam pengaturan di dalam proposal regulasi itu, yang setidaknya mewajibkan pasar-pasar Uni Eropa dalam rantai pasok yang bebas deforestasi berasal dari petani,” tambahnya.

Kepada Komisi Eropa, petani sawit Indonesia dalam SPKS juga mempromosikan praktik baik yang mereka terapkan, melalui pendekatan HCSA. Praktik baik ini sudah diterapkan sebagai proyek percontohan di dua kabupaten.

Prinsipnya, HCSA mendorong petani turut menjaga dan melindungi hutan dalam mengelola kebun sawit. Dengan komitmen menjaga hutan, Uni Eropa dituntut membeli sawit petani. Skema saling menguntungkan ini sekaligus menjadi semacam insentif bagi petani, yang mau menjaga hutan.

Foto udara perkebunan kelapa sawit di Batanghari, Jambi, 28 November 2018. (Foto: Antara/Wahdi Septiawan via REUTERS)

SPKS sendiri terus menerapkan skema ketelusuran dan HCSA bagi anggota mereka secara bertahap. Mereka berharap Uni Eropa memberikan dukungan untuk kelanjutan pendataan guna kepentingan ketelusuran sawit, dan penerapan geolokasi.

“Di dalam proposal yang terbaru, 23 November 2022, ada komitmen Uni Eropa untuk membantu finansial, pelaksanaan geolokasi dan sebagainya. Kami hanya memperkuat supaya komitmen itu tetap dipertahankan sampai di final regulasi tersebut,” tambah Andri.

Lindungi Hak Adat

Sementara peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi mengapresiasi dan mendukung pemberian posisi penting terhadai hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah dan hak masyarakat adat, dalam proposal Uni Eropa. Dia menyatakan bahwa proposal regulasi ini didukung oleh kenyataan, bahwa sulit menghentikan deforestasi tanpa menghormati hak asasi manusia.

BACA JUGA: Petani Sawit Sambut Baik Kesepakatan Anti-Deforestasi Parlemen Eropa

“Dan bahwa masyarakat adat memainkan peran penting dalam melindungi hutan. Selain itu, banyak konflik tenurial terjadi, karena kurangnya penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ujar Sri Palupi.

Dia menambahkan, hukum di Indonesia tidak memadai pengakuan hak atas tanah masyarakat adat, bahkan seringkali tidak mengakui hak-hak masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat hingga saat ini masih macet di DPR dan belum diadopsi.

“Oleh karena itu, menjadi penting bagi Komisi Uni Eropa untuk menjamin bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas tanah dan hak masyarakat adat, akan dipertahankan dalam naskah akhir,” tegas Sri Palupi. [ns/ab]