Petani sawit di Tanah Air berharap produk-produk mereka dapat diterima di dunia internasional menyusul kesepakatan parlemen Eropa bahwa komoditas yang dijual di benua tersebut harus bebas dari praktik deforestasi. Asa tersebut mengemuka menyusul gencarnya para petani sawit nasional dalam melakukan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun ini.
Sertifikasi ini mensyaratkan produk sawit harus menjelaskan asal usul petaninya, dan dipastikan tidak dihasilkan dari kebun yang merusak hutan.
“Artinya, mereka tidak ragu lagi beli CPO (minyak sawit -red) dari Indonesia, dengan menggunakan sertifikat dari kelompok kami. Karena kami kan petani yang sudah jelas keberadaannya toh. Punya koordinat lahan, punya peta overlay, petani yang mengumpulkan datanya, lengkap dengan legalitas tanahnya,” kata Mardol, seorang petani sawit di Tambusai Barat, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.
Kelompoknya, yaitu Perkumpulan Petani Sawit Swadaya Tambusai Sejahtera (PPSTS), adalah salah satu kelompok penerima sertifikasi RSPO pada tahun ini.
RSPO adalah asosiasi organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit yang didirikan di Zurich, Swiss. Tujuannya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan standar global dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan.
Saat melakukan sertifikasi, petani banyak menimba ilmu yang ramah lingkungan, misalnya belajar tentang pengelolaan limbah beracun atau B3. Setelah dilatih, petani hati-hati menjaga botol kemasan racun seperti insektisida, herbisida, dan sejenisnya. Petani juga memastikan tidak akan ada pembakaran lahan dan pembukaan lahan baru, karena peningkatan produksi dilakukan melalui tata kelola tanam yang lebih baik.
Buka Peluang Pasar
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto. Ia menilai aturan baru Eropa tersebut bisa peluang besar bagi jutaan petani kelapa sawit di Tanah Air untuk mendapatkan keuntungan dari pasar Uni Eropa.
“Tentu, dengan menyediakan produk kelapa sawit tanpa deforestasi dan dapat ditelusuri khususnya yang dikelola oleh petani sawit. SPKS juga mendukung kepemimpinan Parlemen Uni Eropa dan masyarakat Eropa dalam mengambil tanggung jawab atas deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh komoditas baik yang diimpor maupun diproduksi di Uni Eropa,” papar Darto.
Namun, Darto juga menggarisbawahi, bahwa agar dapat memanfaatkan momentum dan keuntungan dari peraturan ini, petani kelapa sawit Indonesia perlu dukungan dan bantuan dari pemerintah dan parlement Uni Eropa, pemerintah Indonesia serta perusahan dan pembeli minyak sawit. Langkah ini penting, agar petani mampu memenuhi persyaratan yang diminta, seperti menerapkan ketertelusuran dan tidak ada praktik deforestasi.
“Sebagai contoh petani sawit di bawah anggota SPKS telah mampu untuk membangun data ketelusuran secara by name, by address, by spatial. Ini sejalan dengan yang dilakukan Kementerian Pertanian, yaitu membangun data petani sawit melalui kebijakan Surat Tanda Daftar Budidaya,” tambahnya.
Petani sawit anggota SPKS di Kalimantan, kata Darto, saat ini juga sedang menerapkan Pendekatan Stok Karbon Tinggi.
Petani sawit, lanjutnya, berharap aturan terbaru Uni Eropa ini dapat menghadirkan kepastian jangka panjang mata pencaharian petani sawit Indonesia dengan pemberian insentif kepada mereka.
Untuk memastikan petani kecil menjadi mitra yang adil di pasar Uni Eropa, SPKS meminta perusahaan pengimpor minyak sawit menjamin dan berkomitmen menerapkan 30 persen dari rantai pasokan berasal dari petani swadaya.
Serikat petani kelapa sawit juga berharap, isu petani kelapa sawit tidak dipolitisasi untuk kepentingan sektor swasta yang masih lekat dengan praktek illegal. Darto menilai, strategi defensif yang sering dilakukan, hanya untuk melindungi dan memelihara kepentingan-kepentingan tertentu.
“Lobi-lobi perdagangan minyak sawit dari industri selama ini selalu bertentangan dengan kepentingan petani, agar memiliki akses yang sama terhadap pasar. Kami yakin, proses ketelusuran atau traceability akan berkontribusi terhadap perbaikan tata kelola sawit rakyat di Indonesia,” paparnya.
UU Anti-Deforestasi
Dalam pernyataan resminya pada 13 September 2020, parlemen Uni Eropa menyatakan bahwa mereka menuntut perusahaan pemasok memastikan produk yang dijual di benua tersebut, tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi atau terdegradasi. Proposal ini bertujuan untuk melawan perubahan iklim global dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Dalam keterangannya, parlemen Uni Eropa memasukkan ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai dan kayu, dan produk terkait seperti kulit, cokelat, dan furnitur dalam aturan ini. Parlemen juga ingin memasukkan daging babi, domba dan kambing, unggas, jagung dan karet, batubara dan produk kertas cetak. Parlemen juga ingin lembaga keuangan tunduk pada persyaratan tambahan, untuk memastikan bahwa kegiatan mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi.
Dalam pemungutan suaranya, pleno setuju pada proposal yang diajukan dengan 453 suara setuju, 57 menolak dan 123 abstain. Parlemen Uni Eropa menyebut, undang-undang baru ini akan mewajibkan perusahaan dari seluruh dunia, untuk memverifikasi atau melakukan uji tuntas terhadap barang yang dijual di Uni Eropa.
Langkah ini akan menjamin konsumen bahwa produk yang mereka beli tidak berkontribusi pada perusakan hutan, termasuk hutan tropis yang tak tergantikan. Parlemen Eropa juga ingin perusahaan memverifikasi bahwa barang diproduksi sesuai dengan ketentuan hak asasi manusia dalam hukum internasional dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Dalam pernyataan tertulis ini, anggota parlemen Uni Eropa, Christophe Hansen mengatakan bahwa mereka serius dalam memerangi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
“Kami mengakui bahwa Uni Eropa bertanggung jawab atas sekitar 10 persen deforestasi global, kami tidak punya pilihan selain meningkatkan upaya kami untuk menghentikan deforestasi global. Jika kita mendapatkan keseimbangan yang tepat antara ambisi, penerapan, dan kompatibilitas WTO, aturan baru ini berpotensi membuka jalan menuju rantai pasokan bebas deforestasi,” tegasnya.
Meskipun tidak ada negara atau komoditas yang akan dilarang masuk Eropa, perusahaan yang menempatkan produk di sana wajib melakukan uji tuntas untuk mengevaluasi risiko dalam rantai pasokan mereka. Mereka dapat menggunakan alat pemantauan satelit, audit lapangan, peningkatan kapasitas pemasok atau pengujian isotop untuk memeriksa dari mana produk berasal. Otoritas Uni Eropa akan memiliki akses ke informasi yang relevan, seperti koordinat geografis, sedangkan data anonim akan tersedia untuk umum.
Berdasarkan penilaian yang transparan, negara-negara pemasok akan diklasifikasikan ke dalam risiko rendah, standar, tinggi dalam waktu enam bulan sejak peraturan berlaku. Produk dari negara berisiko rendah akan dikenakan kewajiban yang lebih sedikit.
Parlemen Uni Eropa, saat ini sedang bersiap untuk memulai negosiasi tentang undang-undang final, dengan negara-negara anggota. UU baru ini didasarkan pada data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang memperkirakan sekitar 420 juta hektare hutan, sebuah area yang lebih luas dari Uni Eropa, hilang akibat deforestasi antara tahun 1990 dan 2020. Konsumsi Uni Eropa mewakili sekitar 10 persen dari deforestasi global, dengan minyak sawit dan kedelai menyumbang lebih dari dua pertiganya. [ns/ah]
Forum