Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah profesi yang berada dalam posisi rentan, terutama di Indonesia. Sebagai pekerja informal, mereka tidak memiliki jaminan kesehatan sehingga jika sakit atau mengalami kecelakaan kerja, biaya pengobatan harus ditanggung sendiri. Jam kerja juga tidak pasti, meski rata-rata harus aktif sejak pukul 05.00 hingga 22.00, terutama bagi mereka yang menginap di rumah majikan.
Upahnya juga kecil, dan sangat tergantung kebaikan majikan. Di Yogyakarta misalnya, upah perbulan mereka rata-rata sekitar Rp 750 ribu. Dengan upah senilai itu, mereka tidak memiliki hari libur mingguan dan hak cuti yang jelas. Kenyataan itu dipaparkan Juminem, dari Sekolah PRT Tunas Mulia Yogyakarta.
“Selain itu dibatasi untuk sosialisasi atau berserikat, terutama untuk teman-teman yang menginap dan banyak yang dilarang untuk bertemu PRT lain, apalagi untuk berorganisasi. PRT juga bisa sewaktu-waktu diberhentikan tanpa pesangon, sementara sungkan untuk bicara ketika haknya dilanggar,” kata Juminem dalam forum diskusi RUU PRT yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Kamis (10/12), malam.
Kondisi kerja lain yang melingkupi PRT, lanjut Juminem, antara lain rentan kekerasan baik fisik maupun psikologis, dipotong gaji ketika melakukan kesalahan, rentan kekerasan seksual, bahkan sampai mengalami penyekapan.
“Banyak kasus kawan yang melalui penyalur, selain meminta uang dari PRT juga uang administasi dari majikan. Ada yang bilang, sampai empat bulan belum menerima gaji karena uang administrasi itu diambil dari gajinya,” lanjut Juminem.
Lingkup pekerjaan PRT begitu luas sehingga nyaris tidak memiliki batas. Ada yang mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga, ada yang hanya mengurus bayi, atau jenis kegiatan lain, seperti hanya memasak jika majikan memiliki usaha katering, bersih-bersih taman, hingga sekadar membantu membuat kue.
Berbagai faktor itulah yang membuat aktivis di sektor ini menuntut pemerintah membuat UU khusus bagi PRT. Perjuangan itu telah berlangsung sejak 2004, dan setiap tahun DPR menggugurkan RUU Perlindungan PRT dari program legislasi nasional, bahkan juga di tahun ini. Indonesia tertinggal jauh dari banyak negara terkait isu ini, bahkan dari Afrika Selatan, India atau Filipina.
PRT Bukan Pekerja
Meski ada kata pekerja dalam istilah PRT, tetapi dalam UU Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, profesi ini tidak masuk dalam kategori pekerja. Karena itulah, PRT tidak dilindungi undang-undang dalam menjalankan profesinya. Kekosongan hukum ini, menurut pakar hukum ketenagakerjaan, Fakultas Hukum UGM, Susilo Andi Darma, disebabkan oleh penyempitan istilah dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya dalam skema hubungan kerja.
“Dalam hubungan kerja, pihaknya hanya satu, artinya ada penyempitan ruang lingkup dari salah satu pihak, terutama pihak yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kita sebut sebagai majikan,” kata Susilo.
UU Ketenagakerjaan hanya menyebut bahwa istilah yang dipakai untuk pemberi kerja yang terlibat dalam perjanjian kerja sebagai pengusaha. Pembatasan istilah itu membawa konsekuensi, bahwa hubungan kerja majikan dan PRT, tidak berada dalam skema perjanjian kerja yang diatur negara. Dengan kata lain, Indonesia secara tegas mengesampingkan PRT dari kelompok yang disebut sebagai pekerja.
“UU Ketenagakerjaan secara politik atau secara sadar, memang mengabaikan, bukan hanya PRT, tetapi juga pekerja informal lain,” tambah Susilo.
BACA JUGA: Harapan Baru RUU PPRT Setelah 16 Tahun MangkrakUU Ketenagakerjaan Bab 1, Pasal 1 Angka 14, kata Susilo, mengatur tentang perjanjian kerja yang disebut sebagai perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja. Namun, dalam pasal-pasal selanjutnya, istilah pemberi kerja tidak dituliskan kembali, dan fokus pada hubungan antara pekerja dan pengusaha. Konsep ini sebenarnya juga mengabaikan banyak pekerjaan informal di Indonesia. Susilo memberi contoh pekerja mandiri dan seseorang yang bekerja dengan sistem bagi hasil bersama pemilik modal usaha, yang masuk dalam kategori ini.
“Karena itu, jelas PRT tidak masuk dalam UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.
Negara Abaikan Nasib PRT
Anggota Tim Substansi RUU PRT, Ninik Rahayu, menyebut terkait RUU Perlindungan PRT, pemerintah bersikap tidak konsisten dalam menegakkan cita-cita negara menciptakan kesejahteraan.
“Secara filosofi, ada janji perlindungan kepada pekerja yang ada di Indonesia, terutama PRT, yang belum diwujudkan, karena memang setiap orang itu berhak bekerja,” kata Ninik.
Sebuah UU khusus bagi PRT sangat diperlukan karena sektor ini memiliki banyak kerentanan, seperti yang sudah dipaparkan Juminem. Kerentanan relasi antara pemberi dan penerima kerja menjadi salah satu perhatian utama.
Jenis pekerjaan ini memiliki banyak problem sosiologis yang belum diselesaikan. Seorang PRT bisa bekerja paruh waktu atau penuh waktu, dengan dasar sebuah kesepakatan. Dari sisi rekrutmen, PRT juga bisa bekerja dari faktor hubungan persaudaraan atau disebut jalur tradisional, dan melalui penyalur resmi yang dianggap non-tradisional.
Area kerja PRT juga sangat khas, karena berada di dalam rumah majikannya dan bersifat privat.
“Ini hubungan yang sangat khas. Tidak bisa dibandingkan dengan pekerjaan lain, terutama yang penuh waktu,” kata Ninik.
Your browser doesn’t support HTML5
Kehadiran RUU ini, lanjut Ninik, sebenarnya bermanfaat bagi seluruh pihak. Tidak hanya melindungi PRT, dasar hukum ini juga mampu melindungi majikan. Ninik mengaku, perjuangan terus dilakukan sejak 2004, tetapi kenyataan membuktikan, RUU ini selalu gagal disepakati DPR di setiap masa bakti.
Beberapa pokok persoalan yang ada dalam RUU ini, kata Ninik, adalah pengakuan PRT sebagai pekerja, kesejahteraan PRT sebagai pekerja dan warga negara, serta adanya kategorisasi. Selain itu, ada perlindungan dan keseimbangan hubungan antara pemberi dan penerima kerja. Diatur juga hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja, pendidikan dan pelatihan bagi PRT, penyelesaian perselisihan dan serikat pekerja. [ns/ab]