Pesawat N 219 merupakan pesawat perintis yang kelak akan digunakan untuk menghubungkan pulau-pulau terpencil di Indonesia. Dalam waktu dekat, N219 akan keluar hanggar dan diperlihatkan kepada publik.
Krisis ekonomi memang sempat menghentikan sebagian operasi PT. Dirgantara Indonesia (DI) – pabrik pesawat terbang pertama dan satu-satunya milik pemerintah Indonesia. Tetapi pabrik yang berkantor pusat di Bandung – Jawa Barat ini tidak pernah menyerah. Setelah krisis berakhir, PT. Dirgantara Indonesia atau PT. DI pun kembali beroperasi penuh. Pesawat N219 adalah pesawat ringan terbaru buatan pabrik itu yang merupakan hasil karya 150 ahli penerbangan di PT. DI dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional LAPAN.
Direktur Teknologi dan Pengembangan PT. DI Andi Alisyahbana mengatakan prototip atau purwarupa pesawat N219 yang mulai dibuat pada September 2014 itu menggunakan 40% konten lokal. Menurut rencana kelak PT. DI akan meningkatkan konten lokal pada pesawat jenis ini hingga 60%.
“Secara teknologi, jadi kami memasukkan beberapa teknologi. Salah satunya adalah teknologi aerodinamika. Aerodinamika ini sangat modern di era tahun 2010 ke atas. Di mana ini bentuk sayap yang cukup canggih, sehingga bisa terbang pelan maupun terbang sangat cepat. Jadi dari 59 knots sampai 220 knots dengan sayap yang sama,” ujar Andi.
Pesawat N 219 didesain sesuai dengan kondisi bandara perintis di Indonesia, yang umumnya terletak di kawasan timur Indonesia. Bandara perintis ini umumnya terletak di daerah yang dikelilingi pegunungan tinggi, seperti di Papua dan Maluku. Pesawat N219 ini tidak saja mampu lepas landas dan mendarat di bandara yang memiliki keterbatasan panjang landasan pacu, tetapi juga yang landasannya berumput atau berkerikil.
Meski dirancang seramping mungkin, pesawat N219 mampu memuat 19 orang dan barang lebih banyak. Ini dikarenakan PT. DI membuat terobosan dengan tidak membuat pintu di bagian belakang, seperti pesawat-pesawat ringan lainnya.
Ketika ditemui VOA pekan ini, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan LAPAN Gunawan Setyo Prabowo mengatakan LAPAN telah mengeluarkan biaya sebesar 450 milyar rupiah untuk merancang desain pesawat hingga mendapat sertifikasi layak terbang. Biaya itu juga digunakan untuk mengembangkan pesawat generasi selanjutnya.
Menurut Setyo Prabowo, jika pesawat N219 itu sudah diproduksi secara massal, maka tidak lagi membutuhkan anggaran Penyertaan Modal Negara atau PMN karena seluruh biaya telah dianggarkan oleh LAPAN.
"Skema (pembiayaan) yang paling benar. Karena LAPAN yang menerima (biaya) sebagai badan negara langsung yang memang untuk development. Kalau dulu kan langsung ke PT DI. Itu menurut saya nggak tepat-tepat banget, karena itu kan industri. Harusnya badan semacam LAPAN lah yang mendapatkan uang untuk development. Industrinya yang di-hire atau dipakai oleh LAPAN untuk mengerjakan (pembuatan pesawatnya)," jelas Setyo Prabowo.
Ditambahkannya tantangan terbesar dalam pembuatan pesawat N 219 adalah para ahli penerbangan harus mendesainnya dari nol. Namun mengingat pembuatan pesawat ini sekaligus menjadi ajang menurunkan ilmu pembuatan pesawat kepada para ahli yang lebih muda, PT. DI dan LAPAN mengerjakannya dengan penuh semangat. Tenaga ahli muda yang dilibatkan pun tidak tanggung-tanggung, yaitu hingga 150 orang.
Meskipun belum dipertunjukkan kepada masyarakat, beberapa maskapai penerbangan dalam dan luar negeri yang telah mengetahui kesiapan prototip pesawat N219 ini telah menyampaikan pemesanan secara resmi. Pesanan antara lain datang dari Kroasia, Laos dan Thailand.
Menurut rencana pesawat N219 akan terbang perdana pada awal tahun 2016 setelah roll out atau keluar hanggar untuk dipertunjukkan kepada masyarakat. [tw/em]