Rasisme di AS Tak Mudah Terlihat, Sulit Diberantas

  • Carolyn Presutti

Seorang anggota Ku Klux Klan dalam Kongres tahunan KKK tahun 1991 (foto: dok).

Di abad ke-21 ini, kebencian antar ras tidak lagi sekentara dulu, seperti ketika demonstrasi oleh Ku Klux Klan lazim terlihat di berbagai tempat di Amerika.

"Kita bergeser dari rasisme yang sangat terbuka menjadi rasisme yang tersembunyi, yang mengandung bahaya laten karena lebih sulit terlacak, dan lebih mudah untuk disangkal," ujar Kris Marsh, sosiolog dari University of Maryland.

Internet menawarkan tempat bagi mereka dengan pandangan yang ekstrem untuk menumpahkan rasa benci mereka. Di situs-situs dan media sosial, siapapun dapat mengutarakan kebencian mereka dengan anonim terhadap orang kulit hitam, Asia, Hispanik, pemerintah, Yahudi, dan lain-lainnya.

Tapi ada kalanya kebencian diwujudkan dalam bentuk lebih dari sekedar tulisan, terkadang dengan konsekuensi yang tragis. Dylann Roof, pria yang menjadi tersangka pelaku penembakan sembilan orang jemaah di gereja kulit hitam di Charleston, South Carolina, ditemukan memasang manifesto supremasi kulit putih online. Di dalamnya, ia menjabarkan bagaimana ia membaca mengenai kejahatan "orang kulit hitam terhadap kulit putih" di sebuah website kelompok supremasi kulit putih.

"Saya tidak pernah merasa sama lagi sejak hari itu," kata Roof.

Para pakar mengatakan internet membantu menghubungkan para ekstremis satu sama lain, dan ini dapat memperkuat keyakinan mereka atau bahkan mendorong mereka melakukan sesuatu.

"Sangatlah manjur untuk bertemu orang yang mengatakan mereka setuju dengan apa yang Anda yakini dan pandangan Anda terhadap dunia," kata J.M Berger dari Brookings Institute yang mempelajari ekstremisme dan penggunaan media sosial.

Tapi seringkali sulit untuk mengenali kapan seseorang beralih, dari berkeluh kesah di forum online atau media sosial, ke tindakan kekerasan dalam dunia nyata.

"Sulit bagi kami untuk membedakan antara seseorang yang marah-marah di internet dengan seseorang yang akan mengangkat senjata dan membunuh seseorang," ujar mantan agen FBI Clint van Zandt.

Elyssa Morris, yang berasal dari lingkungan multikultural, mengatakan salah satu solusinya adalah untuk meninggalkan tempat mereka di dunia maya di mana semua orang memiliki sudut pandang yang sama.

"Jika mereka berhenti menatapi layar mereka dan mulai melihat dunia seperti apa adanya, mungkin mereka akan memiliki pandangan yang berbeda," ujarnya.

Cornell Brooks, presiden organisasi hak sipil terbesar dan tertua di AS, NAACP, mengatakan rasisme juga harus dilawan di tingkatan institusional dalam masyarakat Amerika.

"Tidak cukup bagi kita untuk hanya bicara dalam tingkatan teori. Bagaimana kita mengatasi bias atau kebencian rasial pada sistem pendidikan kita. Apa cara-cara spesifik untuk mengatasinya?"

Dalam pidatonya mengenang para korban pembantaian 17 Juni di gereja Emanuel AME di Charleston, Presiden Barack Obama mengatakan bahwa hubungan antar ras di Amerika tidak akan membaik dalam sekejap terlepas dari solusi apapun yang diajukan.

"Orang-orang dengan niat baik akan terus memperdebatkan aspek pro dan kontra berbagai kebijakan, seperti yang dikehendaki oleh demokrasi kita - Amerika adalah tempat yang besar dan riuh," katanya. "Dan masih banyak orang baik di kedua sisi perdebatan. Solusi apapun yang kita temukan tentunya tidak akan menyeluruh."