Bagi mahasiswa Papua, Joice Etulding Eropdana, rasisme sudah menjadi makanan sehari-hari. Mulai dari tatapan sinis sampai cemooh merendahkan.
“Tidak hanya dari ucapan-ucapan yang membawa isi kebun binatang dan lain sebagainya, tatapan sinis pun itu selalu kami alami. Dan itu jadi sesuatu yang membekas, selalu dialami mahasiswa Papua yang bersekolah di luar Papua,” jelas mahasiswi yang berkuliah di Bali ini.
Dalam diskusi ‘Papuan Lives Matter’ (Nyawa Orang Papua itu Penting), Jumat (5/6) siang, Joice mencontohkan kasus rasisme di Surabaya pada 2019 lalu. Saat itu, sejumlah mahasiswa di asrama mahasiswa Papua mendapatkan ujaran merendahkan. Namun mereka dituding sebagai pembuat onar.
“Padahal yang mengeluarkan ujaran rasial, ujaran kebencian itu adalah orang-orang di Surabaya. Ada ormas dan ada pihak dari kepolisian yang merupakan institusi negara ada di situ, dan mereka yang mengeluarkan ujaran rasial,” tegasnya lagi.
Menurut Joice, orang Papua Hanya ingin menyuarakan berbagai pelanggaran di Bumi Cenderawasih.
“Tentang kekerasan di Papua, pelanggaran HAM di Papua. Saat kami ingin memberikan pendapat di ruang publik, itu kami direpresi oleh aparat. Dan berbagai ujaran rasial itu selalu kami terima, itu bukan hal yang satu dua kali kami alami, tapi sering kami alami,” tambahnya.
BACA JUGA: Tiga Hakim Perempuan Memutus Presiden Melanggar Hukum Dalam Pemblokiran Internet di PapuaHukum Indonesia Dinilai Tebang Pilih
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua menyatakan, hukum berlaku lebih tajam kepada orang Papua. Yuliana Yabansabra dari Elsham Papua mengatakan, dalam kejadian di Surabaya, pelaku ujaran kebencian hanya dihukum 7 bulan.
“Tri Susanti itu mendapat hukuman hanya tujuh bulan. Dia tuntutannya itu 12 bulan, putusannya tujuh bulan. Itu sangat tidak adil,” tambahnya.
Sementara mahasiwa Papua yang berdemonstrasi mengutuk ujaran rasisme itu dihukum lebih berat, ujar Tigor Hutapea dari Pusaka Foundation.
“Aktivis-aktivis yang melakukan kebebasan berekspresi kebebasan berpendapat itu harus menghadapi pidana 8-9 bulan penjara. Mereka yang melakukan kebebasan ekspresi dan berorganisasi, itu dituntut lebih berat. Karena membentuk organisasi dan dijadikan wadah berpendapat mereka, ini hukumannya lebih berat, 5-17 tahun penjara,” terangnya dalam kesempatan yang sama.
Tigor menambahkan, di balik rasisme kepada orang Papua, ada banyak pelanggaran hak asasi manusia yang tak kunjung tuntas. Kasus-kasus ini antara lain Pelanggaran HAM Wasior 2001, Wamena 2003,Paniai 2014, dan Nduga 2018. Selain itu ada pula kriminalisasi kepada pembela HAM dan jurnalis yang mengangkat masalah di Papua.
“Dari impunitas-impunitas terhadap pelanggaran-pelanggaran tadi, tidak ditegakkannya, dihukumnya, atau dituntutnya pelaku-pelaku pelanggar HAM, ini menyebabkan adanya disparitas penegakan hukum,” pungkasnya.
Diangkat ke PBB
Amnesty International Indonesia akan mengangkat berbagai pelanggaran HAM dan rasisme itu ke PBB. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pihaknya memasukkan laporan kepada Komite Hak Sipil dan Politik PBB yang akan menggelar sidang ke-129 pada bulan Juni hingga Juli ini.
“Ini adalah laporan berkala yang biasanya masuk dalam tahap penyusunan daftar-daftar masalah yang akan dibahas di dalam sesi mereka,” egas Usman dalam konferensi pers tersebut.
Di dalam laporan bertajuk “Civil and Political Rights: Violations in Papua and West Papua” itu, Amnesty mengajukan 5 pelanggaran utama.
Kasus-kasus ini adalah pembunuhan di luar proses hukum terhadap puluhan orang Papua, pemberangusan atas kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat, penahanan terhadap tahanan politik, pemberangusan kemerdekaan pers di Papua serta pemblokiran internet, serta lambannya penanganan ribuan pengungsi di Nduga.
“Karena mereka (orang Papua) sudah begitu lama mengalami pelanggaran HAM termasuk rasisme yang sistemik, yang saya kira kita perjuangkan agar itu dihapuskan,” tandasnya.
Konferensi Pers Diganggu
Konferensi pers virtual tersebut diganggu oleh teror telepon dan Zoom-bombing. Beberapa kali, para pembicara ditelepon terus menerus oleh nomor luar negeri yang tidak dikenal. Selain itu, muncul pula suara-suara berbahasa asing yang mengganggu para pembicara.
Menanggapi gangguan tersebut, Yuliana mengatakan ada pihak yang ingin menutup-nutupi pelanggaran di Papua.
“Mereka tidak mau kita bicara, mereka tidak mau kita menyampaikan apa yang betul-betul terjadi di Papua,” kata dia lagi. [rt/ft]