Pelaksana tugas Kepala Balai Besar TNGL, Adhi Nurul Hadi, mengungkapkan telah terjadi 130 kasus konflik antara satwa liar dengan manusia di kawasan hutan TNGL yang membentang dari Aceh hingga Sumatra Utara (Sumut). Dalam catatan Balai Besar TNGL konflik antara harimau Sumatra dengan manusia yang paling mendominasi mencapai 96 kasus. Lalu, diikuti konflik gajah sebanyak 24 kasus, dan orang utan Sumatra 10 kasus.
"Secara keseluruhan konflik satwa liar dengan manusia di sekitar TNGL itu mencapai 130 kejadian. Hampir setengahnya adalah kejadian konflik harimau dengan manusia," katanya dalam acara catatan akhir tahun 2021 yang diselenggarakan Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ) di Medan, Senin (27/12).
Dalam kasus konflik satwa liar dengan manusia yang terjadi di kawasan hutan TNGL, wilayah Kabupaten Aceh Selatan menduduki peringkat pertama dan disusul Aceh Tenggara, Aceh Barat Daya, Aceh Tamiang, Gayo Lues, Subulussalam, serta Langkat di Sumut.
Menurut Adhi, konflik antara harimau Sumatra dengan manusia disebabkan oleh beberapa dugaan yang dilihat secara ilmiah. Pertama, telah terjadi kepadatan populasi harimau Sumatra di dalam kawasan TNGL. Kemudian, dugaan kedua adalah kemungkinan sudah mulai berkurangnya satwa mangsa yang ada di dalam kawasan hutan TNGL.
"Beberapa parameter ilmiah coba kami analisis baik terkait dengan mangsa, cuaca, intensitas, dan aktivitas manusia telah dianalisis," ungkapnya.
Adhi melanjutkan, untuk meminimalisir konflik antara satwa liar dengan manusia Balai Besar TNGL telah menyiapkan sejumlah upaya. Salah satunya mengintensifkan keberadaan petugas Balai Besar TNGL di dalam kawasan untuk mengurangi penyebab terjadinya konflik.
"Seperti membersihkan jerat. Sampai saat ini jerat masih ada di dalam kawasan. Jerat ini bisa mengakibatkan terjeratnya satwa mangsa termasuk harimau itu sendiri," ujarnya.
BACA JUGA: Harimau Sumatera di Aceh yang Sempat Luka Parah Akibat Jerat DilepasliarkanKemudian, Balai Besar TNGL juga meningkatkan aktivitas patroli dan menyadarkan masyarakat terkait faktor apa saja yang bisa menyebabkan terjadinya konflik antara satwa liar dengan manusia.
"Menyampaikan kepada masyarakat apa-apa saja yang menjadi parameter atau penyebab konflik termasuk di dalam pengelolaan hewan ternak itu bisa memancing harimau keluar kawasan. Kami bersama mitra membangun kandang anti harimau di lokasi-lokasi rawan konflik. Itu untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat dengan satwa liar," pungkas Adhi.
Sementara itu, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatra telah menangani 8 kasus kejahatan dan perdagangan terhadap satwa dilindungi yang terjadi di Aceh serta Sumut selama tahun 2021. Kepala Seksi Balai Gakkum Wilayah I Sumatra, Haluanto Ginting, mengatakan dari 8 kasus itu wilayah Sumut dengan 5 kasus dan 3 kasus di Aceh.
"Untuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar di tahun 2021 ada 8 kasus yang kami tangani. Di mana dari 8 kasus ini 3 di antaranya sudah lengkap berkas untuk disidangkan (P-21) dan sisanya masih penyelidikan," katanya.
Haluanto memaparkan, sejumlah kasus kejahatan dan perdagangan satwa dilindungi seperti harimau Sumatra, macan akar, kura-kura baning cokelat, dan sisik tenggiling.
"Tahun tahun ini cukup lumayan khususnya harimau dan itu berlokasi banyak di Aceh. Mendominasi harimau dan sisik tenggiling. Tapi yang cukup besar kami tangkap banyak barang bukti itu sisik tenggiling di Sumut," ujarnya.
Dalam catatan akhir tahun ini, STFJ menyoroti kasus kejahatan dan perdagangan satwa masih terbilang cukup tinggi terjadi di Sumut dan Aceh sepanjang tahun 2021. Direktur STFJ, Rahmad Suryadi, mengatakan kejahatan satwa yang terjadi kerap bersinggungan dengan jerat. Penggunaan jerat oleh masyarakat menjadi perhatian serius yang merupakan bentuk kejahatan terhadap satwa.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pemasangan jerat mengakibatkan kematian pada satwa dilindungi di kawasan Sumut dan Aceh juga menjadi penekanan masalah yang harus segera diatasi. Itu karena sangat berbahaya bagi satwa dilindungi," tandasnya. [aa/em]