‘Jadikan Amerika Kembali Cerdas’: Ratusan Orang Berpawai untuk Ilmu Pengetahuan

CEO Cool Effect, Marisa de Belloy, kiri tengah, salah satu pendiri Cool Effect, Dee Lawrence, kanan tengah, direktur pemasaran Cool Effect, Jodi Manning, kanan dan para pendukungnya menghadiri rapat akbar sebelum berpartisipasi dalam Pawai untuk Ilmu Pengetahuan hari Sabtu, 14 April 2018 di Washington, D.C. (foto: Paul Morigi/AP Images untuk Cool Effect)

Dengan memberi isyarat ke Gedung Putih, tempat tinggal Presiden Donald Trump yang telah menyebutkan dirinya sebagai “seorang jenius yang sangat stabil,” Isaac Newton menunjukkan ketidaksepakatannya.

“Karena saya mengenal banyak orang jenius, selain saya sendiri adalah orang jenius, saya terus terang mengatakan klaim itu menunjukkan keangkuhan dirinya,” ujar “Newton,” alias Dean Howarth, seorang guru fisika di SMA di Virgina yang berdandan ala zaman Newton.

Howarth berada di tengah ratusan orang yang ikut serta dalam “Pawai untuk Ilmu Pengetahuan” hari Sabtu di Washington untuk “menciptakan perubahan nyata dan menyerukan akuntabilitas yang lebih besar bagi para pejabat publik untuk memberlakukan kebijakan berbasis bukti,” menurut panitia.

Itu adalah pesan resmi dari pawai tersebt, satu dari lebih dari 200 perhelatan yang dilakukan di seluruh dunia.

Namun sebagai pembicara utama, Sheila Jasanoff, mengatakan poster yang dibawa orang seperti Howarth menampilkan kisah yang lebih langsung dan sederhana.

Banyak dari pesan-pesan itu, meskipun tidak seeksplisit pesan yang dibawa Howarth, mengandung kritik implisit terhadap Trump, yang menarik diri dari Kesepakatan Paris terkait perubahan iklim, mempertahankan pembangkit listrik bertenaga batu bara, berusaha untuk mengembalikan peraturan terkait lingkungan, dan masih belum menunjuk penasihat utama untuk bidang ilmu pengetahuan.

“Jadikan Amerika Kembali Cerdas,” bunyi sebuah poster yang diusung oleh seorang pengunjuk rasa, sebagai alternatif untuk slogan yang diusung Trump, “Jadikan Amerika Kembali Hebat.”

“Kami di sini karena tak seorangpun ingin dipimpin oleh naluri pejabat yang kami pilih,” ujar Jasanoff, seorang Profesor dibidang Ilmu Pengetahuan dan Studi Teknologi di Harvard, dalam pidato pembukaannya tanpa merujuk secara spesifik kepada kecendrungan Trump yang sering diberitakan untuk memerintah berdasarkan insting ketimbang analisis.

“Ilmu pengetahuan yang baik bergantung pada demokrasi yang baik. Saya ulang sekali lagi: ilmu pengetahuan yang baik butuh demokrasi yang baik,” ujarnya.

David Titley, seorang purnawirawan laksamana muda yang memimpin gugus tugas AL terkait perubahan iklim, menyampaikan kepada para peserta pawai bahwa ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa kita perlu “mengambil tindakan sekarang untuk mencegah hal terburuk dari risiko-risiko yang kita tahu sangat mungkin terjadi.”

Banyak orang di tengah kerumunan yang mendengarkan di bawah rimbun pohon-pohon sakura di bawah Monumen Washington di hari Sabtu pertama di tahun ini yang terasa seperti musim panas.

“Ilmu pengetahuan memisahkan fakta dari kekeliruan, kepalsuan, dan fanatisme,” ujar Titley. “Apabila kita mengabaikan dan merendahkan ilmu pengetahuan maka kita sendiri yang akan menanggung risikonya.”

Suzelle Fiedler, 44 tahun, seorang mantan pekerja laboratorium, mengatakan kepada AFP ia hadir dalam pawai akbar ini karena adanya kehendak dari pemerintahan untuk memotong pendanaan penelitian, dan “mereka mengabaikan banyak fakta ilmu pengetahuan seperti perubahan iklim.”

Poster yang diusung Steven Schrader berbunyi “saya bukan ilmuwan gila. Saya marah.”

Schrader, 66 tahun, mengatakan kepada AFP pemerintah “intinya mencoba untuk mengesampingkan ilmu pengetahuan dari proses pengambilan keputusan.” [ww]