Masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki pengetahuan lokal yang mumpuni untuk hidup di kawasan rawan gempa. Struktur bangunan tradisional telah diwariskan berabad-abad dan terbukti mampu menahan goncangan. Dalam gempa Lombok misalnya, bangunan tradisional kokoh berdiri, sementara bangunan berbahan beton justru ambruk.
Karena itu, menurut Guru Besar Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Prof Paulus Pramono Rahardjo, struktur bangunan tradisional sebenarnya adalah salah satu pilihan tepat.
“Saya mengingat kembali waktu terjadi gempa di Liwa, Lampung, tahun 1994. Itu di sana bangunan-bangunan dari kayu dan bambu, dan bangunan-bangunan panggung, itu enggak roboh. Tetapi bangunan batu bata dan beton itu roboh,” ujar Pramono ketika dihubungi VOA.
“Mengapa? Ya, karena sebetulnya zaman dahulu rupanya orang sudah mengalami gempa berulang-ulang, maka dibuatlah bangunan-bangunan yang secara tidak disadarinya, itu kalau bangunan dari bambu dari kayu itu dalam bahasa engineering itu ducktile,” tambah Pramono memberi alasan.
Sifat bangunan ducktile akan cenderung liat dan tidak getas. Sifat itu mampu mengikuti goyangan ketika gempa terjadi, sehingga bangunan cenderung tidak roboh.
Pilihan kedua adalah membuat bangunan beton, tetapi harus memiliki spesifikasi tahan gempa. Pemerintah menetapkan potensi besaran gempa di satu wilayah, kemudian menerapkan aturan spesifikasi bangunan yang mampu menahan getaran sebesar potensi tersebut.
“Problem kita adalah law enforcement, sejauh mana pemerintah dapat memaksakan bahwa bangunan ini harus aman,” ujarnya.
Pemerintah Memberi Contoh
Dalam aturan saat ini, setidaknya ada empat bangunan yang harus 100 persen aman terjadap gempa, yaitu bangunan pemerintah, rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah. Bangunan pemerintah disebut pertama, karena memang pemerintah harus memberi contoh ketika membangun bangunan beton, harus mempertimbangkan potensi gempa dan kemampuan bangunan itu menagan getarannya.
BACA JUGA: Mengapa Gempa Cianjur Memiliki Daya Rusak Besar?“Kalau bangunan pemerintah saja roboh, terus kita menuntut bangunan yang bukan milik pemerintah tidak roboh, itu kan susah. Yang memberi contoh, kan bangunan pemerintah. Itu salah satu bukti, bahwa law enforcement itu belum berjalan baik,” tambah Pramono.
Dari gempa Cianjur, dapat diketahui sejumlah bangunan milik pemerintah, seperti sekolah, kantor hingga penjara mengalami kerusakan.
Kunci menerapkan bangunan tahan gempa, kata Pramono, ada pada proses pembuatan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Proses ini sekaligus harus menjadi penegakan aturan, di mana bangunan yang dalam proposal IMB tidak memenuhi syarat tahan gempa, seharusnya tidak dikeluarkan izinnya.
Selain itu, peta sesar yang sudah dibuat juga harus dipatuhi. Tinggal tepat di atas sesar bukanlah pilihan yang tepat, kata Pramono. Seharusnya, Indonesia belajar dari gempa-gempa yang sudah sangat sering terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Kaidah Bangunan Menjadi Kunci
Geolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr. Gayatri Indah Marliyani menyebut kombinasi gempa magnitudo 5.6 SR dan hiposenter dangkal, yaitu 11 km membuat gempa Cianjur menimbulkan kerusakan cukup luas di sepanjang sesar yang ada. Dia juga meyakini, salah satu penyebab utama banyaknya korban yang jatuh adalah tertimpa bangunan rumah.
“Tidak semua rumah warga dibangun dengan metode tahan guncangan gempa,” ujarnya.
BACA JUGA: Bale Bayan: Rumah Adaptif Tahan Gempa di Lombok UtaraKarena itu, pemerintah melalui lembaga teknis yang berwenang, harus memetakan sumber gempa. Langkah selanjutnya adalah memperhitungkan besaran dampak yang mungkin muncul, ketika gempa terjadi. Luasan area terdampak harus teridentifikasi dengan baik dan pembaruan peta dilakukan berkala.
“Setelah peta sumber sudah ada, hasil ini harus dituangkan dalam aturan dan tatacara untuk bangunan tahan gempa. Aturan dan tatacara ini harus ditaati dan kontrol pelaksanaannya harus diperketat,” tambah Gayatri.
Jika spesifikasi teknis bangunan sudah dipatuhi, langkah selanjutnya adalah kesiapan menghadapi bencana dengan aturan penempatan barang di dalamnya.
“Misalnya, memperbaiki tata letak furnitur agar memudahkan evakuasi, atau menghindari pemasangan hiasan dalam rumah yang resiko untuk jatuh ketika terguncang, misalnya pada area tempat tidur,” detilnya.
Sementara dalam penyataannya, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Irwan Meilano mengingatkan bahwa gempa Cianjur kali ini adalah perulangan dari peristiwa gempa sebelumnya. Karena itu, seluruh pihak harus mengambil pelajaran dari gempa kali ini.
“Concern utama, ada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa. Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa,” papar Irwan.
“Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan,” lanjutnya. [ns/ah]