Film animasi terbaru Disney, Raya and the Last Dragon (selanjutnya disebut Raya), menerima sambutan hangat dari banyak pihak. Para kritikus film mengapresiasi pengembangan karakter Raya hingga penggambaran negeri dongeng Kumandra yang sejak awal digembar-gemborkan terinspirasi kebudayaan Asia Tenggara.
“Animasinya sangat indah, memukau, petualangannya seru dan jalan ceritanya mengharukan. Di akhir film saya harus menahan air mata karena sungguh emosional. Filmnya indah dan bercerita tentang budaya Asia Tenggara – tentang kita – jadi saya merasa lebih terhubung dengan ceritanya,” kata Rama Tampubolon, blogger film Hollywood keturunan Indonesia yang berbasis di California, saat membahas Raya dengan VOA, Kamis (11/3).
Tanggapan positif juga diberikan aktor Verdi Solaiman, yang baru-baru ini membintangi film omnibus Quarantene Tales. Ia terpukau dengan visualisasi budaya dan palet warna yang dipilih untuk melukiskan Kumandra.
“Meskipun ini film Asia, tapi kok fresh sekali, autentik ethnicity-nya, dan dia nggak memilih hanya satu negara, tapi sekumpulan referensi dari negara-negara di Asia Tenggara,” kata Verdi.
Situs agregator ulasan film Rotten Tomatoes mencatat 94 persen ulasan positif dari setidaknya 250 kritikus film yang beropini, dengan konsensus berupa pujian bagi Disney yang semakin memerhatikan isu representasi – sebuah sentimen yang juga dirasakan pengamat film sekaligus direktur program Los Angeles-Indonesia Film Festival, Stanley Chandra.
“Akhirnya komunitas Asia Tenggara punya seorang Disney princess dan ia adalah seorang warrior-princess,” ujarnya.
Misrepresentasi Aktor dan Persepsi Asia Monolitik
Puja-puji bagi Raya nyatanya tak lepas dari kekecewaan sebagian pihak yang merasa representasi budaya Asia Tenggara tidak direalisasikan seratus persen. Pasalnya, para pengisi suara dalam film Raya masih didominasi aktor dan aktris non-Asia Tenggara.
“Masuknya kesalahan ini, atau kekurangan ini, menurut saya (karena) adanya persepsi di studio-studio besar Hollywood tentang monolithic Asian (identity),” ujar Stanley dalam wawancara dengan VOA melalui Skype (11/3).
Yang ia maksud dengan monolithic Asian identity adalah persepsi bahwa semua warga Asia sama saja dari budaya mana pun mereka berasal.
“Katakanlah film lain, waktu membuat konsep itu, ‘kita perlu nih satu tokoh Asia.’ Mereka ngomongnya Asia itu baik keturunan Tionghoa, Indonesia, Vietnam atau Filipina itu sama saja. Kenyataannya kan tidak...Orang Asia Timur dengan Asia Tenggara itu jauh sekali, secara budaya jauh sekali, sampai pada abad ke sekian kan baru ada pertemuan, mix dan sebagainya,” papar Stanley.
Meski merayakan film itu, Stanley menyayangkan pemilihan aktor dan aktris dalam Raya, yang menurutnya krusial dalam suatu film animasi, karena dialek dalam suara pemain berperan penting untuk menunjukkan identitas karakter, yang dalam hal ini terinspirasi Asia Tenggara.
“Oke lah, dalam satu cast itu pasti nanti ada satu yang dipilih, yang misalkan jadi nilai jual,” kata Stanley, “tapi sisanya, mereka seharusnya bisa sih cari voice actors yang mewakili dialek-dialek di Asia Tenggara.”
Rama Tampubolon, yang mengelola blog ulasan film Hollywood Ramascreen.com, satu suara dengan Stanley. Ia mengaku, keluhan yang sama ia dengar dari teman-temannya yang berdarah Asia Tenggara, yang mengatakan, “Rasanya kita tidak cukup terwakili.”
Rama menuturkan, “Kita sebelumnya mendengar tentang pencarian bakat besar-besaran untuk memerankan karakter Mulan dan Moana, tapi mereka tidak melakukan hal yang sama (untuk Raya). Mereka mengacaukannya, jadi rasanya mengecewakan ketika mereka tidak melakukan hal itu untuk (komunitas) kita.”
Sementara itu, meski tidak keberatan dengan pertimbangan aspek komersial yang membuat Disney meng-casting aktor dan aktris Hollywood untuk menggaet penonton, aktor film Love for Sale, Verdi Solaiman, berharap ada kepercayaan lebih yang diberikan studio film di Hollywood kepada seniman lokal.
“Mereka harus percaya bahwa aktor dan aktris dari negara lain pun bisa bermain dengan baik. Anda tidak selalu harus berada di zona nyaman,” kata Verdi.
Karakter Raya diperankan oleh aktris Kelly Marie Tran yang berdarah Vietnam. Sementara karakter utama lainnya, Sisu sang naga, dimainkan oleh aktris sekaligus rapper Amerika berdarah Tionghoa dan Korea, Awkwafina, yang sebelumnya mencetak sejarah melalui film The Farewell sebagai aktris keturunan Asia pertama yang meraih piala Golden Globe untuk kategori pemeran utama perempuan dalam film.
Sedangkan karakter-karakter pendukung lainnya diperankan oleh Izaac Wang yang berdarah Tionghoa dan Laos, Gemma Chan dan Benedict Wong yang sama-sama keturunan Hong Kong, Daniel Dae Kim dan Sandra Oh yang berdarah Korea, serta Thalia Tran yang memiliki darah Vietnam.
“Diskusi yang Baik, Tapi Kami Bangga dengan Para Pemain Raya”
Saat dimintai tanggapan soal kritik misrepresentasi casting Raya oleh VOA dalam wawancara lewat Skype (11/3), sang penulis skenario, Adele Lim – yang berasal dari Malaysia, menghargai kritik yang diberikan terhadap film garapannya.
“Pertama-tama, menurut saya merupakan hal yang baik bahwa kita mendiskusikan hal ini sekarang, karena selama ini tidak pernah ada diskusi tentang masalah representasi di Hollywood,” ujar Adele, yang mengaku baru kali ini setelah dua dekade lebih berkarir sebagai sineas film Hollywood, mendapatkan kesempatan untuk membuat film yang mewakili akar budayanya.
Di sisi lain, ia merasa puas dan bangga dengan jajaran pemain Raya, terlebih dengan hadirnya sosok Disney princess asal Asia Tenggara yang diperankan Kelly.
Adele mengatakan, “Kami merasa masing-masing pemain sangat membantu dalam menghidupkan karakter-karakter dalam film ini, di mana mereka membawa banyak sekali pengalaman pribadi mereka ke dalam karakter-karakter itu. Jadi, kami sangat beryukur dan puas dengan penampilan mereka.”
BACA JUGA: Indonesia dalam Film "Raya and the Last Dragon"Jawaban serupa juga diungkapkan konsultan-konsultan budaya asal Indonesia yang terlibat dalam film itu.
Emiko Saraswati Susilo, misalnya. Seniman dari sanggar Çudamani itu menilai akting suara para pemain telah berhasil menyampaikan pesan film Raya. Sementara Juliana Wijaya, ahli bahasa dari Center for Southeast Asian Studies UCLA, mengatakan sebagian representasi talenta terwujud melalui kedua penulis skenario, Qui Nguyen dan Adele Lim, yang sama-sama keturunan Asia Tenggara: Nguyen dengan darah Vietnam, dan Adele yang lahir dan besar di Malaysia.
Meski demikian, keduanya sepakat bahwa keterlibatan lebih banyak talenta Asia Tenggara bisa menjadi hal yang sangat baik.
“Saya harap akan ada banyak film tentang Asia Tenggara ke depan yang bisa terus mengangkat budaya kita, terus memberi kesempatan kepada seniman-seniman dan aktor Asia Tenggara,” tambah Emiko.
Di Jalur yang Benar
Selain kritik tentang misrepresentasi talenta dalam Raya, beberapa pihak juga menyoroti tentang penggambaran budaya Asia Tenggara yang tidak komprehensif dalam film tersebut.
Namun demikian, pengamat film Stanley Chandra memaklumi hal itu.
“Ada banyak unsur-unsur (Asia Tenggara) yang waktu saya nonton – sejujurnya – hilang. Tapi setelah saya pikir-pikir, beberapa unsur itu kalau dimasukkan ke dalam filmnya, menurut saya secara komersial tidak memungkinkan,” katanya. “Kalau terlalu banyak istilah atau kata-kata baru yang kita perlu pelajari waktu kita nonton film ini, hal itu bisa menghilangkan minat penonton.”
Sementara, konsultan budaya Raya, Juliana Wijaya, punya sudut pandang yang berbeda terkait kritik tersebut. Ia berkata, “Memang ada kritik yang mengatakan, ‘oh, mereka menyatukan seluruh Asia Tenggara, padahal Asia Tenggara itu daerah yang punya beragam budaya.’ Yang perlu diingat, ini adalah fantasi, ini film. Jadi saya menghargai usaha mereka untuk put Southeast Asia on the map.”
Apresiasi itu juga diberikan blogger film Rama Tampubolon. Terlepas kritik yang dilayangkannya, ia menganggap hadirnya Raya dengan ke-Asia Tenggara-annya di lansekap perfilman Hollywood sebagai suatu kemajuan.
“Bukan kemajuan yang utuh, tentu saja, tapi tetap sebuah kemajuan. Dan seperti saya bilang tadi, mereka nyatanya cukup berusaha menciptakan desain karakter yang benar, menggambarkan wajah dengan tepat, benar-benar membuat karakter-karakter itu mirip dengan kita,” ungkapnya.
Sama seperti Rama, aktor Verdi Solaiman juga menghargai upaya Disney menciptakan Raya.
“Film ini ada di jalur yang benar. Ia memang bukan lompatan besar yang kita harapkan, tapi ia mengarah ke sana,” pungkasnya.
Sebelum Raya and the Last Dragon, Hollywood, yang kerap menjadi tolok ukur industri perfilman global, tak pernah benar-benar mengangkat kebudayaan negara-negara di Asia Tenggara sebagai inspirasi utama film mereka. Adapun beberapa film Hollywood yang pernah melakukannya – atau menjadikan Asia Tenggara sebagai latar cerita, di antaranya Crazy Rich Asians (2019), The Lady (2011), Eat Pray Love (2010) dan film peraih Piala Oscar, The Killing Fields (1984). [rd/ab]