Referendum itu akan memutuskan apakah pemilih mendukung konstitusi baru yang akan meningkatkan pengaruh politik yang lebih besar oleh militer setelah pemilu baru diadakan tahun depan.
Konstitusi baru akan mencakup 250 anggota senat yang ditunjuk militer bersama dengan 500 amggota DPR yang terpilih.
Seberapa besar dukungan publik untuk piagam baru itu masih tidak jelas.
Kelompok-kelompok sipil tetap kritis terhadap dukungan militer untuk perdana menteri yang baru melalui keanggotaan bersama di kedua majelis itu. Menurut mereka seharusnya dukungan datang dari partai yang dipilih atau koalisi dengan suara terbanyak.
Krystal Tan, analis ekonomi dari Capital Economics yang berbasis di Singapura,mengatakan, investor tetap resah mengingat ketidakpastian apakah referendum itu akan gagal.
"Semua orang mengamati untuk melihat apa yang terjadi pada referendum ini dan masalahnya adalah tidak jelas apa yang terjadi selanjutnya jika referendum tidak lolos. Dalam hal ini Anda bisa melihat penundaan lebih lanjut untuk pemilihan yang dijadwalkan tahun depan. Dan akan ada waktu yang tidak terbatas ini ketika militer memegang kendali," kata Tan.
Sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Mei 2014, pertumbuhan ekonomi Thailand tersendat dan di bawah normal sekitar 3,5 persen. Pejabat Bank of Thailand memperkirakan kondisi ekonomi akan membaik pada paruh kedua tahun 2016, dibantu oleh perkiraan belanja publik dan pemasukan dari pariwisata.
Tapi investasi swasta, penggerak ekonomi utama, terus tersendat. Pada tahun 2015, investasi swasta tumbuh dengan hanya 1,5 persen, dengan para ahli meramalkan perekonomian akan mengalami kontraksi dua persen tahun ini.
Permohonan investasi baru melalui Dewan Investasi (BOI) tahun lalu anjlok hampir 90 persen dari tahun 2014 dan dinilai hanya $ 6,23 miliar.
Referendum itu telah menciptakan ketidakpastian baru bagi investor asing utama seperti Jepang, kata Chris Baker, komentator bisnis yang berbasis Thailand.
"Referendum itu tentu menimbulkan ketidakpastian dan dalam semua hal bagi investor asing itu yang paling penting khususnya di kalangan Jepang dan Korea. Tapi terutama di kalangan orang Jepang, mereka tidak melihat rezim militer ini sebagai pemerintahan yang permanen, mereka ingin melihat pemerintah yang akan bertahan lama sehingga mereka dapat terlibat dalam negosiasi serius," tambahnya.
Para ekonom dari United Overseas Bank di Thailand itu mengatakan stabilitas makro-ekonomi, termasuk lembaga yang berfungsi dan stabilitas politik adalah kunci untuk memastikan investasi yang berkelanjutan ke negara itu.
Di tengah ketidakpastian politik, belanja barang konsumsi juga melambat dengan Thailand melaporkan permintaan yang lebih rendah untuk impor telah memungkinkan negara itu melaporkan surplus dalam pembayaran internasional.
Di daerah pedesaan, Bank of Thailand mengatakan ada kekhawatiran atas tingginya tingkat utang rumah tangga di kalangan petani yang terkena dampak kekeringan yang terus-menerus selama dua tahun dan harga komoditas internasional yang lemah. Hutang rumah tangga di Thailand telah mencapai lebih dari 80 persen PDB.
Jajak pendapat publik menunjukkan sejumlah besar pemilih masih belum memutuskan apakah mendukung atau tidak mendukung konstitusi baru itu.
Tapi Supavud Saicheua, direktur pelaksana Phatra Securities, mengatakan walaupun hasil referendum tidak jelas, diduga militer akan tetap berkuasa dalam waktu dekat
"Ada argumen bahwa referendum tidak masalah. Saya agak setuju dalam arti bahwa apa pun yang kita katakan dalam referendum itu, pemerintah masih akan ingin apa yang diinginkan dan akan melakukan apa yang mereka inginkan. Jadi jika mereka mengatakan 'tidak,' pemerintah akan mengatakan mereka suka dengan konstitusi ini dan kami akan menulis sesuatu yang mirip dengan apa yang sedang disajikan," ujar Saicheua.
Lembaga kajian ekonomi yang dikelola negara, National Economic and Social Development Board (NESDB), dalam rencana ekonomi lima tahun terakhirnya, telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahunan 5,0 persen pada tahun 2017-2021.
Strategi pembangunan utama dikatakan akan berfokus pada sumber daya manusia, penyempitan kesenjangan pendapatan, pelestarian sumber daya nasional dan penelitian dan pengembangan sektor pertanian dan industri.
Tapi analis Capital Economics pesimistis atas prospek ekonomi Thailand. Di antara negara-negara Asia Tenggara, mereka melihat perekonomian Thailand kemungkinan besar mengalami "kinerja terburuk dalam jangka menengah" mengingat prospek politik meresahkan.
Para analis mengatakan militer telah gagal untuk mengatasi perpecahan politik yang mendalam, dan pemilihan umum baru yang mungkin mengarah ke satu lagi "siklus kerusuhan politik." [ab/as]