Refleksi Dua Dekade Pasca Soeharto

  • Petrus Riski

Diskusi Publik Dua Dekade Pasca Soeharto di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya (Foto: VOA-Petrus Riski).

Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, menggelar diskusi publik mengenai "Dua Dekade Pasca Soeharto", Jumat (4/5). Berbagai permasalahan yang dihadapi Indonesia pasca reformasi menjadi bahasan dalam diskusi, untuk menghasilkan catatan kritis terhadap upaya reformasi yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini.

Bulan Mei menjadi bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada Mei 20 tahun lalu terjadi peristiwa pergantian kekuasaan melalui gerakan reformasi, yang dipelopori dan digerakkan oleh mahasiswa serta berbagai elemen pemuda di Indonesia.

Menurut sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Abdul Wahid, kini Indonesia telah memiliki kebebasan yang lebih luas pada berbagai aspek, dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto dan Orbe Barunya. Namun, masih ada banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan oleh pemerintah, khususnya untuk masalah hukum, korupsi, egoisme politik, serta berbagai kebijakan pemerintah yang belum memihak rakyat kecil.

“Kebijakan-kebijakan pemerintah, penegakan hukum, korupsi dan nepotisme masih sangat marak sampai sekarang. Kemudian, pada saat yang sama upaya penegakan hukum di segala bidang, tapi terutama dalam penuntasan kasus-kasus korupsi juga masih cenderung belum sepenuhnya bisa dilaksanakan dengan smooth. Egoisme politik saya kira juga itu sesuatu yang harus kita waspadai sekarang. Dinamikanya barangkali karena orang semakin merasa bebas, tetapi kita harus betul-betul belajar bagaimana untuk berkompetisi secara sehat, betul-betul menjadikan kepentingan bersama masyarakat sebagai kepentingan yang harus didahulukan,” kata Abdul Wahid.

Selain pekerjaan rumah menuntaskan agenda reformasi, pemerintah juga dituntut menjalankan hukum dan hak asasi manusia secara adil sesuai konstitusi. Pakar hukum dari Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang Perdana Wiratraman mengatakan, meski telah ada banyak perkembangan positif dalam konteks hukum Indonesia, pemerintah harus terus berusaha untuk menjalankan komitmen politik sebagai penyelenggara kekuasaan dalam melindungi warga negaranya.

Herlambang mengatakan pemerintah harus berani menuntaskan kasus-kasus hukum yang terjadi pada masa Orde Baru untuk memberikan kepastian dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

“Pemerintah perlu berani menuntaskan kasus-kasus yang tertunggak di 20 tahun yang lalu, sejak jatuhnya Soeharto itu belum selesai, impunitas terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mangkraknya kasus-kasus agraria, sumber daya alam yang terus menerus dihancurkan, dan walaupun pemerintah punya program reforma agraria, tetapi faktanya pembiaran kasus tanah di berbagai daerah itu menunjukkan tidak pararel dengan komitmen politik itu. Ada keberanian negara untuk menciptakan perlawanan terhadap oligarkhi kekuasaan, dan saya kira ini bukan pekerjaan sederhana dari negara, dan dia harus melibatkan banyak elemen,” imbuhnya.

Selain itu, kata Herlambang, kekuatan pasar sebagai pemegang modal dirasa sangat menentukan arah kebijakan saat ini, tidak lagi pada seorang pemimpin saja seperti pada era Orde Baru. Intervensi kekuatan modal saat ini sudah masuk tidak hanya pada aspek kebijakan, melainkan juga sektor media atau pers, dan dunia pendidikan tinggi.

“Kekuatan pasar mengontrol banyak aspek atau pihak, mulai dari dunia pendidikan tinggi, masyarakat sipil itu sendiri, negara di dalam menciptakan diskursus hak asasi sekali pun, sehingga para penindas hak asasi manusia pun menggunakan istilah hak asasi, dalam rangka menjalankan kekuasaan yang sewenang-wenang itu," jelas Herlambang Perdana Wiratraman dari Pusat Studi Hukum dan HAM, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

"Dan menariknya adalah, bahwa banyak yang tidak tersadarkan dalam konteks hari ini, bahwa situasi itu masuk secara rapi, dengan teknokratik yang sangat ditransmisikan melalui produk-produk hukum, sehingga kerap kali kita mendapati bahwa penindasan itu langgeng, karena masyarakat atau komunitas intelektual tidak cukup memahami itu,” tambahnya.

Pengajar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, Yanwar Pribadi mengatakan, sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia juga dipengaruhi oleh perkembangan Islam sejak era Orde Baru hingga reformasi.

Yanwar mengungkapkan, Islam terpaksa harus masuk ranah privat pada era pemerintahan Soeharto, meski sebelumnya Islam telah berhasil menampilkan karakternya sebagai salah satu agama publik.

Pada era reformasi hingga saat ini, Islam juga semakin berkembang ke arah positif, meski ada juga perkembangan yang dirasa mengkhawatirkan. Kendati demikian, Yanwar percaya bahwa hubungan Islam dengan negara Indonesia jauh lebih baik dari pada negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan, maupun di Afrika.

“Pada masa Orde Baru, Islam itu walaupun bisa menampilkan ciri sebagai agama publik, tetapi oleh pemerintah Soeharto dipaksa untuk masuk ke ranah privat. Nah, sekarang itu lebih bisa menampilkan dirinya, tetapi oleh sebagian kalangan kemunculan ke ranah publik ini diasosiasikan dengan kemunculan ke ranah politik. Ini bukan sesuatu yang salah sebenarnya, tetapi yang tidak benar adalah ketika politik itu kemudian di-Islamisasi, atau Islam itu dipolitisasi," kata Yanwar Pribadi.

"Nah, dua hal ini yang menurut saya tidak tepat, bukan berarti masyarakat Muslim tidak boleh berpolitik, tapi menggunakan jargon-jargon agama untuk kepentingan politik elektoral, dan juga kepentingan politik identitas itu menjadi masalah,” imbuh Pengajar UIN Sultan Maulana Hasanuddin ini.

Your browser doesn’t support HTML5

Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Airlangga Gelar Refleksi Dua Dekade Pasca Soeharto

Menyikapi sentimen agama yang dikaitkan dengan kepentingan politik saat ini, Yanwar berharap para pemuka agama mampu mengambil peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk mengarahkan negara ini dalam beragama secara lebih moderat.

“Peran pemuka agama itu menjadi penting, ketika pemuka agama tidak hanya sibuk mengenai masalah ekonomi, atau perdebatan-perdebatan tentang masalah teologi. Kini sudah saatnya pemuka-pemuka agama itu tidak terlalu fokus kepada masalah teologi, tetapi lebih kepada bagaimana menyejahterakan umat, berperan menyumbang pemikiran, saran dalam kehidupan kenegaraan,” jelasnya. [pr/lt]