Rekam jejak HAM pemerintah China menjadi sorotan dalam evaluasi hak asasi manusia (HAM) PBB di Jenewa, Swiss. Pejabat tinggi HAM PBB mengatakan hari Senin (13/9), kantornya sedang menyelesaikan laporan mengenai tuduhan “pelanggaran HAM serius” di Xinjiang, China, setelah China merilis Rencana Aksi HAM Nasional China untuk tahun 2021-2025 pada 9 September lalu.
“Dengan menyesal saya tidak bisa melaporkan kemajuan atas upaya saya untuk mendapatkan akses ke Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang,” kata Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Pada pembukaan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Bachelet mengatakan kantornya tengah menyelesaikan kajian tentang informasi yang tersedia mengenai tuduhan pelanggaran HAM dan berencana akan merilis kajian itu ke publik.
Laporan ini penting dan dirilis di saat yang tepat, menurut Zumretay Arkin, manajer program dan advokasi di Kongres Dunia Uighur yang berada di Munich, dan bertepatan dengan peringatan tiga tahun sejak Komisaris Tinggi PBB itu meminta akses ke wilayah itu.
BACA JUGA: Warga Uighur di Afghanistan Khawatir Dideportasi ke China“Laporan ini adalah laporan pertama dari kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tapi hanya akan menjadi laporan tambahan bagi laporan-laporan yang sudah ada dari prosedur khusus PBB dan badan-badan perjanjian PBB,” kata Arkin kepada VOA Mandarin.
Menurut Marta Hurtadi, seorang juru bicara untuk Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), beberapa otoritas PBB telah menilai situasi HAM di Xinjiang sejak 2018, termasuk Komite Penghapusan Diskriminiasi Rasial dan berbagai ahli hak asasi manusia yang terlibat dengan Dewan HAM PBB.
Badan-badan independen itu menyampaikan keprihatinan mereka mengenai situasi HAM di Xinjiang, di mana Human Rights Watch dan Amnesty International menuduh Beijing melakukan kejahatan kemanusiaan dengan secara sewenang-wenang menahan lebih dari 1 juta warga Uighur dan etnis minoritas Muslim lainnya di kamp interniran dan memaksa lainnya untuk melakukan kerja paksa sambil mengontrol dan memonitor komunitas Uighur secara ketat.
Beijing membantah tuduhan itu dan mengatakan apa yang digambarkan oleh kelompok-kelompok HAM sebagai kamp interniran sebenarnya adalah pusat pelatihan kejuruan di mana orang-orang dari kelompok minoritas yang tidak punya kemampuan bahasa dan keterampilan karir bisa mendapatkan bantuan pendidikan. China bersikeras bahwa orang-orang di Xinjiang bebas memilih pekerjaan yang mereka inginkan.
Hurtado mengatakan pada VOA kunjungan terakhir Komisaris Tinggi PBB ke China berlangsung pada 2005. Ia mengatakan pada tahun 2018 ONCHR tidak berhasil mendapatkan izin dari China untuk bisa mengunjungi Xinjiang tanpa dibatasi, agar timnya bisa melakukan penilaian terhadap perlakuan yang diterima Uighur.
“ONHCR mengatakan mereka berharap timnya bisa berkunjung ke sana selama beberapa hari, untuk bertemu dengan pejabat dan pemangku kepentingan terkait dan bisa dengan bebas mengunjungi institusi dan fasilitas yang berbeda,” kata Hutardo. “Permintaan ini belum dipenuhi hingga saat ini.”
Pada bulan Maret, juru bicara kementerian luar negeri China Wang Wenbin mengatakan pada media di Beijing bahwa Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia tunduk pada tekanan politik dan mengeluarkan tuduhan yang tidak berdasar dan berdasarkan informasi yang salah terhadap China.
“Kami menyambut keinginan Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia untuk berkunjung ke Xinjiang, dan kedua belah pihak sedang membahas hal ini,” kata Wang. “Tapi tujuan kunjungan ini harusnya untuk meningkatkan pertukaran dan kerja sama, bukan untuk melakukan ‘investigasi’ yang sudah menganggap China ‘bersalah.’ Kami dengan tegas menolak manipulasi politik atas isu-isu tersebut untuk menekan China.”
“Penilaian ini adalah langkah pertama untuk menjawab permintaan komunitas internasional dan negara-negara di dunia – begitu juga lebih dari kelompok koalisi masyarakat sipil global agar PBB memantau dan melaporkan masalah ini,” kata Sarah Brooks, direktur program International Service for Human Rights (ISHR).
Brooks mengatakan laporan ini membantu membantah argumen “politisasi” dan menyajikan fakta-fakta obyektif, sebagai dasar bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk sektor bisnis, untuk mengambil tindakan.
“Laporan ini akan menjadi laporan bermakna yang pertama dari kantor Bachelet – dengan kata lain, sebuah institusi PBB, bukan (contohnya) badan independen khusus yang ditunjuk PBB,” kata Brooks. “Laporan ini akan menunjukkan kesenjangan antara kewajiban hukum China, dan praktik yang bisa diverifikasi oleh PBB; dan akan menjadi dasar untuk pemantauan, pelaporan dan pengumpulan bukti yang lebih kuat di masa depan,” tambahnya.
BACA JUGA: China Dituduh Bertanggung Jawab atas Kematian Peneliti UighurPelapor khusus yang ditunjuk PBB, para pakar independen dan staf mereka pernah berkunjung ke China: Pada tahun 2013 kunjungan itu untuk melaporkan mengenai diskriminasi perempuan; tahun 2015 mengenai utang luar negeri; 2017 mengenai kemiskinan ekstrem; dan pada tahun 2019 terkait isu mengenai lansia di China.
“Namun, tidak satu pun dari kunjungan ini termasuk kunjungan ke wilayah Uighur,” ujar Brooks. “Para pakar independen yang bertugas mengevaluasi isu-isu yang benar-benar sulit – seperti penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, hak-hak minoritas, kebebasan beragama, berpendapat, berekspresi – ditolak terus menerus.”
Menurut Peter Irwin, pejabat program senior untuk advokasi dan komunikasi organisasi Uighur Human Rights Project yang bermarkas di Washington, kebijakan China selama ini adalah menunda, selama mungkin, dan menghalangi kantor hak asasi manusia PBB melakukan riset.
“Jika China terus menolak untuk memberikan akses (kunjungan PBB), maka tergantung PBB bagaimana mereka bisa menggunakan hasil riset dan kesaksian yang sangat banyak tersedia di luar negeri dan menghasilkan kesimpulan independen sendiri,” kata Irwin pada VOA. [dw/pp]