Restoran di Vietnam Rangkul Anak Jalanan

Peserta pelatihan KOTO, yang sebelumnya adalah anak-anak jalanan, di restoran di Ho Chi Minh City. (VOA/L. Hoang)

Sebuah jaringan restoran di Vietnam merekrut anak-anak jalanan dan melatih mereka keterampilan industri jasa makanan supaya mandiri.
Di antara banyak anak jalanan yang pernah ditemui Jimmy Pham selama beberapa dekade terakhir, yang paling diingatnya adalah seorang anak perempuan yang kepalanya dibenturkan ke dinding oleh ibunya sendiri 16 tahun yang lalu.

“Itu Paman Tuan!” ujar Pham mengenang salam yang diberikan oleh anak berusia lima tahun itu padanya di jalan Ho Chi Minh City, Vietnam.

Sang ibu, yang berada di sebelahnya, menyuruh anak itu mengemis uang pada Pham, orang asing yang belakangan menjadi dermawan bagi anak-anak setempat. Ketika gadis kecil itu menolak mengemis, ibunya memukulinya.

Ingatan mengenai anak itu, dan sejumlah lainnya yang bernasib sama, memainkan peran penting dalam pembangunan KOTO, jaringan restoran yang didirikan oleh Pham pada 1999. KOTO menggunakan restorannya untuk merangkul anak jalanan dan melatihnya dalam industri jasa.

Tidak seperti saat Pham baru memulai usahanya, Vietnam sekarang memiliki banyak lembaga pelatihan berbasis amal yang melakukan pendekatan ‘memberi kail, bukan ikan.’ Lembaga-lembaga tersebut mengajarkan keterampilan yang dapat dipasarkan, dari membuat kue sampai menjahit, agar orang miskin atau difabel dapat membiayai dirinya sendiri.


Jimmy Pham, 40, mengatakan anak-anak jalanan yang pertama dilatihnya memanggilnya 'kalkun besar gemuk.' (VOA/L. Hoang)

Namun Pham mengatakan bahwa pendekatan ini tidak lagi cukup.

“Kami merasa mengajari mereka ‘mencari ikan’ tidak cukup. Kami ingin menunjukkan bagaimana membangun toko ikan dan mengajar yang lain mencari ikan,” ujar Pham, 40, di restoran KOTO di Ho Chi Minh City.

Sebagai contoh adalah restoran Pots 'n Pans, yang dibuka oleh sekelompok alumni KOTO di Hanoi tahun ini, menggunakan pengalaman dari almamater mereka dan mengirimkan sebagian keuntungannya. KOTO sendiri adalah kependekan dari “Know One, Teach One (Tahu Sesuatu, Ajari yang Lain).”

Pergeseran strategi nirlaba ini masih merupakan hal baru, namun mencerminkan penciptaan kembali yang terus dilakukan oleh KOTO sejak awal.

Pham, yang pindah dari Saigon ke Australia saat masih bayi ketika Perang Vietnam sedang bergolak, kembali pada 1996 sebagai agen perjalanan. Ia terkejut melihat kemiskinan dan menghabiskan beberapa minggu pertamanya membeli makanan untuk anak jalanan dan memberinya uang.

Namun ia sadar hal itu tidak akan berlangsung lama. Setelah beberapa bulan, ia membuka kedai roti lapis di Hanoi agar ia dapat mempekerjakan anak-anak muda Vietnam dan membantu mereka menghasilkan uang. Ia menyebut kelompok itu kelas pertama KOTO (dua kali setahun, cabang-cabang KOTO di Hanoi dan Ho Chi Minh City mengajar kelas baru berisikan 30 orang).

Namun kelas pertama tersebut tidak seperti kelas-kelas yang diadakan sekarang. Pham menyewa rumah untuk para remaja, yang membuatnya berantakan dan memberitahu pembantu rumah tangga untuk meminta bayaran dobel supaya mereka dapat memiliki uang lebih. Mereka bolos dari kelas Bahasa Inggris dan menyebut Pham “kalkun besar gemuk.”

“Jika diingat lagi, saya bisa saja sangat marah,” ujarnya.

Namun, alih-alih menyerah, Pham dan para koleganya mengembangkan konsep yang ada. Selama 13 tahun, lewat proses uji coba yang masih terus berjalan, KOTO telah menjadi salahs atu dari usaha sosial yang paling dikenal di seluruh negeri.

Jaringan restorannya, yang menyediakan makanan Vietnam dan hidangan fusi, merupakan tempat favorit saat ada kunjungan diplomat, dan kateringnya sering dipakai oleh kedutaan besar dan konsulat asing.

Thuy Hang, pejabat diplomasi publik pada Konsulat Australia, mengatakan KOTO “spesial” karena “tidak hanya menyediakan standar tinggi pelatihan keterampilan yang fokus pada perekrutan pekerja bagi para anak muda, namun juga pelatihan ‘keterampilah hidup’ yang lebih luas.”

Para peserta latihan tinggal bersama selama dua tahun di pusat pelatihan, ada satu di tiap kota. Namun layanan industri makanan hanya merupakan bagian dari pelatihan yang mereka dapat. Mereka juga belajar Bahasa Inggris dan bermain sepakbola, serta mengikuti 36 lokakarya dengan topik beragam, dari keuangan sampai pendidikan seks.


Bui Viet An yakin KOTO menerimanya karena ia selalu ingin hidup yang lebih baik. (VOA/L. Hoang)

Proses aplikasi dan pemeriksaan yang ketat mewajibkan peserta pelatihan berusia antara 16 dan 22 dan datang dari latar belakang yang kurang beruntung. Lebih dari 500 warga Vietnam telah lulus dengan sertifikat yang diakreditasi oleh Box Hill Institute, lembaga yang menyediakan pendidikan kejuruan di Australia dan melalui beberapa mitra internasional.

Bui Viet An akan segera menjadi alumni. Kehilangan orangtuanya pada usia 10 tahun, ia tinggal bersama kakek neneknya di sebuah rumah beratapkan jerami yang kemudian roboh karena badai.

“Saya merasa tidak bahagia. Saya hanya memiliki kakek dan nenek saya dan mereka sakit,” ujar An, 23.

“Dari kelas tujuh, saya pergi sekolah di pagi hari, dan pulangnya mencari pekerjaan.”

Ia kemudian menjadi pelayan di sebuah kedai mie, terkadang bekerja sejak pukul 5 pagi dan sampai dini hari, sampai ia mendengar tentang KOTO. Saat ia lulus akhir tahun ini, An berharap dapat bekerja di sebuah hotel berbintang lima.

Dalam tahap transisi ini, KOTO ingin beralih dari citra sebagai lembaga amal dan menjadi usaha yang swadaya. Lembaga ini tidak memiliki dana banyak, bergantung pada bantuan pemerintah, korporat dan donor pribadi karena restoran-restorannya sendiri tidak cukup menghasilkan untung untuk mendanai pelatihan, yang menghabiskan kurang lebih US$10.000 per murid.

Pham, yang disebut sebagai Pemimpin Global Muda pada Forum Ekonomi Dunia tahun lalu, berpikir mengenai diversifikasi usaha agar bisnisnya menghasilkan untung, barangkali berekspansi ke bisnis hotel dan membuka usaha di negara-negara lain.

Ia ingin orang-orang datang ke KOTO karena kualitasnya, bukan hanya didorong niat filantropis. Namun ia menambahkan bahwa KOTO akan tetap menjadi sebuah “usaha dengan hati.” (VOA/Lien Hoang)