Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan revisi Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau yang disebut dengan Undang-undang MD3, Senin (12/2).
Sejumlah pasal dalam Undang-undang tersebut mendapat sorotan diantaranya soal pemberian otoritas ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dalam penyidikan pidana yang harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Selain itu, revisi itu juga mengatur tentang tatacara permintaan DPR kepada polisi untuk memanggil paksa bahkan dengan penyanderaan terhadap orang yang menolak hadir memenuhi panggilan dewan.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus menilai semangat DPR dalam merevisi Undang-undang MD3 adalah semangat anti demokrasi. Kewenangan dan hak DPR ini lanjutnya akan berimplikasi buruk bagi penegakan hukum dan proses demokrasi di Indonesia.
Dia juga mengkhawatirkan hal ini akan menjadi tameng untuk melindungi perilaku koruptif dan penyalahgunaan kewenangan para anggota DPR agar terhindar dari proses hukum.
"Karena di satu sisi DPR menghindari betul upaya-upaya penegakan hukum yang ditujukan kepada mereka tetapi disisi lain mereka menginginkan warga negara yang kritis terhadap DPR itu dibungkam. Penambahan kewenangan MKD karena sebetulnya MKD alat kelengkapan DPR yang mengurusi soal penegakan etika anggotanya, dia kemudian tidak mempunyai kapasitas untuk mengurusi etika warga negara lainnya," kata Lucius.
Lucius juga menambahkan pemberian otoritas ke MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR merupakan upaya kriminalisasi yang dilakukan DPR terhadap masyarakat yang kritis.
Aturan seperti ini tambah Lucius sebenarnya melawan jatidiri DPR yang merupakan wakil rakyat.
Menurut Lucius, lembaganya bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya berencana akan menyiapkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi tentang hal ini.
"Ini semangat otoritarian yang coba dibangkitkan oleh DPR melalui UU MD3. Oleh karena itu UU ini akan digugat ke Mahkamah Konstitusi, memastikan upaya-upaya anti demokrasi yang dilakukan oleh DPR bisa dibatalkan," imnbuhnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo membantah langkah ini hanya upaya DPR agar terhindar dari jeratan hukum. Setiap anggota dewan tambahnya berhak mendapatkan kehormatan sebagai anggota. MKD sebagai lembaga yang menjaga kehormatan anggota dewan perlu memberikan pertimbangan.
"Akal-akalan? Mana ada akal-akalan kan kita bahasnya dengan pemerintah. Pemerintah bisa menentang kalau kita akal-akalan. Yang memberikan izin kan presiden, MKD mempertimbangkan saja. Pertimbangan itu bukan berarti menghambat. Pertimbangannya adalah misalnya panggilan ini sumir tetapi tetap dikirim. Panggilan ini betul sesuai dengan bukti-bukti yang ditemukan penegak hukum," jelasnya.
Sejumlah kasus dugaan korupsi yang masih mengintai anggota parlemen seperti korupsi proyek e-KTP, suap Proyek Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan suap Proyek Jalan Maluku.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk kasus KTP elektronik, KPK baru menindak dua anggota dewan periode 2009-2014 yaitu terdakwa Setya Novanto dan tersangka Markus Nari. Namun berkas dakwaan jaksa penuntut umum KPK merinci dugaan suap proyek e-KTP yang merugikan uang negara 2,3 trilliun rupiah yang mengalir ke banyak mantan dan anggota DPR.
Begitu juga dengan kasus suap Bakamla, sejumlah saksi di persidangan mengungkapkan adanya dugaan fee kepada DPR untuk menggolkan penganggaran senilai 1,22 trilliun rupiah. Begitu juga kasus suap proyek jalan Maluku. [fw/ab]