Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi membuka pidato di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sabtu (23/9) siang waktu Amerika Serikat (AS) dengan memamerkan busana yang dia kenakan yang terbuat dari kain khas Nusa Tenggara Timur. Dia menyebut kain khas berbagai daerah lain yang dikenakan oleh delegasi Indonesia.
Berbagai kain khas daerah yang diperkenalkan Retno adalah representasi Bhineka Tunggal Ika, prinsip yang ingin Indonesia dorong sebagai solusi dari masalah defisit kepercayaan dan ketidaksetaraan yang dihadapi dunia saat ini.
"Kami beragam, tapi kami satu," ungkapnya.
BACA JUGA: Menlu Retno Berbagi Tiga Upaya Rehabilitasi dan Reintegrasi Mantan TerorisMenlu Retno kembali menekankan pentingnya menggalakkan kembali solidaritas dan tanggung jawab bersama, sesuai tema sidang tahunan yang ingin memupuk kembali rasa saling percaya. Ia mengingatkan bahwa semangat yang juga tertuang dalam Dasasila Bandung hampir lebih dari enam dekade lalu itu masih terus relevan hingga saat ini.
"Bagi Indonesia, kepemimpinan dunia tidak seharusnya mengedepankan kekuasaan atau pengaruh untuk mendikte pihak lain," ungkapnya. "Nasib dunia ini tidak boleh ditentukan oleh segelintir (negara-negara) besar,” tegasnya.
Menggarisbawahi konsistensi sikap Indonesia pada Palestina, Menlu Retno kembali menyatakan dukungan RI untuk terwujudnya status negara Palestina.
Ia juga mengutarakan dukungan Jakarta bagi nasib rakyat Afghanistan, khususnya perempuan dan anak-anak perempuan yang hak-haknya dibatasi pemerintahan Taliban.
Mengenai invasi Rusia ke Ukraina, sama seperti tahun lalu, Retno tidak menyebut nama kedua negara dalam pidatonya. Namun, dia menegaskan kewajiban semua negara untuk menghormati hukum internasional, khususnya prinsip dasar tentang kedaulatan dan integritas wilayah.
Ia juga menuntut negara-negara maju, atau biasa disebut negara-negara Global North, untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam memerangi perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut, termasuk melalui pendanaan iklim, investasi hijau dan transfer teknologi ke negara-negara berkembang, alias Global South.
BACA JUGA: Seberapa Besar Keberhasilan Indonesia Sebagai Ketua ASEAN?Retno berharap, akses teknologi digital yang aman, termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) juga diberikan demi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Jokowi Absen Lagi
Dalam pidatonya, Retno juga menyinggung keberhasilan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (the Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) – yang tahun ini dipimpin oleh Indonesia di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi) – dalam menavigasi diri melalui dinamika geopolitik di kawasan. Ia mengatakan bahwa ASEAN tidak akan membiarkan dirinya menjadi pion dalam persaingan pengaruh.
Retno menggantikan Presiden Joko Widodo yang selama hampir sembilan tahun pemerintahannya tidak pernah hadir langsung mengikuti Sidang Majelis Umum PBB di Kota New York.
Sepanjang masa kepemimpinan pertamanya pada 2014-2019, Jokowi rutin mengirim Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk berpidato di hadapan majelis. Pada periode kedua sejauh ini, Jokowi sudah mengirim Menlu Retno pada 2022 dan 2023.
Jokowi sendiri baru dua kali menyampaikan pidato di hadapan Sidang Majelis Umum, yaitu pada 2020 dan 2021 di tengah pandemi COVID-19. Itu pun melalui rekaman video karena sidang pada 2020 digelar secara daring (online) untuk mencegah penyebaran virus mematikan itu. Sedang pada 2021, sidang digelar secara daring dan luring (offline)
Saat ditanya mengenai pandangan presiden tentang Sidang Majelis Umum PBB bagi Indonesia yang tidak pernah dihadiri langsung oleh presiden, Retno menjelaskan bahwa Presiden Jokowi masih menganggap relevan forum tersebut.
“Sangat relevan, karena di sinilah kita menggodok sebuah proses keputusan internasional. Pertanyaannya, sebenarnya, apakah Indonesia pernah absen dalam fora-fora di dalam panggung-panggung internasional? Jawabannya adalah tidak. Bahkan kita sangat aktif di berbagai fora, termasuk di PBB,” kata Retno.
BACA JUGA: Retno: Indonesia Berbagi dengan Afghanistan Cara Tangani Hak-hak PerempuanKesempatan yang disia-siakan
Peneliti untuk Program Asia Tenggara di CSIS Washington, D.C., Andreyka Natalegawa, mengatakan absennya Jokowi di Sidang Majelis Umum PBB tidak hanya menunjukkan fokus Jokowi yang sejak semula inward-looking atau lebih mementingkan urusan dalam negeri, tetapi juga pendekatan pragmatis kebijakan luar negerinya.
Andreyka melihat kecenderungan Jokowi yang lebih aktif menghadiri forum-forum internasional yang lebih kecil, seperti G20 (kelompok 20 negara ekonomi terbesar), KTT ASEAN atau bahkan BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa) beberapa saat lalu. Dalam forum-forum tersebut, Indonesia diundang sebagai pengamat (observer). Hal itu menunjukkan sikap pragmatis Jokowi karena forum-forum tersebut menawarkan hasil yang lebih konkret pada isu-isu yang lebih spesifik.
Meski demikian, ia menilai bahwa ketidakhadiran Jokowi secara langsung di Sidang Majelis Umum PBB merupakan kesempatan yang disia-siakan.
“Meskipun pertemuan Sidang Majelis Umum PBB tidak seaktif pertemuan beberapa kelompok yang lebih kecil dalam mencapai hasil-hasil yang nyata, pertemuan di PBB tetap menjadi platform yang penting untuk memberi sinyal, terlibat dengan komunitas internasional yang lebih luas, dengan negara-negara yang tidak biasanya akan Presiden Jokowi ajak bicara dalam pertemuan atau keterlibatan bilateral," papar Andreyka.
Tidak sampai situ, Andreyka menilai, ketidakhadiran Jokowi juga berdampak negatif pada citra Indonesia di kancah dunia. Muncul persepsi dari beberapa negara, seperti AS, Inggris, Uni Eropa, Jepang dan Korea Selatan, yang menganggap Indonesia tidak memaksimalkan perannya di panggung internasional, padahal memiliki sumber daya dan kemampuan diplomatik yang berlimpah.
“Ketidakhadiran Presiden Jokowi secara berturut-turut pada pertemuan Sidang Majelis Umum PBB hampir menciptakan kesan bahwa Indonesia memang tidak mau terlibat pada tataran politik tertinggi, dan itu sungguh reputasi kurang bagus yang sulit dihilangkan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, presiden Indonesia yang akan datang menanggung beban pekerjaan rumah untuk membangun kembali kepercayaan dan melibatkan Indonesia di ranah global, agar dapat tetap menelurkan kebijakan luar negeri di masa depan yang sejalan dengan kepentingannya.
Presiden Jokowi sendiri masih memiliki satu kesempatan terakhir pada tahun depan untuk dapat menghadiri Sidang Majelis Umum PBB di Kota New York, AS. [rd/em/ft]