Hampir 4.000 perusahaan, banyak di antaranya perusahaan tekstil, mendaftar untuk melakukan vaksinasi mandiri.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa skema tersebut akan mempercepat program vaksinasi, memulihkan kegiatan ekonomi yang terpukul oleh pandemi dan mengurangi beban pemerintah karena perusahaan akan menanggung biaya distribusi vaksin dan melakukan vaksinasi mandiri.
Namun beberapa pakar kesehatan mengkhawatirkan potensi ketidakadilan jika para pekerja pada akhirnya mendapatkan prioritas untuk mendapatkan vaksin daripada populasi yang lebih rentan.
Skema tersebut telah diusulkan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada bulan lalu dan belum disetujui pemerintah. Kementerian Kesehatan masih merancang aturan terkait hal tersebut.
BACA JUGA: Jokowi Pertimbangkan Opsi Vaksinasi Mandiri untuk Korporasi"Skema itu untuk rakyat. Vaksinasi akan berjalan lebih cepat dan setelah kekebalan komunitas tercapai, populasi dapat dimobilisasi sepenuhnya untuk kegiatan ekonomi," kata Ketua Kadin Rosan P. Roeslani kepada Reuters dalam sebuah wawancara.
Pabrik yang saat ini beroperasi dengan kapasitas setengah dapat kembali normal setelah pekerja menerima suntikan mereka, tambahnya.
Indonesia sedang bergulat dengan pandemi virus corona. Virus tersebut mengakibatkan lebih dari 1,23 juta infeksi dan sekitar 33.590 kematian. Perekonomian menyusut 2,1 persen tahun lalu.
Jika skema itu disetujui, Indonesia akan menjadi salah satu dari segelintir negara yang mengizinkan pengusaha membeli vaksin untuk karyawannya. Penjualan vaksin pasar swasta diizinkan di India, Pakistan, Thailand, dan Uni Emirat Arab, tetapi volume yang dijual kecil karena produsen memprioritaskan pasokan untuk pemerintah.
BACA JUGA: Menkes Sebut Positivity Rate COVID-19 Selalu Tinggi Usai Libur PanjangRosan menekankan bahwa swasta tidak akan menggunakan vaksin yang telah dialokasikan untuk rencana pemerintah yang ingin memvaksinasi 181,5 juta orang atau dua pertiga dari penduduk.
Indonesia memiliki kontrak untuk membeli vaksin bagi sekitar 115 juta orang. Pemerintah telah menandatangani kesepakatan dengan Sinovac China, AstraZeneca Plc dan Novavax.
Rosan mengatakan skema yang diusulkan Kadin adalah akan tetap membeli vaksin dari BUMN Bio Farma tetapi perusahaan dapat menggunakan vaksin yang berbeda, seperti Sinopharm dari China. Kadin juga mempertimbangkan penggunaan lain vaksin lain, seperti Moderna dan Sputnik V Rusia.
BACA JUGA: Vaksinasi Massal COVID-19 Tahap II Dimulai 17 FebruariBadan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sedang mempertimbangkan untuk memberikan persetujuan pengggunaan vaksin Sinopharm.
Diah Saminarsih, penasihat senior direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), mengatakan skema swasta harus menunggu sampai persediaan vaksin berlimpah, mengingat keberadaan vaksin di dunia masih langka.
"Vaksin harus diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan lebih banyak bantuan," katanya, daripada "mereka yang memiliki kekuasaan, yang tidak rentan." [ah/au]