Para demonstran menyerukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah dan DPR, terkait beberapa Rancangan Undang-undang (RUU) yang dinilai tidak memihak pada kepentingan rakyat kecil. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Evan Grigorius mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), untuk membatalkan UU KPK yang baru saja disetujui dan disahkan oleh DPR.
Menurut Evan, keberadaan KPK harus semakin diperkuat dengan menghilangkan pasal-pasal yang melemahkan kerja KPK, seperti mengenai penyadapan. Namun, Evan berpendapat keberadaan lembaga KPK tetap butuh pengawasan sebagai bagian dari fungsi kontrol dan penyeimbang, dengan menempatkan pengawas independen.
“Sementara ini solusinya itu mungkin melalui Perppu ya, karena memang itu satu-satunya langkah yang bisa ditempuh apabila ingin secepatnya Undang-undang KPK yang dianggap tidak pro-rakyat itu dicabut. Sebenarnya dari kita sendiri sih harapannya, kita menerima tetap adanya Dewan Pengawas, tapi yang jadi masalah itu kan dari dewan pengawas ini pun pertama harus independen, tapi pada kenyataannya dalam draf tersebut pun dewan pengawas itu dipilihkan oleh DPR dan Presiden yang notabene kedua lembaga Presiden dan DPR ini pun belum tentu akan memilihkan orang yang benar-benar independen,” jelasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Terkait RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditunda pengesahannya, Evan juga menyatakan menolak karena sejumlah pasal yang tercantum di dalamnya berpotensi merugikan rakyat kecil, mengekang kebebasan, dan menghilangkan fungsi masyarakat dan pers sebagai kontrol pemerintah.
“Untuk yang (RUU) KUHP sendiri, itu juga kita memiliki sikap menolak, karena memang beberapa pasal di dalam KUHP itu, kira-kira di pasal 481 ya kalau tidak salah, ada kandungan-kandungan seperti penghinaan dan pengkritikan terhadap Presiden, dna itu pun sebenarnya masih multi tafsir juga. Lalu, mengingat pemerintahan kita juga yang akhir-akhir ini sensitif, penafsiran terhadap kritik itu pun bisa dianggap sebagai penghinaan nantinya,” imbuh Evan Grigorius.
Tidak hanya UU KPK dan RUU KUHP yang ditolak, sejumlah RUU juga didesak untuk dibatalkan, seperti RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, serta mendorong segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS). Puspita, salah satu aktivis perempuan di Surabaya mengatakan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) ini sangat diperlukan untuk melindungi korban kekerasan seksual, khususnya perempuan, dan memastikan hak-haknya sebagai korban diberikan oleh negara.
“Dari RUU P-KS ini untuk perlindungan korban, jadi korban ini tidak hanya perlindungan hukumnya dipermudah, tapi RUU P-KS juga fokus pada rehabilitasi korban juga. Jadi kadang-kadang yang luput dari hukum Indonesia ini, mereka yang (korban) secara kekerasan seksual ini tidak dianggap sebagai masalah serius. Jadi di Undang-undang kita yang sekarang itu tidak diatur bentuk-bentuk kekerasan seksual itu apa saja,” kata Puspita.
Dalam aksi ini juga diserukan penindakan terhadap pelaku pembakaran hutan yang melanda Kalimantan dan Sumatera. Menurut Satria, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, sanksi tegas harus diberikan bagi perusak dan pembakar hutan, karena selain menyebabkan hilangnya hutan Indonesia, juga mengancam kelangsungan hidup sejumlah satwa seperti orang utan.
“Saya menuntut pada Presiden, Bapak Joko Widodo untuk menindak tegas pada pelaku pembakaran hutan karena hutan ini kan habitatnya dari orang utan yang semakin tahun semakin habis, dan juga spesiesnya sudah terancam punah,” kata Satria.
Dalam aksi ini juga diserukan penghentian kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap jurnalis di sejumlah daerah di Indonesia, saat meliput aksi unjuk rasa. Kukuh Setyo Wibowo dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mendorong pemerintah dan Kapolri mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Aksi ini juga sebagai bagian dari dukungan jurnalis terhadap perjuangan para mahasiswa.
“Kami sebagai komunitas jurnalis juga turun untuk aksi solidaritas terhadap kawan-kawan kami yang mengalami aksi kekerasan di berbagai daerah saat meliput aksi unjuk rasa ini, di antaranya di Makassar, kemudian Jakarta, dan ada di tempat lain. Dan kami berharap aksi solidaritas jurnalis ini juga menjadi bagian dari adik-adik mahasiswa, untuk memberi penyadaran bahwa kami jurnalis, khususnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendukung gerakan teman-teman ini,” kata Kukuh Setyo Wibowo.
Selain mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat di Surabaya dan sekitarnya, aksi juga diikuti sejumlah pelajar tingkat SMA dan SMP. Dari wawancara yang dilakukan VOA, kebanyakan peserta aksi dari kalangan pelajar tidak memahami isu atau tuntutan yang disuarakan dalam aksi unjuk rasa. Beberapa di antara mereka, mengaku ikut serta dalam aksi karena diajak oleh temannya. Seperti pengakuan Rivana Fandi, pelajar Surabaya yang berharap DPR tidak membuat keputusan yang menyakiti rakyat.
“Ya inginnya itu DPR waras (sembuh), kami merasa senang karena kami sebagai pelajar tidak mau sila kelima diganti-ganti (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia), karena semua orang merasa resah karena yang dilakukan DPR itu sangat menyakitkan,” komentarnya.
Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi menemui pengunjuk rasa di depan gedung DPRD bersama sejumlah anggota dewan. Pengunjuk rasa sempat meminta masuk ruang sidang paripurna, namun ditolak karena harus melalui prosedur terlebih dahulu. Meski tidak bisa memenuhi permintaan pengunjuk rasa, Kusnadi memastikan aspirasi mahasiswa didengarkan dan disampaikan kepada DPR pusat.
Aksi yang berlangsung dari siang hingga sore hari ini berlangsung tertib dan aman, meski ada beberapa insiden pelemparan batu dan kapak dari arah pengunjuk rasa ke aparat kepolisian. Namun, tidak sampai terjadi kerusuhan hingga pengunjuk rasa membubarkan diri. [pr/ab]