Ribuan Warga AS Protes Kebijakan Imigrasi “Zero Tolerance”

Para aktivis berkumpul untuk memprotes kebijakan keras Pemerintahan Trump dalam menangani imigran ilegal dan pemisahan anak-anak imigran dari orang tuanya, di Lafayette Square di seberang Gedung Putih, Washington, Sabtu, 30 Juni 2018.

Puluhan ribu, Sabtu (30/6/2018), berdemonstrasi di sejumlah kota di Amerika, termasuk di Ibu Kota Washington DC, memrotes kebijakan imigrasi pemerintah Trump yang dikenal sebagai kebijakan “tanpa toleransi.” Pemisahan anak-anak imigran dari orang tua mereka yang ditangkap di perbatasan selatan Amerika, menjadi fokus utama.

Dengan membawa poster dan spanduk bertuliskan kecaman terhadap kebijakan imigrasi pemerintahan Trump, puluhan ribu orang berdemonstrasi di depan Lafayette Square, Washington DC, yang terletak tepat di seberang Gedung Putih, kantor dan kediaman resmi Presiden Donald Trump.

Beberapa anggota Kongres dari Partai Demokrat, musisi dan bintang film ikut berdemonstrasi dan menyampaikan pernyataan di atas panggung, mengecam kebijakan imigrasi “zero tolerance” atau “tanpa toleransi” yang diberlakukan Presiden Donald Trump.

Berdasarkan kebijakan ini, pemerintah Amerika mulai mengajukan tuntutan terhadap semua migran yang tertangkap memasuki wilayah Amerika tanpa dokumen atau tanpa izin. Pemberlakuan kebijakan ini sejak April lalu disertai dengan pemisahan lebih dari 2.300 anak migran dari orang tua mereka yang masuk lewat perbatasan selatan. Anak-anak itu ditempatkan di berbagai fasilitas di seluruh Amerika, sementara orang tua mereka ditangkap dan diinterogasi.

Kuatnya tekanan publik membuat Presiden Donald Trump pekan lalu menandatangani perintah eksekutif untuk mengakhiri pemisahan anak dari orang tua mereka, tetapi hingga laporan ini disampaikan nasib lebih dari dua ribu anak-anak yang sudah terlanjur dipisahkan itu belum diketahui.

Baca juga: Depkeh AS: Penyatuan Keluarga Migran Perlama Penahanan Anak

Dalam demonstrasi di Washington DC pada Sabtu siang, para demonstran mempertanyakan alasan penerapan kebijakan “tanpa toleransi” di negara yang dikenal sebagai “bangsa imigran.” Salah seorang diantara mereka adalah Debby dan Victoria, dua guru yang datang dari Ohio bersama teman-teman mereka.

“Kebijakan ini menunjukkan Amerika tidak lagi menjunjung tinggi demokrasi. Padahal Amerika adalah negara, bangsa imigran,” kata Debby.

Ketika ditanya pendapatnya apakah Trump mengambil kebijakan karena pertimbangan ekonomi atau penegakan hukum, Debby mengatakan, “Tidak sama sekali. Ini jelas karena kefanatikan. Ini jelas kebijakan rasis.”

“Bagaimana mungkin pemerintah ini memisahkan anak-anak dari orang tua mereka? Kami datang langsung dari Ohio dan West Virginia untuk berdemonstrasi karena pemerintah ini telah “menculik” anak-anak kita. Ia (Presiden Trump.red) tidak berhak melakukan ini,” kata Debby menegaskan.

Para peserta unjuk rasa yang bertema "Keluarga Harus Bersatu: Kebebasan untuk Imigran" untuk memprotes kebijakan Trump, 30 Juni 2018, di Los Angeles.

Hal senada disampaikan Orlando William-Rosas, imigran asal Meksiko yang kini tinggal dan bekerja di New York. Ia ikut berdemonstrasi sambil membawa poster Trump yang diberinya kumis, menyamakannya dengan Hitler, pemimpin Nazi-Jerman

“Saya seorang imigran asal Meksiko dan Trump sering menjelek-jelekkan warga Meksiko. Ini saatnya saya bicara karena pernyataannya, kebijakannya kali ini, terutama ketika ia melibatkan anak-anak, sudah keterlaluan,” kata Rosas.

Warga “Native-American” Ikut Berdemonstrasi

Sekelompok warga keturunan Indian, yang dikenal sebagai warga asli Amerika, juga ikut berdemonstrasi. Mereka pernah mengalami kebijakan pemisahan keluarga. Salah seorang pemimpin kelompok “native-American” yang berasal dari Arizona tidak dapat menahan rasa haru ketika menceritakan pemisahan keluarga yang dialaminya beberapa generasi lalu.

“Pendahulu kami tidak pernah kembali setelah diambil dan ditempatkan di asrama. Para pendahulu kami tidak pernah kembali ke keluarganya setelah dipisahkan oleh pemerintah,” kata Pariyalaman. “

Baca juga: Hakim Perintahkan Pemerintah AS Satukan Orangtua dan Anak Imigran Ilegal

Setelah insiden-insiden pemisahan itu, selama dua hingga tiga generasi kami masih mengalami trauma dan menderita. Jadi, kami tahu persis bagaimana rasanya menghadapi kebijakan seperti ini, dan dampaknya yang terasa sangat lama,” ujar Pariyalaman.

Salah seorang pemimpin kelompok warga “native-American” lain yang berasal dari Michigan, Jessica Steinberg, mengatakan memanfaatkan anak demi mencapai kepentingan tertentu merupakan hal yang tidak dapat diterima.

“Kebijakan yang menggunakan anak-anak sebagai sandera demi kepentingan politik tertentu, jelas tidak dapat diterima. Ini perbuatan yang tidak pantas,” kata Steinberg.

Seorang anak memegang poster dalam pawai unjuk rasa memprotes kebijakan imigrasi Trump di New York, Sabtu, 30 Juni 2018.

Di atas panggung bintang film America Ferrera, imigran asal Honduras, mengisahkan perjuangannya bersama keluarga ketika baru tiba di Amerika dan harus berhadapan dengan otorita penegak hukum. Ia menggarisbawahi bahwa aksi protes ini bukan hanya milik sekelompok orang, sekelompok ras, sekelompok gender tertentu, tetapi milik semua.

Hakim Federal Perintahkan Percepat Reunifikasi Keluarga

Pertengahan pekan ini hakim federal, Dana Sabraw, telah memerintahkan agar pemerintah mempercepat reunifikasi anak-anak dan keluarga mereka. Sabraw memerintahkan anak di bawah usia lima tahun harus disatukan kembali dalam waktu 14 hari, sementara semua anak lain di bawah usia 18 tahun diperintahkan untuk disatukan kembali dalam waktu 30 hari.

Perintah ini dikeluarkan untuk mengabulkan gugatan hukum Serikat Kebebasan Sipil Amerika atau ACLU yang mengatasnamakan sejumlah keluarga imigran ini. Belum jelas bagaimana mewujudkan putusan ini karena menurut sejumlah aktivis dan pakar hukum, upaya melacak keberadaan lebih dari 2.300 anak imigran itu bukan hal yang mudah. [em/jm]