Risalah Jakarta, Catatan Penting Akhir Tahun

Massa ummat Islam memadati kawasan Monumen Nasional di Jakarta dan sekitarnya, dalam Acara Reuni 212 pada hari Minggu 2 Desember 2018.

Lima puluh agamawan dan budayawan berdialog membahas berbagai persoalan terkait hubungan agama, budaya dan negara; menghasilkan catatan penting yang disebut sebagai “Risalah Jakarta,” yang antara lain berisi strategi memandu umat. Apa saja panduannya?

Akhir tahun memang saat yang tepat untuk melihat kembali dan mengkaji apa yang terjadi setahun terakhir ini agar dapat memetik pelajaran dan mengatur langkah yang lebih baik ke depan. Menguatnya konservatisme agama, semakin pentingnya relasi agama dan negara, serta beragama di era teknologi informasi dan komunikasi yang membawa budaya baru, menjadi topik utama yang dibahas oleh sekitar 50 agamawan dan budayawan.

Sekitar 50 agamawan dan budayawan melakukan dialog akhir tahun di Jakarta, Sabtu (29/12).

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Haidar Bagir dan Prof. Dr. Mahfud MD menjadi pemantik diskusi yang berlangsung di Jakarta akhir pekan lalu itu. Dihubungi VOA Sabtu malam (29/12) Prof. Dr. Komaruddin Hidayat menyampaikan beberapa kesimpulan yang didapat dari dialog lintas iman itu.

“Beberapa kesimpulannya adalah bahwa konservatisme, dalam arti menjaga dan memelihara keaslian agama sesungguhnya terjadi pada semua agama; dan bahwa salah satu ciri agama adalah konservatif, dalam arti menjaga tradisi-tradisi penting yang lama. Tetapi konservatisme itu menjadi negatif jika bergulir menjadi ultra-konservatisme yang mengarah pada eksklusivisme, radikalisme, menutup diri dari perubahan, menolak perubahan dan bahkan memaksa orang lain mengikuti dirinya, serta sulit menerima/mendengarkan kebenaran atau perbedaan. Ini jadi repot. Hal tersebut semakin fenomenal ketika konservatisme dan eksklusivisme itu bertemu dengan kepentingan politik. Jadi agama yang sedianya memecahkan masalah, malah menciptakan masalah,'' kata Komaruddin.

Konservatisme di Indonesia Meningkat Tahun 2018

Konservatisme di Indonesia meningkat setahun terakhir ini. Diawali serangkaian serangan di Bandung pada bulan Januari, yaitu terhadap pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Komando Brigade PP Persis dan seorang ustad di Masjid At-Tawakkal; ketiganya di kota Bandung.

Disusul tindakan sekelompok warga menolak kebaktian umat Budha di Legok, Tangerang; yang diikuti persekusi seorang biksu di sana. Juga serangan terhadap jemaat Gereja Santa Lidwina, Sleman, DI Yogyakarta seusai misa pagi, yang melukai sedikitnya empat orang.

Gereja Santa Lidwina yang menjadi lokasi serangan pria bersenjata pedang pada Minggu, 11 Februari 2018. (VOA/Nurhadi Sucahyo)

Tentu masih lekat dalam ingatan serangan terhadap tiga gereja di Surabaya, Mei lalu – yaitu di Gereja Katholik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya Utara, gereja Pantekosta di Jalan Arjuno dan GKI di Jalan Diponegoro – yang menewaskan 28 orang (termasuk pelaku) dan melukai hampir 60 lainnya. Pelaku serangkaian serangan itu adalah satu keluarga yang beranggotakan enam orang yang baru kembali dari Suriah dan merupakan simpatisan ISIS. Polisi mengatakan Dita Upriyanto, sang kepala keluarga, merupakan jaringan Jamaah Ansharut Daulah JAD dan Jamaah Ansharut Tauhid JAT.

Serangan ini masih berlanjut ke dua markas kepolisian di Surabaya dan Riau.

Pemberlakuan perda-perda syariah dan aturan bernuansa diskriminatif yang tak jarang menarget kelompok minoritas dan terpinggirkan, seperti kelompok LGBT, juga menjadi catatan menyedihkan tahun ini.

Sebuah petisi di Change.Org menyebutkan pada 2017 saja terjadi 715 kekerasan terhadap waria. Angka ini diperkirakan meningkat pada 2018. (Foto ilustrasi).

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika Mei lalu menyoroti pencapaian dan sekaligus kemunduran kondisi kebebasan beragama di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pemberlakuan syariah Islam, pembatasan terhadap kelompok minoritas seperti Gafatar, Ahmadiah dan Syiah; serta keberadaan organisasi massa radikal menjadi sorotan dalam 14 halaman laporan khusus tentang Indonesia.

Dua Masalah : Agama Jadi Alat Ukur Semua Realita & Politisasi Agama

Profesor Komaruddin Hidayat. (Foto: Koleksi Pribadi)

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat mengatakan sesungguhnya di Indonesia sejak awal semua esensi ajaran agama sudah diejawantahkan dalam Pancasila, dimana ''agama menjadi inklusif dan bisa masuk kemana-mana karena yang ditekankan adalah etika dan moral spiritual.'' Ironisnya sekarang, ujar Komaruddin Hidayat, semua realita ingin diukur dengan kacamata agama dan besarnya hasrat menarik agama ke dalam politik.

''Masalahnya ada dua. Pertama, banyak yang menggunakan pendekatan formalistik dimana semua realitas ingin diukur dengan kacamata agama, padahal agama tumbuh dalam budaya dan orang atau manusia yang beragama itu sesungguhnya juga mahkluk budaya. Jadi agama sedianya tumbuh dalam ruang budaya. Meskipun tidak semua budaya dapat diagamakan ya! Justru agama sedianya menggunakan ruang atau kendaraan budaya supaya lebih humanis. Kedua, sejumlah politisi di Indonesia menarik agama ke dalam politik. Ultra-konservatisme dan ekstremisme yang terjadi misalnya lebih karena rekayasa politik. Sebab pada masyarakat di bawah, konservatisme itu positif karena lebih pada urusan menjaga tradisi tanpa harus menghujat yang lain, jadi tidak perlu kita khawatirkan,'' ungkapnya.

“Risalah Jakarta” menyimpulkan bahwa konservatisme yang mengarah pada eksklusifisme dan ekstremisme beragama, seringkali dipicu oleh faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan. Antara lain : rasa tidak aman akibat ketidakadilan politik dan ekonomi, formalisme hukum, politisasi agama dan cara-cara berkebudayaan.

Teknologi Informasi Dorong Penguatan Identitas Kelompok?

Satu kesimpulan lain yang menarik ketika disampaikan mantan ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD hari Sabtu (29/12) adalah tentang “era disrupsi” akibat teknologi informasi dan komunikasi yang dinilai telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusifitas dan penguatan identitas kelompok.

Teknologi informasi dan komunikasi dinilai telah mendorong eksklusifitas dan penguatan identitas kelompok (foto: ilustrasi).

Pakar komunikasi digital di Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan yang pernah mengadakan penelitian tentang “Keterkaitan Penguatan Nilai Radikalisme Akibat Teknologi Informasi” tahun 2015 lalu, menilai “teknologi informasi dapat turut menciptakan keadaan yang dirasakan dapat dijadikan alat penguatan dan pembentukan identitas keberagamaan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab.”

Ditambahkannya, “teknologi informasi memang memiliki kekuatan menjangkau dan membentuk jejaring dengan cepat dan luas. Sifatnya yang mampu menembus batas ruang dan waktu akan menguntungkan ketika digunakan untuk menyebarluaskan informasi, berita, fenomena, termasuk paham apapun – agama, politik, sosial dan ekonomi. Tetapi harus hati-hati menarik kesimpulan karena teknologi informasi itu hanya piranti.”

Firman Kurniawan menggarisbawahi “keliru jika yang dituduh adalah perkembangan teknologi informasi, karena yang harus dilihat adalah manusia yang menggunakan atau memanfaatkannya.”

Secara terang-terangan Firman menunjukkan karakteristik khas warga di Indonesia, yang “taat beragama dan patuh pada pemimpin kharismatis, tetapi memiliki tingkat literasi dan konsumsi bacaan terendah kedua di dunia.” Walhasil informasi apapun yang disampaikan sosok yang dinilai kharismatik, selama isinya ringkas dan mudah dicerna maka akan langsung diserap. “Apalagi jika menggunakan simbol agama, maka nilai informasi itu akan tinggi,” tambahnya.

Strategi Memandu Umat

Melihat berbagai masalah itu, puluhan budayawan dan agamawan – antara lain : Alisa Wahid, Yudi Latif, Bhikku Jayamedo, Hartati Murdaya, Henriette G. Lebang, Asep Zamzam Noor, Fatin Hamama, Usman Hamid dan lainnya – mengusulkan beberapa strategi ke depan.

Pertama, mendorong pemerintah mengambil langkah konkret untuk memimpin gerakan penguatan keberagaman yang moderat sebagai arus utama. Ini dilakukan dengan mengembalikan peran agama sebagai panduan spiritualitas dan moral, bukan sekedar sebagai hal formal dan ritual, terutama yang bersifat eksklusif di ranah masyarakat dan negara.

Perwakilan dari berbagai kelompok agama menyemarakkan acara "Obor dan Tumpeng Kebhinekaan' pada acara Natal di gereja Katedral Bandung, Selasa malam, 25 Desember 2018. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Kedua, mendorong pemerintah untuk menghapus atau membatasi regulasi dan kebijakan yang menumbuhsuburkan eksklusivisme dan ekstremisme beragama, dan perilaku diskriminatif dalam kehidupan beragama.

Strategi lain adalah mengembangkan strategi komunikasi agar terhindar dari kegagapan dan membangun gerakan kebudayaan yang memperkuat akal sehat kolektif. Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, juga didorong mengambil langkah aktif memfasilitasi pertemuan antar-kelompok masyarakat untuk memperkuat nilai inklusif dan toleransi. Sementara tokoh-tokoh agama diserukan untuk lebih aktif memandu umat menjalankan agama dan keyakinan yang terbuka, dengan menjadikan ajaran hakiki itu sebagai panduan spiritual dan moral. (em)