Menjelang perayaan hari raya Natal, terjadi peristiwa pemotongan palang salib pada nisan salah satu umat Katolik di Kota Gede, Yogyakarta, yang menimbulkan pro kontra menguatnya intoleransi. Perayaan Natal bersama yang digelar salah satu gereja di Surabaya, menghadirkan sejumlah aktivis lintas agama, yang ingin menyuarakan persatuan dan kesatuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang rukun dan bersatu, dan menepis intoleransi.
Perayaan Natal bersama Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Betlehem, Jemaat Kutisari, Surabaya, terasa berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, karena selain dihadiri jemaat gereja setempat, juga dihadiri sejumlah aktivis lintas agama. Kehadiran para aktivis lintas agama ini ingin menunjukkan bahwa masih ada kehidupan masyarakat di Indonesia yang mampu saling menghargai dan tidak dibatasi oleh perbedaan satu sama lain. Sejumlah pemuda dari Katolik, Buddha, Konghucu dan juga Islam, nampak hadir mengikuti perayaan Natal yang digelar di Auditorum Universitas Kristen Petra Surabaya.
Gembala Pendamping GPPS Betlehem, Jemaat Kutisari, Surabaya, Pendeta Julius Zahulu mengungkapkan, kehadiran para aktivis lintas agama ini telah menghadirkan suasana sangat akrab dan hangat bagi umat Kristen yang sedang merayakan Natal. Hal ini menjadi bukti masih adanya persatuan di tengah masyarakat yang semakin tergerus perubahan zaman.
“Bagi kami positif sekali karena baru sekali inilah saya merasakan adanya suatu Natal yang sangat akrab, dengan tidak melihat latar belakang agama, itu suatu bukti bahwa sebenarnya bangsa ini bisa dipersatukan,” kata Julius Zahulu.
Julius menyebut bahwa setiap warga bangsa tanpa membedakan suku, agama, maupun ras, harus bersama-sama memperjuangkan dan mempertahankan persatuan serta persaudaraan antar warga bangsa, agar Indonesia tidak mudah dipecah belah.
“Yang namanya persatuan dan kesatuan itu harus menjadi harga mati, apalagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, kita harus benar-benar menjadi satu kesatuan yang tidak boleh terpecah-pecah. Apapun yang terjadi, kita harus bekerja bersama untuk menyelesaikannya,” imbuh Julius Zahulu.
Setiohadi Purwadi, pemuda dari gereja Katolik mengapresiasi perayaan Natal bersama yang dihadiri umat lintas agama. Meskipun ia tetap menyesalkan masih adanya peristiwa intoleransi di Indonesia, seperti yang terjadi di Kota Gede, Yogyakarta beberapa hari menjelang Natal. Pemotongan kayu palang salib pada nisan umat Katolik yang akan dimakamkan, menurut Setiohadi tidak mempengaruhi keimanannya. Namun ia menyayangkan adanya pelarangan keluarga almarhum untuk menggelar doa arwah di rumah, oleh sejumlah warga dengan mengatasnamakan ketenangan dan kedamaian antar umat beragama.
“Hal yang paling saya sayangkan itu adalah, ketika ada pelarangan untuk doa arwah bagi keluarga, karena pada dasarnya mendoakan orang yang meninggal di rumah itu, bahkan di mana saja itu sebenarnya hak dan kewajiban setiap orang, kita mendoakan siapapun, kita mendoakan ini bukan cuma memberikan semacam doa untuk menghantar mereka yang sudah meninggal ini ke dalam surga, tetapi juga memberikan penguatan khususnya bagi keluarga untuk kerelaannya ditinggalkan, dan di agama lain juga ada, saya rasa juga ada perayaan satu hari sampai tiga hari, tujuh hari, empat puluh dan seterusnya, itu di agama lain juga ada,” jelas Setiohadi Purwanto.
Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori mengungkapkan, peristiwa pemotongan nisan salib serta pelarangan mendoakan arwah orang yang telah meninggal di rumahnya sendiri, telah mencederai rasa keadilan dan hak asasi manusia. Aan menyebut para pelaku pelarangan dan pemotongan kayu salib adalah tindakan intoleransi, karena telah berlaku tidak adil dan intimidatif, dengan melegalkannya dalam kesepakatan resmi.
“Saya sendiri mempercayai bahwa Islam sesungguhnya datang sebagai rahmat bagi orang lain, dan juga mempunyai kewajiban untuk berperilaku adil, dan juga memperlakukan orang lain secara lebih baik. Nah, sayangnya saya tidak melihat itu dilakukan oleh warga Muslim yang ada di sana. Tidak ada kesepakatan yang itu dalam situasi intimidatif, saya tidak percaya keluarga almarhum tidak dalam situasi yang intimidatif. Bagi saya itu tidak hanya cacat secara hukum, tetapi cacat secara nalar, dan betapa aksi intoleransi itu ingin dibungkus menjadi sesuatu yang sah menurut hukum. Bagi saya, itu intoleransi yang sudah sangat mengkhawatirkan,” kata Aan Anshori.
Aan Anshori meminta negara hadir untuk memberikan kepastian hukum bagi setiap warga negara, dengan tidak membiarkan aturan yang bersifat intimidatif serta intoleran terus diberlakukan sekelompok masyarakat. “Bahwa siapapun nantinya misalkan yang jadi Presiden dalam perhelatan (Pilpres) ini, harus meletakkan konsep utama tentang menyelamatkan kebhinnekaan. Hukum diatas segalanya, dan juga kesamaan bagi semuanya,” imbuhnya. [pr/em]