Mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak-anak diaspora Indonesia di Amerika merupakan keinginan para orang tua dengan berbagai tujuan, mulai dari kerinduan melestarikan warisan bahasa ibu orang tua dan leluhur hingga keinginan agar anak-anak memiliki kemahiran bahasa kedua (second language) selain bahasa Inggris. Orang tua meyakini bahasa kedua ini kelak bisa bermanfaat baik dalam profesi maupun kehidupan pribadi.
Sebagian besar generasi pertama diaspora Indonesia di Amerika menginginkan anak-anak mereka tidak melupakan akar dan asal mereka, serta mampu berbahasa Indonesia. Mereka percaya, penguasaan bahasa Indonesia, walaupun sebagai bahasa kedua setelah bahasa Inggris, akan berguna kelak dalam kehidupan profesi dan pribadi.
Sekelompok aktivis diaspora Indonesia yang peduli dan cinta Indonesia mendirikan Rumah Indonesia sebagai wadah pengenalan dan pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia, terutama untuk anak-anak.
Nona Kurniani adalah kepala sekolah bahasa Indonesia di Rumah Indonesia di Washington, D.C. “Jadi misinya memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia yang salah satu programnya adalah mengajar bahasa Indonesia, khususnya saat ini kepada anak-anak di Amerika. Kelas bahasa Indonesia sudah kami mulai tahun 2012. Anak-anak antara umur 6 dan 16 tahun boleh belajar bahasa Indonesia di Rumah Indonesia.”
Ke sanalah Gyon Sugiarto membawa kedua anaknya: Aryo Sugiarto, 14 tahun, dan Lilian Sugiarto, 10 tahun. Gyon menuturkan, istrinya, orang Amerika yang juga lancar berbahasa Indonesia, mendorongnya agar memperkenalkan anak-anak pada budaya tanah kelahiran Gyon. Jadi, sejak kecil anak-anak Gyon bisa berbahasa Jawa dan Sunda. Belakangan mereka berinisiatif belajar Bahasa Indonesia, yang kemudian menjadi bahasa rahasia keluarga ketika sedang bepergian, selain bahasa sehari-hari di rumah.
Aryo dan Lilian, menurut Gyon, aktif berbahasa Indonesia dan selalu bersemangat datang ke Rumah Indonesia.
“Mereka selalu bersemangat untuk datang karena bisa bertemu teman-temannya dan berbahasa Indonesia, dan yang penting bagi mereka, bisa menemukan makanan Indonesia,” ujar Gyon.
Gyon yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia, menyadari betapa bernilai penguasaan bahasa asing dalam profesi seseorang. “Seorang anggota militer setiap bulan mendapat bonus antara 500 dan 1.500 (dolar) hanya karena bisa berbahasa asing. Tergantung pangkat mereka, yang lebih tinggi bisa mendapat (bonus) sampai 3.000 (dolar).”
Your browser doesn’t support HTML5
Selama pandemi, pembelajaran di Rumah Indonesia dilakukan secara virtual. Pembelajaran jarak jauh ini memungkinkan kelas dengan peserta didik yang jumlahnya lebih besar dan cakupan area yang tidak terbatas pada wilayah Washington, D.C., dan sekitarnya. Namun Nona mengatakan, sebagian siswa menolak pembelajaran secara daring karena sudah lima hari bersekolah daring. Pada hari keenam (Sabtu), mereka ingin beristirahat dari Internet. Padahal, pelajaran Bahasa Indonesia diselenggarakan setiap Sabtu. Jadi, jumlah murid kini jauh berkurang.
Maria Rosarioningrum adalah relawan guru di Rumah Indonesia. Ia justru menemukan ketertarikan dari kelas virtual, siswa-siswa berasal dari negara bagian di luar daerah Washington, D.C. dan sekitarnya. “Mereka menambah kemajemukan dari segi latar belakang. Itu menarik untuk dibagikan kepada sesama teman dalam kelas. Selain itu, tingkat kemampuan mereka berbeda-beda,” ujarnya.
Gyon berharap, pandemi segera berlalu supaya anak-anaknya bisa kembali mengikuti kelas tatap muka. [lt/ka/ab]