RUU Kesehatan: Pro-Kontra Rumah Sakit Didik Dokter Spesialis

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang dokter merawat bayi yang dites positif virus corona Covid-19 di sebuah rumah sakit di Bogor pada 23 Juni 2021, ketika tingkat infeksi di Indonesia melonjak dan rumah sakit kebanjiran pasien baru. (Foto: AFP/Aditya Aji)

Indonesia kekurangan puluhan ribu dokter spesialis. Pemerintah mencari terobosan dengan membuka kesempatan rumah sakit menyelenggarakan pendidikan, sebagaimana fakultas kesehatan. Sejumlah pakar mengingatkan ada resiko di balik rencana ini.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan kini sedang bergulir di DPR. Salah satu isu krusial yang dibahas di dalamnya adalah soal pendidikan kedokteran, sebagaimana dipaparkan Dirjen Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan drg Arianti Anaya MKM.

“Dalam RUU baru, dibukakan peluang untuk Kementerian Kesehatan atau rumah sakit menjadi, bukan hanya sebagai tempat pendidikan, tetapi penyelengaraan pendidikan,” ujar Arianti.

Dirjen Tenaga Kesehatan, Kementerian Kesehatan, drg Arianti Anaya MKM. (Foto: Kemenkes)

Pejabat Kemenkes ini berbicara dalam diskusi “Urgensi Pendidikan Terintegrasi untuk Pemerataan Pelayanan Kesehatan.” Diskusi diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (8/4).

Terobosan ini diambil karena Indonesia kekurangan dokter, khususnya dokter spesialis. Saat ini, hanya ada 51.949 dokter spesialis. Sementara itu pemerintah menargetkan rasio dokter spesialis dibanding jumlah penduduk adalah 0,28/1.000. Untuk mencapai standar ideal, Indonesia kekurangan 30 ribu dokter spesialis. Dengan hanya memiliki 21 penyelenggara program studi spesialis, dan jumlah lulusan sekitar 2.700 per tahun, maka Indonesia membutuhkan lebih dari 10 tahun untuk bisa mencapai rasio ideal.

Masalah lain, kata Arianti, adalah pemerataan.

Petugas kesehatan mengambil sampel darah seorang anak Papua di rumah sakit sementara yang menangani pasien campak dan gizi buruk di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat pada 25 Januari 2018. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

“Kalau kita lihat dari peta yang ada di Kementerian Kesehatan, memang kita bisa melihat bahwa 59 persen spesialis berada di Pulau Jawa,” tambahnya.

Sementara itu, pemerintah tidak bisa menerapkan kewajiban bagi dokter spesialis untuk berpraktik di luar Jawa karena terbentur oleh aturan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKS) yang sedang digugat. Saat ini Peraturan Presiden yang disebut Bakti Kerja Dokter Spesialis itu, sedang masih dalam penyusunan. Karena itu, tidak ada aturan hukum yang dapat “memaksa” dokter spesialis untuk membuka praktik di luar Jawa. Padahal, jika hanya didasarkan pada pilihan sukarela, Kemenkes mencatat hanya 20 persen dokter spesialis yang bersedia ke luar Jawa, meski insentif sudah diberikan

Begitu kurangnya dokter spesialis, sampai saat ini 40 persen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis dasar. Ketujuh dokter spesialis yang seharusnya ada di setiap rumah sakit adalah penyakit dalam, kandungan, bedah, anak, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.

Petugas kesehatan menggunakan masker dan jas hujan sebagai antisipasi penyebaran virus corona baru di ruang tunggu Puskesmas, di Yalimo, Papua, Selasa, 21 April 2020. (AP Photo/Gerry Kossay)

Academic Health System’

Menurut Plt Dirjen Dikti, Riset, & Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Prof Nizam, pada dasarnya skema tersebut bentuk gotong royong antara rumah sakit dan kampus, khususnya fakultas kedokteran.

“Di fakultas kedokteran banyak dokter, banyak spesialis. Di rumah sakit juga ada dosen pendidik. Nah ini berkolaborasi dan bersama-sama dengan jaringan rumah sakit di seluruh wilayah. Fakultas kedokteran juga tidak sendiri, dengan jaringan Fakultas Kedokteran yang ada di wilayah,” paparnya.

Plt Dirjen Dikti, Riset, & Teknologi, Kemendikbud Ristek, Prof Nizam. (Foto: Dok Kemendikbud Ristek)

Nizam merinci konsep ini akan bertumpu pada kebutuhan setiap regional. Fakultas Kedokteran dan rumah sakit di kawasan tertentu, dapat bekerja sama, diawali dengan memetakan kebutuhan dokter spesialis sampai ke tingkat paling kecil, misalnya kecamatan. Dengan peta kebutuhan yang ada, rumah sakit dan fakultas kedokteran menyusun program-program studi dokter spoesialis tertentu sesuai dengan kebutuhan.

“Kemudian, menyelenggarakan program studi profesi dokter spesialis untuk memenuhi kebutuhan tadi secara kewilayahan,” tambah Nizam.

Dengan skema ini, Nizam yakin pemenuhan kebutuhan dokter spesialis akan lebih cepat dilakukan. Kemendikbud Riset dan Kemenkes akan bekerja sama penuh, dalam setiap aspek penyelenggaraan pendidikan ini. Bahkan, disiapkan insentif khusus agar semakin banyak fakultas kedokteran dan rumah sakit yang mau bergabung dalam skema baru.

BACA JUGA: Menekan Kesenjangan Layanan Kanker Anak di Indonesia Timur

“Melalui jaringan ini, dengan menggunakan sistem informasi yang baik, pangkalan data yang baik, maka manajemen dosen, kekurangan dosen di satu wilayah, bisa dimobilisasi dari wilayah yang lain. Kekurangan spesialis di suatu wilayah untuk mendidik calon spesialis, bisa dimobilisasi dari rumah sakit induknya,” rincinya.

Dokter-dokter di rumah sakit yang ikut mengajar, bahkan akan dicatat sebagai angka kredit dosen, atau yang biasa disebut KUM, sehingga mereka bisa meraih jenjang hingga profesor.

Nizam menjamin, baik dokter spesialis yang masuk karena ikatan dinas Kemenkes, maupun seleksi mandiri oleh fakultas kedokteran, harus memenuhi jaminan mutu yang setara. Afirmasi dan matrikulasi dipandang perlu untuk dokter-dokter dari wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

Seluruh konsep ini tertuang dalam RUU Kesehatan yang baru, di mana pemerintah memberi peluang rumah sakit berperan selayaknya fakultas kedokteran, yang mendidik dokter spesialis. Konsep ini disebut sebagai Academic Health System (AHS). Skema ini diklaim dipraktikkan di banyak negara lain.

Pemerintah Diminta Cermat

Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), mewakili Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) AHS dalam tangkapan layar.

Prof. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), mewakili Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) AHS menyebut harus ada jaminan bahwa standar lulusan dari skema baru ini sama dengan pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi. Harus ada standar proses, standar sumber daya manusia dan standar sarana/prasarana. Namun bagaimanapun, rumah sakit dan universitas berbeda, dan karena itu banyak hal harus diselesaikan dengan diskusi bersama.

“Kalau saat ini, yang saya lihat adalah Kementerian Kesehatan mencari jalannya sendiri tanpa mencoba memahami yang terjadi sekarang ini, di mana letak yang bisa diperbaikinya. Itu yang saya agak heran, kenapa harus begitu caranya. Kalau kita mau meningkatkan jumlah, kita bisa duduk bersama dan mencari solusi bersama,” tegasnya.

Seorang dokter melakukan USG pada seorang ibu yang sedang hamil di sebuah klinik kesehatan nirlaba di Sukadana, Kalimantan Barat. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Bahwa skema baru ini mungkin sudah diterapkan di luar negeri, menurut Ratna harus disadari bahwa ada banyak perbedaan dengan kondisi di Indonesia. Misalnya terkait kondisi rumah sakit, sumber daya manusia, dan sistemnya.

“Pendidikan kedokteran atau pendidikan kesehatan dari Kementerian Kesehatan itu menurut saya kurang cocok. Karena walaupun bagaimana, kita harus mengakui Kementerian Kesehatan tidak mempunyai rekam jejak untuk melakukan pendidikan dokter maupun pendidikan spesialis,” tambah Ratna.

Dia justru menilai, yang harus dilakukan adalah memperbaiki apa yang kurang dalam sistem pendidikan kedokteran oleh perguruan tinggi saat ini.

Ratna juga mengingatkan soal sumber daya manusia karena pendidik berbeda dengan pelayan masyarakat.

BACA JUGA: Resistensi Obat Bayangi Upaya Menekan Kasus TB di Indonesia

“Seseorang yang jumlah pasiennya banyak, operasinya jago. Belum tentu dia menjadi staf pengajar yang bisa mentransferkan ilmunya kepada peserta didik,” tegasnya.

Ada juga problem peralatan-peralatan karena belum tentu rumah sakit di berbagai kabupaten memiliki standar yang dibutuhkan. Problem juga akan muncul karena pendidikan spesialis tidak bisa diselenggarakan oleh satu spesialisasi saja, tetapi harus ada interaksi antarspesialis.

Ratna juga mengatakan, “Kalau itu enggak ada, pendidikan seperti apa saya tidak terbayang. Karena dia tidak mengetahui bidang yang lain. Yang ketiga, kalau pengajarnya terbang, artinya rumah sakit tidak memiliki staf pengajar yang lengkap, yang diajarkan di sana itu apa?”

Termasuk soal siapa yang akan mengawasi dan mengevaluasi jika sudah diterapkan.

Sempurnakan yang Ada

Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi PhD. (Foto: Dok Fisipol UGM)

Pengamat kebijakan sekaligus Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi PhD menggarisbawahi perlunya dibuat cetak biru skema pelayanan dan pemerataan sektor kesehatan secara nasional. Jangan sampai, kata Wawan, upaya mempercepat “produksi” dokter spesialis ini tidak menyelesaikan persoalan distribusi, misalnya.

Selain itu, Wawan juga mengingatkan bahwa pemerintah harus berhati-hati untuk menambahkan nature satu rezim kepada rezim yang lain. Perguruan tinggi adalah rezim pendidikan, sedangkan rumah sakit adalah rezim pelayanan. Menambahkan tugas pendidikan ke rumah sakit sebagai rezim pelayanan, harus dilakukan dengan hati-hati.

“Bahwa antara rezim pelayanan dengan rezim pendidikan tentu tidak serta merta itu terpisah atau secara absolut kita pisahkan. Pasti ada aspek-aspek saling memperkuat. Tetapi menambahkan satu beban kepada rezim yang lainnya, akan sangat berat saya kira,” tegasnya.

Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., PhD, Direktur Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM. (Foto: FKKMK UGM)

Prof. dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., PhD, Direktur Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM juga menekankan perlunya kehati-hatian.

“Ini saya kira yang perlu diperjelas nanti pelaksanaannya seperti apa, bentuknya seperti apa, teaching-learning prosesnya seperti apa, memastikan kemampuannya seperti apa, dan seterusnya,” ujar Gandes.

Jika semua pertanyaan itu belum terjawab, Gandes menilai akan sulit menghasilkan dokter spesialis dari rumah sakit, dengan kualitas seperti yang dihasilkan perguruan tinggi.

Gandes juga mempertanyakan, apa sebenarnya yang kurang dalam sistem pendidikan dokter spesialis yang saat ini sudah ada. Jika memang membutuhkan terobosan, dia justru menyarankan semua pihak bertemu, untuk memperbaiki sistem yang sudah ada. Dia menilai, sebuah sistem baru yang bagus di luar negeri, tidak serta merta bisa diterapkan di Indonesia, karena ada persoalan-persoalan di belakang yang berperan.

“Misalnya, seperti apa hubungan kolegium, seperti apa institusi diakreditasi. Apa perlu kita tergesa-gesa," ujarnya. [ns/ah]

Your browser doesn’t support HTML5

RUU Kesehatan: Pro-Kontra Rumah Sakit Didik Dokter Spesialis