Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Muhammad Syafi'i mengatakan aturan yang tidak saja mengatur tentang penindakan aksi terorisme tetapi juga upaya pencegahan dan pemulihan itu, dilatarbelakangi semangat penegakkan hukum, HAM dan pemberantasan terorisme. Hal ini disampaikannya dalam acara silaturahmi mantan narapidana terorisme dengan para korban atau penyintas yang difasilitasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di hotel Borobudur Jakarta, hari Rabu lalu (28/2).
"Alhamdulillah seluruh anggota pansus, baik DPR maupun Pemerintah meski tidak dengan merubah judul tapi kemudian sepakat membuat konstruksi undang-undang ini tidak lagi melulu penindakan aksi teroris. Tapi sudah diawali dengan pencegahan kemudian penindakan itu sendiri dan pemulihan terhadap korban," ungkap Syafi’i.
Ditambahkannya, RUU ini juga ditujukan untuk mencegah munculnya kembali kelompok-kelompok baru yang berpaham radikal.
"Undang-undang ini sedemikian rupa tidak hanya melakukan tindakan represif tapi sedapat mungkin bibit-bibit yang mengarah kepada paham radikal terorisme itu bisa dihentikan. Tindakan-tindakan represif tidak bisa ternyata tidak bisa menghabisi terorisme tapi malah meng-create kelompok-kelompok lain untuk menjadi radikal menjadi bibit terorisme baru. Yang kalau istilah kami di DPR reproduksi terorisme," lanjut Syafi’i.
Baca juga: BNPT Pertemukan Mantan Napi dengan Korban Teroris
Dalam RUU ini, posisi BNPT berada langsung di bawah koordinasi presiden yang secara berkala memberi laporan situasi terkini kepada Presiden.
"Undang-undang ini juga menjadikan BNPT sebagai pusat analisis tentang perkembangan situasi bangsa ini. BNPT dengan analisisnya terus menerus kepada Presiden akan menjadi fasiiitas bagi Presiden untuk menetapkan apa yang harus dilakukan terhadap kondisi yang up date dilakukan oleh BNPT," tambah Syafi’i.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen. Pol Suhardi Alius menyambut baik perkembangan RUU Terorisme yang menjadikan fungsi pencegahan dan pemulihan korban sebagai salah satu prioritas pemberantasan terorisme.
"Berdasarkan hal tersebut BNPT ingin melakukan hal inovasi program deradikalisasi yang telah terlaksana. BNPT menginisiasi pertemuan antara para penyintas dengan para pelaku terorisme. Yang dikemas dalam sebuah kegiatan yang bernama Silaturahmi kebangsaan Negara kesatuan Republik Indonesia. Sebagai embrio Indonesia damai. Alhamdulillah pada kegiatan ini telah hadir 124 orang mantan terorisme dan 51 orang para penyintas atau korban," ujar Suhardi.
Suhardi mengaku pernah dikritik para penyintas karena merasa pemerintah hanya memperhatikan keluarga mantan pelaku teror. Ini salah satu hal yang mendorong pemerintah dan DPR membahas bersama revisi UU Anti-Terorisme.
Baca juga: Indonesia Siapkan Penjara Khusus bagi Teroris Berbahaya
Fifi Normasari, korban bom di hotel JW Marriot tahun 2003, menuturkan bahwa setidaknya ada tiga permintaan dan harapan para korban serangan teroris, mulai dari insiden bom di Bali tahun 2002 hingga bom di Kampung Melayu. Yaitu adanya pemulihan kesehatan secara fisik dan psikis, mendapatkan pekerjaan atau pelatihan serta beasiswa untuk anak-anak korban aksi terorisme.
"Kementerian kesehatan mohon sekiranya diberi kami layanan kesehatan. Karena sampai kini hanya sebagian yang mendapatkan layanan kesehatan. Kepada menteri tenaga kerja kami dari para korban banyak yang mengalami cacat hingga permanen dan sangat membutuhkan bantuan usaha. Mungkin juga dapat memberikan pelatihan juga. Agar para korban yang mengalami cacat dapat mengembangkan diri dalam rangka mensejahterakan kehidupan keluarganya," tukas Fifi.
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri yang ikut hadir dalam pertemuan itu memastikan bantuan pemerintah bagi mantan napi terorisme dan korban terorisme di bidang ketenagakerjaan, khususnya bagi penyandang disabilitas.
"Jadi beberapa upaya kemenaker berkaitan dengan pemenuhan hak korban maupun narapidana terorisme, yang menyandang disabilitas misalnya, kami juga ada promosi sosialisasi untuk penempatan tenaga kerja penyandang disabilitas. Dengan melibatkan perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas," kata Dhakiri.
Selain penyaluran tenaga kerja, kementerian tenaga kerja juga menyediakan program pelatihan.
"Nah kalo kompetensinya ga ada, skillnya ga ada, nah kami ada program untuk memberikan keterampilan yang diperlukan," imbuhnya.
Yang tidak kalah penting lanjut Syafi’I adalah langkah kongkrit dan nyata pemerintah untuk menangani dan memulihkan korban aksi terorisme.
Your browser doesn’t support HTML5
"Pasal 35a, korban tindak pidana terorisme merupakan tanggung jawab negara. Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud bantuan medis sejak awal kejadian sampai pulih, rehabilitasi psiko sosial dan psi kologis, santunan bagi keluarga dan kompensasi. Ini tidak ada di undang-undang sebelumnya," papar Syafi’i.
Sejauh ini belum ada rincian ganti rugi dan rehabilitasi bagi korban terorisme dalam RUU itu. Sebelumnya sempat diusulkan agar hal ini diatur dalam aturan terpisah dan diputuskan oleh pengadilan. Hal serupa juga diatur dalam UU Anti-Terorisme yang diberlakukan di Amerika pada tahun 2001, yang memperkuat aturan tahun 1978. [al/em]