Komisi Untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan konten Undang-undang Tindak Pidana Terorisme yang sedang direvisi DPR memiliki banyak potensi melanggar hak asasi manusia.
Koordinator KontraS, Haris Azhar mengatakan kepada VOA, Senin (13/6), sejumlah pasal dalam rancangan revisi UU itu rentan pelanggaran HAM, di antaranya perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari.
Menurutnya, hal tersebut sangat bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia, dimana seseorang boleh ditangkap dan dimintai keterangan itu hanya selama 1x24 jam.
Selain itu, menurut Haris, pasal 13a yang disebutkan oleh sejumlah kalangan sebagai pasal Guantanamo karena dengan mudah memenjarakan seseorang, sehingga bisa menjadi justifikasi penghilangan orang secara paksa.
Pasal 13a rancangan Undang-undang terorisme versi pemerintah yang saat ini sedang dibahas oleh DPR berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, perilaku, tulisan atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindak kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun."
Menurut Azhar, RUU terorisme itu tidak memiliki kriteria yang jelas untuk menetapkan seseorang sebagai teroris.
"Undang-undang ini dengan pasal tersebut mau bilang boleh lho kita hilangkan orang selama orang itu kita anggap sebagai teroris. Ini kan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sementara Indonesia sendiri terikat dengan peraturan perundang-undangan yang menghormat HAM, kok pemerintah yang mengusulkan revisi ini justru mengagendakan pasal-pasal yang melanggaran HAM," ujarnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Lebih lanjut Haris mempertanyakan tidak adanya perlindungan dan penanganan bagi korban tindak pidana terorisme dalam revisi tersebut. Mengingat RUU itu masih perlu diperbaiki, ia berharap DPR tidak segera mengesahkannya. Menurutnya, aparat harus mengedepankan hak asasi manusia dalam bertindak.
"Justru kalau ini diberlakukan akan menimbulkan polemik dimana peran polisi atau negara akan dipertanyakan orang kok semena-mena seperti itu," ujarnya.
Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-undang No. 15/2003 tentang terorisme, M. Syafi’I mengatakan, Pansus hingga kini masih terus meminta masukan dari sejumlah kalangan terkait hal ini.
"Kita ingin RUU ini tidak bersifat reaktif seperti yang sekarang. Reaktif (dalam) arti kata Undang-undang itu hanya berlaku ketika terjadi tetapi bagaimana kita mendeteksi keberadaan terorisme, bagaimana melakukan pencegahan-pencegahan. Pencegahan bisa dengan penjelasan, sosialisasi tentang bahaya terorisme segala macam, tentang Pancasila," ujarnya.
Sebelumnya, M.Syafii juga menilai perlunya pengetatan pengawasan terhadap kinerja Detasemen Khusus 88 Antiteror oleh Dewan Pengawas Operasi Terorisme. Dewan tersebut nantinya akan mengawasi isu kinerja dan aliran dana dalam menangani terduga teroris.
Jika Kapolri tidak setuju dengan pembentukaqan Dewan ini, tambahnya, Kepolisian harus menjelaskan asal dana Rp 100 juta yang diberikan kepada keluarga Siyono (terduga teroris yang meninggal ketika diperiksa Densus 88) dan juga bagaimana pertanggung jawaban 121 orang terduga teroris yang tewas tanpa proses pengadilan.