Saffron atau kuma-kuma telah sejak lama dikenal sebagai salah satu rempah termahal di dunia, yang kadang-kadang bahkan diperdagangkan sebagai mata uang.Kuma-kuma tumbuh di beberapa daerah di Eropa, Iran dan India. Kini sebuah perusahaan Amerika berupaya menarik ketertarikan pada rempah-rempah tradisional ini dan mengembangkan pasar baru, yang diperkirakan bakal meningkat pesat terutama di bulan Ramadhan.
Di Café Ba-Ba-Reeba di bagian utara Chicago, ada satu bahan masakan utama yang bisa membuat menu masakan juru masak eksekutif Matt Holmes menjadi luar biasa enak atau sebaliknya, sama sekali tidak enak.
“Kami menggunakannya pada menu paella yang menjadi hidangan khas di Café Bar-Ba-Reeba dan digunakan dalam makanan penutup serta beberapa hidangan lain. Jadi ada tidaknya kuma-kuma yang berkualitas tinggi merupakan hal yang sangat penting,” ujar Holmes.
Saffron atau kuma-kuma adalah sejenis bumbu masak yang berasal dari bunga crocus sativus atau umum dikenal sebagai “saffron crocus”. Tinggi bunga ini antara 20-30 sentimeter dan biasanya memiliki empat kuntum bunga, yang berwarna merah terang. Kuma-kuma adalah bahan utama dalam menu masakan di Asia, Timur Tengah dan Mediterania, yang bahkan berperan penting dalam masakan-masakan khas ketika bulan Ramadhan.
Meskipun pangsa pasar rempah-rempah ini mencapai 60 juta dolar, di Amerika kuma-kuma justru tidak terlalu dikenal. Itulah sebabnya “Rumi Spice” – salah seorang pemasok kuma-kuma bagi Holmes – berharap bisa mengubah hal itu.
“Kami mengambil nama perusahaan ini dari nama Jalaludin Rumi, seorang filsuf dan penyair terkenal pada abad ke-13 yang dilahirkan di Afghanistan. Salah satu syair terkenalnya adalah “dimana ada kehancuran, disitu ada harapan memperoleh harta karun,” papar Kimberly Jung.
Kimberly Jung dan Keith Alaniz adalah dua pendiri “Rumi Spice”. Keduanya adalah veteran militer Amerika yang pernah berdinas di Afghanistan dan kembali ke tanah air dengan berbagai pengalaman lain, selain pengalaman tempur semata.
“Saya tidak pernah bisa pergi ke Afghanistan, menghabiskan waktu disana dan kemudian pergi meninggalkan negara itu tanpa pernah memikirkannya lagi, terutama ketika kita memiliki hubungan dengan orang yang tinggal di sana,” tutur Alaniz.
Hubungan itu membentuk strategi bisnis “Rumi Spice” seiring meningkatnya permintaan kuma-kuma di Amerika, yang diproduksi oleh petani-petani Afghanistan di provinsi Herat.
Abdullah Faiz adalah konselor di Universitas Herat yang bekerjasama dengan Universitas Purdue di Indiana untuk mengembangkan program khusus dengan petani-petani kuma-kuma di Afghanistan, dan membentuk pasar baru bagi mereka.
“Departemen Teknologi Pangan akan mengajarkan dan melatih para petani supaya memproduksi kuma-kuma dengan kualitas higenis,” katanya.
“Hal yang luar biasa tentang Rumi adalah mereka memiliki produk-produk berkualitas yang sangat baik untuk digunakan. Anda seakan melakukan dua pekerjaan sekaligus yaitu membantu petani memproduksi kuma-kuma berkualitas dan sekaligus mendorong kaum perempuan menciptakan makanan yang enak,” tambah Holmes.
Para investor memperhatikan dengan seksama perkembangan ini. “Rumi Spice” kini menarik komitmen investasi bernilai 250 ribu dolar dari pebisnis Marc Cuban untuk masuk dalam program televisi “Shark Tank”, mengisyaratkan keyakinannya pada “Rumi Spice” dan potensi pertumbuhan kunyit di Afghanistan. [em/al]