Sepanjang tahun 2019 ini telah terjadi beberapa aksi kekerasan dan ledakan, mulai dari serangan bom bunuh diri di pos polisi Kartasura, Jawa Tengah, Juni lalu, penusukan Menkopolhukam Wiranto pada bulan Oktober, hingga ledakan di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, pada bulan November, disusul ledakan granat asap yang melukai dua TNI di sekitar Monas, Jakarta, awal Desember lalu.
Bukan mustahil aksi kekerasan, dan bahkan serangan teroris, juga terjadi menjelang Natal dan Tahun Baru nanti. Hal ini mengemuka dalam dialog ‘’Mencegah Teror Akhir Tahun’’ yang digelar di Jakarta, hari Rabu (4/12).
BACA JUGA: Kapolri: 74 Terduga Teroris Ditangkap Setelah Bom Bunuh Diri di MedanKoordinator Eksekutif di Institut Intelijen Indonesia Ridlwan Habib meminta badan keamanan dan intelijen mewaspadai masa akhir tahun ini. Terlebih, ujarnya, pimpinan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) pusat sudah menyerukan kepada para anggotanya dan pendukungnya untuk melakukan serangan di hari Natal. Ia minta agar aparat keamanan tidak meremehkan informasi sekecil apapun, meski itu berupa pesan singkat. Apalagi, lanjutnya, saat ini terdapat 400-an mantan narapidana terorisme yang tidak semua diketahui keberadaannya.
"Mohon jangan menyepelekan informasi sekecil apapun, bahkan sekadar SMS atau kode perpindahan tempat yang selama 3-4 hari tidak kita ketahui lokasinya. Itu bagi komunitas intelijen sangat vital. Karena bisa saja dalam waktu itu sesuatu (rencana serangan) disiapkan," ujar Ridlwan.
Empat Kegagalan Intelijen
Ridlwan mengatakan setiap kali terjadi serangan teroris, komunitas intelijen selalu disalahkan karena dianggap kebobolan. Ada empat tipe kegagalan intelijen menurutnya, pertama, ketika perwira, petugas, atau operator intelijen gagal mendapatkan informasi valid dari lapangan. Atau informasinya salah atau informasinya terlambat diperoleh.
Kegagalan atau disebutnya sebagai “Intel Gagal” kedua adalah jika operator di lapangan sudah memperoleh informasi yang benar dari lapangan, kemudian dilaporkan ke staf analisis intelijen tapi analisanya salah.
“Intel Gagal” ketiga yaitu ketika informasi yangdiperoleh di lapangan benar, analisanya juga sudah benar, tapi pengambil kebijakan salah menentukan tindakan, terlambat mengantisipasi, atau lengah. Ridlwan menyimpulkan kejadian penusukan terhadap Wiranto termasuk kategori Intel Gagal 3.
BACA JUGA: Atasi Radikalisme, Negara Perlu Perkuat Kembali Konsep, Target, dan Pemahaman Masyarakat"Informasinya sudah masuk bahwa ada sel JAD (Jamaah Ansharud Daulah) di pandeglang, kemudian analisnya mengatakan ada kerawanan di daerah itu, tetapi pengambil kebijakannya, bisa saja level Kodam, level Polda Banten, tidak segera mengambil tindakan waspada. Misalnya tidak segera mengamankan keluarga penyerang itu," tutur Rdilwan.
“Intel Gagal” keempat adalah ketika operasi penangkalan terhadap rencana serangan teror gagal, sehingga akhirnya perlu diikuti dengan operasi kontra-intelijen.
Hal senada disampaikan pakar ilmu keamanan dan kontra-terorisme di Universitas Padjadjaran Dr. Muradi.
"Akan ada teror akhir tahun sama sampai pertengahan Januari (2020). Tidak akan seheboh atau sebesar seperti (serangan teroris) sebelum-sebelumnya. Modelnya personal, kemudian terbatas pada figur-figur tertentu, pendekatannya bukan lagi isu Barat dan sebagainya," kata Muradi.
Your browser doesn’t support HTML5
Densus 88 Tangkap Enam Terduga Teroris di NTB
Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri hari Jumat (29/11) telah menangkap enam terduga teroris di Bima Nusa Tenggara Barat. Dua diantaranya pernah ditangkap pada 2011.
Saat ini polisi telah menangkap 92 teroris di seluruh Indonesia. Ia juga menjelaskan, Densus 88 sebelumnya telah menangkap tiga jaringan teroris Aceh pelaku aksi bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, pada 13 November lalu. (fw/em)