Sanksi Internasional Tak Perlambat Nuklir Korea Utara

  • Brian Padden

Dewan Keamanan PBB tahun ini bertemu 10 kali untuk membahas ketegangan di semenanjung Korea, termasuk isu nuklir Korea Utara (foto: dok).

Perubahan politik yang tidak diduga di AS dan Korea Selatan telah menyebabkan ketegangan nuklir Korea Utara tidak mengemuka, sementara Pyongyang terus berusaha mengkaji musuh-musuhnya.

Dalam tahun terakhir, sanksi internasional yang ditingkatkan tidak memperlambat Korea Utara untuk memajukan program nuklirnya.

Korea Utara pada awal 2016 melakukan uji nuklir ke-4, disusul oleh peluncuran roket jarak jauh. Pemimpin Kim Jong Un kemudian mendeklarasikan negaranya sebagai negara yang memiliki senjata nuklir, dan menampik resolusi DK PBB yang melarang program nuklir dan misil Korea Utara.

Selain ancaman militer dari senjata penghancur masal ini, analis keamanan kawasan Daniel Pinkston mengatakan, meng-amini tuntutan Korea agar diakui sebagai kekuatan nuklir bisa memicu persaingan senjata global.

Daniel Pinkston, analis keamanan di Troy University, mengatakan, "Kalau negara-negara lain menyaksikan hal ini, dan mengatakan, kami pun bisa melakukan hal itu, tak ada sanksinya kalau berusaha meraih senjata nuklir. Kami ingin punya kemampuan nuklir pula karena toh tidak ada sanksinya. Saya rasa situasi seperti itu akan semakin berbahaya untuk dunia.”

Menyusul uji nuklir dan misil Korea Utara, Korea Selatan telah memutuskan semua hubungannya dengan Utara, termasuk menutup Kompleks Industri Kaesong yang dioperasikan bersama serta mempekerjakan 54 ribu warganegara Korea Utara.

Pada Maret, Amerika dan China mensponsori bersama sanksi ketat yang memberlakukan embargo senjata total, serta juga pengetatan finansial dan perdagangan terhadap Korea Utara.

Sanksi-sanksi baru ini mengurangi kesibukan perdagangan di perbatasan dengan China, di mana sebagian besar perdagangan dengan Korea Utara berlangsung, tetapi Beijing tampaknya enggan memberlakukan secara ketat pembatasan itu karena khawatir akan memicu ketidakstabilan.

Amerika mengerahkan lebih banyak aset militer ke Semenanjung Korea dan melakukan latihan militer gabungan terbesar dengan Korea Selatan. Laporan ini kabarnya termasuk skenario serangan militer pencegahan (preemptive) terhadap lokasi nuklir Korea Utara.

PBB menyusul dengan sanksi-sanksi lain, dan Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon mengungkapkan penyesalan bahwa diplomasi sepertinya gagal mengusahakan resolusi damai atas konflik itu.

"Saya sangat prihatin dengan ketegangan yang semakin meningkat di semenanjung Korea akibat uji nuklir dan misil balistik Korea Utara. DK sudah bertemu 10 kali tahun ini saja, ini belum pernah terjadi, sepuluh kali untuk membahas satu isu tunggal saja,” ujar Ban Ki-moon.

Analis menduga Korea Utara tak lama lagi akan menguji kepemimpinan baru di Seoul dan Washington. Dan tergantung pada tanggapan yang mereka berikan maka bisa ada peluang-peluang dialog baru muncul atau sebaliknya, risiko konflik yang semakin tinggi. [jm]