Masyarakat Adat Dayak Hibun di Sanggau, Kalimantan Barat punya cara khusus untuk memperlakukan hutan mereka. Para tokoh adat, perwakilan pemuda dan perempuan sebelumnya bertemu untuk membahas hutan adat di sekitar desa. Mereka kemudian masuk hutan bersama, kata Valens Adi, salah satu tokoh masyarakat setempat.
“Kita memandang ke atas, untuk melihat cahaya yang masuk ke dalam hutan. Sehingga kita tahu kerapatannya, masuk kategori kerapatan mana, tinggi, sedang, rendah, kan begitu. Kemudian mengukur lingkar pohon, artinya untuk mengetahui pohon itu, bahwa itu tinggi pasti dengan kondisi lingkar batang yang besar, kan berarti umur,” papar dia kepada VOA.
Hutan yang masih lebat dan menjadi milik bersama secara adat, dirawat dan dilindungi karena menjadi tempat yang sakral. Misalnya di hutan di wilayah Tembawang yang dianggap sebagai asal muasal leluhur suku ini. Mereka juga memiliki situs budaya, seperti Pedagi, di mana warga wajib melakukan ritual adat setahun sekali. Selain melestarikan adat, semua ini juga bertujuan memastikan hutan mereka terjaga dari kerusakan. Salah satunya adalah hancurnya hutan akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang seolah tanpa henti di Kalimantan.
Perkumpulan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Dayak Hibun ini bernama Pemangkou Poyo Tono Hibun. Di setiap wilayah sudah ditetapkan titik-titik kawasan hutan yang tidak boleh diganggu.
“Karena itu disepakati bersama, dilindungi secara hukum adat. Siapa yang mengganggu kena hukum adat, pengawasannya juga oleh masyarakat adat,” kata Valens.
Valens sendiri adalah petani kelapa sawit sejak hampir 25 tahun yang lalu. Meski begitu, mereka memegang teguh komitmen adat untuk menjaga hutan. Ada batas yang jelas, lahan seperti apa yang bisa dijadikan kebun sawit, dan kawasan mana yang harus dijaga. Mereka bahkan membentuk petugas penjaga hutan, sebagai wujud nyata bagaimana adat membatasi ketamakan merusak hutan demi sawit.
“Sebagai masyakat adat, kan masih kuat dengan budaya dan adat. Upacara-upacara adat dan budaya ini selalu menggunakan bahan-bahannya yang ada di hutan. Artinya, hutan itu penting, jangan sampai habis. Mereka mencari daun-daun tertentu yang untuk upacara. Jadi, kalau hutan hilang, berarti upacara adat dan budaya juga hilang,” jelas Valens.
Indonesia mengalami ekspansi lahan perkebunan sawit yang sangat cepat. Data Kementerian Pertanian pada 2017, luas total lahan sawit mencapai 14 juta hektare. Dua tahun kemudian, luasan itu telah bertambah menjadi 16,8 juta hektare. Sementara pengukuran paling akhir yang dilakukan Badan Informasi Geospasial pada 2023 dan dipresentasikan pada April 2024 lalu, luas lahan sawit di Indonesia telah mencapai 17,3 juta hektare.
Untuk terus memperluas lahan perkebunan sawit, hutan adalah salah satu kawasan yang menjadi sasaran. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 3,37 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam area hutan.
Karena itu, menjaga hutan agar tidak menjadi korban tamaknya ekspansi sawit ini menjadi penting. Suku Dayak Hibun di Sanggau, Kalimantan Barat yakin hutan yang dijaga masyarakat adat tidak dilirik, bahkan oleh industri besar. Justru yang beralih adalah hutan-hutan dalam penguasaan pemerintah. Seorang pemuka adat bergelar Temenggung memimpin upaya penjagaan hutan ini.
Perangkat Bebas Deforestasi bagi Petani
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan sejumlah lembaga lain telah mendampingi praktik baik para petani di Kalimantan ini, terutama di Sanggau, Sintang dan Sekadau. Hasil pendampingan itu disusun dalam sebuah perangkat Panduan Bebas-Deforestasi Petani Kecil, yang diluncurkan belum lama ini.
Sabaruddin, Ketua SPKS menyebut langkah ini sebagian merupakan kelanjutan dan reaksi atas tuntutan dunia, terkait sawit yang tidak menyebabkan penggundulan hutan.
“Kami itu berkomitmen dalam hal deforestasi, dan ingin membuktikan sebenarnya, kalau tuduhan selama ini tidak benar. Tuduhan selama ini yang keluar itu kan yang dituduh melakukan deforestasi atau misalnya isu kebakaran hutan, itu banyak dilakukan oleh petani,” kata Sabaruddin.
BACA JUGA: 200.000 Hektare Lahan Kelapa Sawit Indonesia akan Dihutankan KembaliNilai penting upaya ini, kata Sabaruddin, adalah fakta bahwa para petani di tiga wilayah tersebut memilih untuk menjaga hutan dan melakukan konservasi di area-area, yang sebenarnya bisa mereka buka menjadi kebun sawit.
“Karena kesepakatan dan karena nilai-nilai di dalam area itu juga, hutan akhirnya dijaga dengan komitmen bersama,” tegasnya.
Panduan Bebas-Deforestasi untuk Petani Kecil Indonesia ini telah dikembangkan selama lebih dari enam tahun atas kolaborasi SPKS, High Carbon Stock Approach (HCSA), Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F), Greenpeace, dan High Conservation Value Network (HCVN). Proses ini juga mencakup empat tahun uji coba lapangan bersama petani kecil di Kalimantan Barat, agar panduan tersebut sederhana dan mudah diadaptasi oleh komunitas lokal.
Pedoman ini berisi petunjuk sederhana, seperti bagaimana komunitas petani dapat mengidentifikasi dan memetakan area tutupan hutan dan lahan di sekitar desa mereka.
Di tingkat global maupun nasional, kelapa sawit telah memiliki sistem tersendiri terkait produksi berkelanjutan. Tahun 2004, dibentuk Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai tanggapan atas seruan global terhadap produksi minyak sawit berkelanjutan.
Pendirinya adalah World Wildlife Fund, Malaysian Palm Oil Association (MPOA), Unilever, AAK, dan Migros. RSPO mengembangkan serangkaian kriteria lingkungan dan sosial yang harus dipatuhi perusahaan ketika memproduksi Minyak Sawit Berkelanjutan Bersertifikat RSPO (CSPO). Upaya tersebut diyakini membantu meminimalkan dampak negatif sawit terhadap lingkungan lokal, satwa liar, dan masyarakat.
Sementara di tingkat lokal telah ada Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sebuah sistem sertifikasi yang memiliki tujuan serupa.
Pada Mei 2023, Uni Eropa telah mengesahkan UU Anti-Deforestasi, yang menolak produk-produk yang budidayanya merusak hutan, masuk ke blok tersebut. Sawit adalah satu dari tujuh komoditas yang terdampak, bersama kopi, daging, kakao, karet, kayu, dan kedelai.
“Dengan praktik yang dilakukan oleh petani menggunakan perangkat ini, sebenarnya lebih dari itu. Lebih dari standar yang ada di RSPO maupun ISPO, karena mereka berkomitmen melindungi hutan. Kemudian berkomimen melakukan konservasi dan pengelolaan kebun-kebun mereka. Itu sebenarnya sudah memenuhi standar-standar yang diinginkan pasar,” tambah Sabaruddin meyakinkan.
BACA JUGA: Studi: Lahan Gundul di Indonesia yang Terbengkalai Berpotensi DimanfaatkanBahkan perangkat bebas-deforestasi dan praktik baik yang dilakukan petani sawit di Kalimantan Barat, melangkah lebih jauh dari sekadar memenuhi kriteria internasional maupun nasional. Sabaruddin menjelaskan, hutan yang dijaga oleh para petani sawit juga memberikan manfaat dalam soal pangan lokal dan obat-obatan yang ada di hutan. Sayangnya, sampai sejauh ini belum ada insentif yang diterima para petani, baik oleh pelaku pasar maupun negara.
Apa yang Diterima Petani?
Jika petani melindungi hutan di tengah ekspansi sawit, lalu apa yang mereka terima sebagai imbal baliknya?
Pertanyaan itu, diakui Tirza Pandelaki muncul juga dari para petani kecil atau small holders. Namun, kata dia, di situ pulalah letak jawaban dari pertanyaan itu. Tirza adalah Direktur Eksekutif Farmer for Forest Protection Foundation (4F).
“Memang itulah jawabannya, ada insentif dan benefit yang bisa diberikan kepada small holders. Ini juga selain untuk mengapresiasi upaya yang dilakukan small holders selama ini dalam melakukan perlindungan hutan, tetapi juga untuk memberikan apresiasi dan dukungan agar proses atau upaya perlindungan hutan itu terus dilakukan. Sustainable,” jelasnya.
Tirza memaparkan, ada dua hal yang berkaitan dengan petani dalam hal ini, yaitu rantai pasok untuk pasar yang adil dan traceability atau ketertelusuran, khususnya di sektor sawit.
Dalam kaitan rantai pasok, 4F masih mencatat meski petani masuk menjadi anggota koperasi, misalnya, dalam konteks penjualan buah sawit, mereka umumnya masih tergantung kepada middle man, di mana ada agent, big agent dan barulah sampai ke industri.
“Proses jual beli buah yang panjang sepeti itu, melemahkan posisi tawar petani dalam hal negosiasi harga,” tegas Tirza.
Sedangkan dalam konteks traceability atau ketertelusuran, hingga saat ini masih muncul tudingan bahwa petani kecil menjadi pelaku deforestasi. Petani juga kerap dianggap tidak bisa menyediakan dokumen yang berkaitan dengan ketertelusuran itu sendiri.
Tirza menegaskan semua tuduhan tersebut keliru. Justru petani mampu menunjukkan semua informasi mendasar, mulai dari nama, wilayah, polygon coordinate, informasi land clearing, sejarah lahan, produksi buah, hingga land ownership.
Bahkan sejak sebelum perangkat bebas deforestasi disusun, banyak petani sudah mempraktikkan perkebunan sawit tanpa merusak hutan.
“Contoh di Kalimantan Barat, small holders itu adalah juga bagian dari masyarakat adat. Dan mereka punya upaya besar untuk melindungi hutan, karena hutan itu tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat, sebagaimana konteks masyarakat adat,” tambah Tirza.
Tantangan bagi Uni Eropa
Setelah Uni Eropa mengundangkan UU Anti-Deforestasi, upaya petani di Kalimantan Barat ini seharusnya menerima nilai lebih. Setidaknya, produk sawit mereka diterima pasar blok ekonomi tersebut. Dalam konteks ini, kata Tirza, petani yang menjaga hutan harus memiliki tempat dalam rantai pasok dan perlakuan adil. Lebih jauh dari itu, Tirza bahkan melihat bahwa Uni Eropa harus menerapkan harga lebih layak, bagi produk sawit petani yang terbukti bebas deforestasi.
“Apa yang bisa diberikan pasar kepada mereka sebagai nilai lebih, premium price yang diberikan kepada small holders, karena upaya mereka dalam melindungi hutan,” kata Tirza.
Bukan hanya sesaat, Uni Eropa bahkan seharusnya memberikan komitmen jangka panjang bagi produk bebas deforestasi semacam itu.
BACA JUGA: Sawit di Papua: Tarik Menarik antara Masyarakat Adat dan PemerintahArie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebut, sekitar 40 persen pasokan kelapa sawit datang dari petani kecil.
“Pembeli di pasar global mencari petani kecil yang mampu menerapkan praktik bebas-deforestasi agar mereka dapat memenuhi persyaratan atau regulasi baru, seperti UU Anti-Deforestasi Uni Eropa atau EUDR. Pasar global dapat melihat smallholders toolkit ini sebagai panduan yang berguna untuk memenuhi ketentuan bebas-deforestasi,” kata dia.
Arie juga mengatakan, di sisi lain masih ada sejumlah perusahaan besar dan asosiasi-nya yang terus-menerus mengatakan bahwa petani kecil tidak bisa memenuhi syarat bebas-deforestasi. Namun dengan perangkat ini, petani kecil telah menunjukkan bahwa mereka mampu melaksanakan praktik bebas deforestasi.
“Kami berharap seluruh rantai pasok kelapa sawit global mendukung inisiatif petani kecil dan panduan bebas-deforestasi untuk memperkuat inisiatif keberlanjutan dan perbaikan tata kelola pada industri ini,” tambah dia.
Dalam pernyataan bersama, Greenpeace menyatakan bahwa mereka berkolaborasi dalam proses ini agar petani kecil bisa membuktikan bahwa mereka bisa bebas-deforestasi, melindungi hutan, dan memenuhi sejumlah persyaratan, misalnya yang diatur dalam EUDR.
Sementara Jesus Cordero, Direktur Eksekutif High Carbon Stock Approach (HCSA) mengatakan, EUDR dan peraturan internasional lainnya tak bisa mengabaikan besarnya potensi kontribusi petani kecil dalam mewujudkan rantai pasok yang bebas deforestasi.
“Perangkat ini memungkinkan petani skala kecil untuk membuktikan bahwa mereka mampu memproduksi komoditas dan melestarikan hutan serta keanekaragaman hayati, dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal. Mereka dapat menjadi kunci yang menghubungkan rantai pasok dan pasar yang berkelanjutan ketika bermitra dengan produsen dan pembeli besar,” tambahnya.
Sementara Sabaruddin dari SPSK menyebut mereka menunggu insentif atau benefit dari berbagai pihak, termasuk negara, karena petani sudah menerapkan praktik baik dengan melindungi hutan di tengah budidaya sawit.
BACA JUGA: Ohongana Manyawa: Penjaga Hutan yang Terancam Tambang di Halmahera“Kalau dihubungkan dengan Eropa, kita menantang. Sekarang ini sudah ada petani yang melindungi hutan, kemudian mempraktikkan hal-hal baik, kemudian juga mengelola perkebunan mereka secara berkelanjutan. Pasar itu seharusnya bisa memberikan insentif lebih ke mereka,” tandasnya.
Petani sawit pelindung hutan di Kalimantan Barat masih tergantung pada rantai pasok yang dipenuhi tengkulak. SPKS mencatat, mereka kehilangan 30-40 persen potensi pendapatan, karena tekanan harga yang jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah.
Ada upaya rintisan lokapasar atau marketplace yang dirintis SPKS untuk mengatasi situasi ini karena platform ini dinilai mampu menjembatani petani kecil dan industri. Namun, upaya tersbeut masih butuh waktu lama untuk bisa diwujudkan. Sementara ini, kata Sabaruddin, industri seharusnya tergerak untuk memberi ruang dalam rantai pasok, bagi petani-petani yang mempraktikkan perkebunan bebas deforestasi itu. [ns/jm]