Indonesia merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, yang berarti turut menyumbang produksi sampah dunia secara signifikan. Menurut perhitungan Greenation Indonesia, setiap orang di Indonesia menghasilkan rata-rata 0,5-0,7 kilogram sampah per-hari.
Pendiri Greenation Indonesia, yang juga Managing Director Waste4Change, Mohammad Bijaksana Junerosano, memperkirakan produksi sampah oleh seluruh penduduk Indonesia mencapai 175.000 ton per-hari, atau sekitar 63,8 juta ton per-tahun yang setara dengan 4.800 bangunan Candi Borobudur.
Your browser doesn’t support HTML5
Bijaksana Junerosano mengatakan, tidak terkelolanya sampah dengan baik akan dapat meminbulkan berbagai masalah serius, termasuk kerusakann lingkungan, dan gangguan kesehatan masyarakat. Pengurangan konsumsi produk yang menghasilkan sampah, kata Bijaksana, menjadi cara efektif untuk mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
“Caranya apa, aku mengurangi konsumsi itu contohnya, pembatasan, membatasi konsumsi. Kemudian secara sistemik juga perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk, produsen-produsen juga bisa mengikuti upaya pengurangan. Contoh, kemasannya itu dibuat menjadi lebih tipis, jadi secara bobot, secara berat itu dia lebih enteng. Kemudian dia mengurangi jumlah kemasan, nggak usah dobel-dobel. Ada itu produk yang kemasannya itu dobel tiga, ada kertasnya, ada alumuniumnya, ada plastiknya itu, bisa tidak dikurangi sehingga jumlah sampah jadi berkurang,” jelasnya.
Peran serta masyarakat dalam mengurangi volume sampah yang dibuang ke TPS maupun TPA, juga dipengaruhi kebiasaan perilaku masyarakat dalam memperlakukan sampah. Wahyu Oktorianto, pengelola Bank Sampah Pin-Pin, di RT 5-RW 6 Kelurahan Sambikerep, Surabaya, mengatakan kebiasaan warga yang langsung membuang sampah tanpa memilah karena sudah ada petugas yang mengambil sampah memperlambat upaya pengurangan volume sampah.
“Kalau sudah dalam zona nyaman, mereka mempunyai sampah dibuang ke tempat sampah, dia membayar ke petugas sampah, selesai. Tapi, di sini mereka kan akhirnya harus memilah dan memilih, mana yang bisa dijual, mana yang bisa masuk ke tempat sampah, dan mana yang masuk ke dalam pengolahan sampah organik. Nah, itu yang menjadi kendala buat kita awalnya untuk mengajak mereka,” jelasnya.
Aktivis Komunitas Nol Sampah Surabaya, Hanie Ismail, menilai upaya mengelola sampah yang efektif adalah mengajak masyarakat mengurangi produksi sampah. terutama sampah organik yang prosentasenya mencapai 60 persen dari total sampah yang dihasilkan warga. Idealnya, kata Hanie, sampah tetap dapat dikembalikan menjadi barang yang bernilai, tanpa harus membuangnya begitu saja.
“Ketika satu lorong, satu RT memilah sampah dari rumah, ya oke, sampah organik mereka sisihkan, sampah anorganik yang bernilai ekonomis saja yang mereka sisihkan. Sekarang yang tidak bisa bernilai ekonomis itu mereka buang. Seharusnya kan idealnya sampah itu semuanya adalah material yang bisa dikembalikan lagi,” jelas Hanie.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya, Dedik Irianto, mengatakan volume sampah yang dihasilkan sekitar 3 juta warga Surabaya dalam sehari mencapai 1.800 ton. Angka itu belum termasuk sampah yang dihasilkan warga luar Surabaya yang bekerja di Surabaya selama jam kerja. Dedik menambahkan, upaya pengurangan sampah melalui 450 bank sampah di seluruh Surabaya, serta berbagai upaya pengurangan sampah organik di masyarakat, belum cupuk signifikan mengurangi volume sampah di Surabaya.
“1.800 ton itu hanya warga Surabaya, belum komuternya, belum yang dari restoran dan macam-macam itu. Volume yang masuk ke TPA Benowo saat ini kurang lebih 1.300 ton sampai 1.500 ton per-harinya, artinya yang berhasil direduksi, yang berhasil dipilah oleh masyarakat saat ini kurang lebih setiap harinya 300 sampai 500 ton per-hari,” sebutnya.
Dedik berharap, masyarakat mau memilah sampah mulai dari rumah, untuk membantu mengurangi beban volume sampah yang ada di TPA, meski pemerintah kota juga menyediakan 10 TPS 3R yang memiliki fasilitas memilah sampah.
Guru besar Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Warmadewanthi, menilai bank sampah dan komposting merupakan cara yang efektif untuk mengurangi sampah. Namun, kata dia, upaya ini sayangnya belum dilakukan oleh semua orang.
Warmadewanthi juga menyoroti minimnya fasilitasi pemerintah dalam mengangkut sampah yang telah dipilah rumah tangga menuju TPS maupun TPA. Pemerintah selama ini hanya menyediakan fasilitas pengangkutan dari TPS ke TPA. Sedangkan dari rumah ke TPS, katanya, warga mengeluarkan biaya tambahan untuk pengangkutan. Warmadewanthi bahkan menyebut, sampah yang telah dipilah warga seringkali kembali dicampur saat proses pengangkutan ke TPS, sehingga menjadikan warga enggan kembali memilah sampah.
“Karena setelah memilah di rumah tangga, habis itu dibawa ke mana, ya itu yang masih menjadi masalah. Karena kalau dikumpulkan kemudian dicampur lagi, ngangkut ke TPA dicampur lagi. Jadi, kalau selama ini masyarakat memilah seharusnya memang ada saluran ke mana pilahan itu untuk dibawa,” komentarnya.
Kondisi ini menurut Bijaksana Junerosano, semakin menegaskan sulitnya mencapai target pengurangan sampah sesuai arah kebijakan dan strategis pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis (Jakstranas) sebesar 30 persen pada 2025.
“Sudah seberapa efektif, masih jauh dari efektif, masih jauh dari target jakstranas, jastranas itu targetnya tahun depan, 2025, upaya pengurangan itu harus 30 persen. Kita masih jauh dari itu, masih mungkin di klaimnya pemerintah masih level belasan persen,” sebutnya.
Laju penambahan volume sampah yang kian cepat dibandingkan upaya pengurangan, diakui Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya. Dedik Irianto mengatakan, salah satu cara yang dapat diterapkan untuk mengajak masyarakat mengurangi menghasilkan sampah adalah dengan menerapkan sanksi bagi warga yang tidak mau memilah sampahnya. Aturan yang ada selama ini, mulai Undang-Undang, Peraturan Daerah, hingga Peraturan Wali Kota, menurut Dedik perlu diperbarui dengan memasukkan sanksi yang berat dan penindakan yang tegas bagi siapa pun yang enggan memilah sampahnya.
“Melihat progress pemilahan sampah di masyarakat, bisa jadi suatu saat mungkin dari inisiatif DPR, atau dari inisiatif eksekutif untuk mengusulkan perubahan perda (peraturan daerah) tersebut, memberikan sanksi terhadap masyarakat yang tidak memilah sampah,” sebut Dedik. [pr/ab]