Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji akan merebut ibu kotanya, Kyiv, dalam tiga hari. Namun 18 bulan kemudian, hal itu masih belum terjadi, padahal Kremlin telah menghabiskan lebih dari 60 miliar dolar Amerika (sekitar Rp900 triliun) untuk perang itu.
Analis Gary Schmitt dari American Enterprise Institute, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington, mengatakan, "Semua orang pada dasarnya melihat jumlah uang yang disalurkan Kremlin untuk militer Rusia, dan berkata, 'Ya, mereka akan memiliki kemampuan yang nyata!"
Pakar keamanan dan strategi di Atlantic Council, Ian Brzezinski, percaya invasi ke Ukraina dirancang sebagai kampanye jangka pendek yang kini telah bergulir menjadi pertarungan untuk mempertahankan diri.
"Sekarang mereka dalam posisi bertahan. Sayangnya, mereka telah diberi banyak waktu untuk menggali dan membangun benteng dan ladang ranjau dan, Anda tahu, garis parit dan semacamnya. Ini bukan kekuatan tempur kelas dunia, tapi masih merupakan kekuatan yang signifikan," ujarnya.
Saat ini, jumlah tentara Rusia mencapai sekitar satu juta orang. Schmitt mengatakan meskipun telah melakukan mobilisasi, kekalahan di Ukraina membuat sebagian besar tentara kini tidak siap untuk bertempur.
"Mereka pernah menjadi raksasa dalam operasi lapis baja. Dan ternyata, sekali lagi, tanpa kemampuan operasi gabungan, tanpa logistik yang diperlukan untuk melaksanakannya, dan tanpa penggunaan kekuatan udara gabungan, mereka tidak lagi digjaya," kata Schmitt.
Brzezinski mengatakan konflik Agustus 2008 di Georgia menunjukkan kelemahan dalam disiplin, komando, dan struktur militer Rusia.
"Itu adalah kinerja yang menyedihkan! Dan Putin bersumpah akan mengubah keadaan. Dan dia memulai rencana modernisasi militer selama 10-15 tahun," tambahnya.
BACA JUGA: Rusia Tembak Jatuh Drone Ukraina di Dekat MoskowRusia mulai mengalihkan pasukannya menjadi tentara kontrak yang lebih modern, lebih kompak; mengadopsi kelompok-kelompok taktis batalyon gaya Barat. Namun, Schmitt mengatakan Rusia juga berkompromi, dengan memprioritaskan kuantitas unit dibanding kualitas, dan para pemimpin militer melebih-lebihkan kemampuan unit mereka untuk menyenangkan para pemimpin politik. Reformasi tersebut, katanya, belum begitu efektif.
"Jadi, sebagian besar uang itu tersedot dari yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kemampuan militer ke kantong para jenderal dan kontraktor," lanjut Schmitt.
Saat ini, Rusia menghadapi masalah sumber daya di Ukraina, dan meningkatkan jumlah pasukan saja tidak akan membantu dan tidak akan mudah, kata Philip Breedlove, pensiunan jenderal Angkatan Udara A.S. yang merupakan komandan tertinggi NATO dari tahun 2013 hingga 2016.
BACA JUGA: Pasukan Ukraina Menyerbu Lebih Jauh ke Selatan dalam Upaya Serangan BalikPhilip mengatakan, "Jika kita mengira Rusia sudah selesai, kita salah. Kapabilitas mereka masih sangat besar. Namun dibutuhkan dorongan politik yang sangat besar bagi Putin untuk terus mengerahkan pasukan dan melakukan beberapa hal yang mungkin harus ia lakukan."
Para pakar yang berbicara dengan VOA mengatakan mereka menunggu untuk melihat bagaimana para pejuang Wagner menanggapi kematian pemimpin pemberontak Yevgeny Prigozhin, yang tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat yang diyakini didalangi oleh Putin. [em/lt]