Sebulan Mengungsi, Warga Maybrat Papua Belum Berani Kembali

  • Nurhadi Sucahyo

Sejumlah pengungsi di Kais Darat. (Foto: Courtesy/KMSPPM)

Eskalasi konflik di Maybrat, Papua Barat membuat ribuan pengungsi belum bersedia kembali ke kampung mereka. Kondisi ini juga dikhawatirkan memantik kekerasan baru, yang selalu menempatkan masyarakat sebagai korban.

Bukan hanya warga, para pastor gereja juga memilih untuk mengungsi. Setidaknya, menurut kesaksianyang disampaikan oleh Pastor Imanuel Tanau, Pr dalam penjelasan kepada media secara daring, Sabtu (2/10).

Pastor Imanuel Tanau, dari Komisi Kerasulan Awam, Keuskupan Manokwari Sorong, dalam tangkapan layar.

“Di sana kami ada paroki. Dan pastur paroki ikut mengungsi bersama warga. Situasi keamanan memang tidak memberi jaminan untuk warga pulang. Kalau pastur tetap disana, dia mau pimpin siapa? Akhirnya pastur bersama warga mengungsi,” kata Pastor Imanuel.

Ia berasal dari Komisi Kerasulan Awam, Keuskupan Manokwari Sorong. Lembaga ini turut bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat (KMSPPM).

Lembaga lain yang terlibat di antaranya Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Cipta, Ordo Santo Agustinus (SKPKC OSA), Pastor Asli Papua, Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM Papua), dan Kontras Papua. Bergabung pula Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai, Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa/i Kisor Raya (IPPMKR), Pemuda Adat Papua Wilayah III Doberai, Aliansi Masyarakat Adat Nasional Sorong Raya dan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa/I Ayosami.

Pengungsi warga Kampung Imsun di hutan. (Foto: Courtesy/KMSPPM)

Seluruh lembaga tersebut, saat ini berkonsentrasi penuh membantu lebih dari dua ribu pengungsi yang tersebar di berbagai titik, bahkan hingga ke kabupaten berbeda.

Pastor Imanuel juga melaporkan, gereja mencatat ada sejumlah rumah warga rusak, termasuk juga sebuah gereja. Akan dilakukan pengecekan lebih jauh, untuk menyuwun laporan yang lebih sesuai dengan kondisi lapangan. Terkait keputusan pengungsi yang belum mau kembali ke rumah, menurut Pastor Imanuel, persoalan keamanan menjadi alasan.

“Para pengungsi itu bukan hanya soal kembali ke tempatnya. Tetapi tempat di mana sekarang tinggal, seperti Kumurkek, Kokas, Ayawasi, bahkan sekitar kampung lainya, itu juga bukan memberi jaminan keamanan,” lanjut Pastur Imanuel.

BACA JUGA: Gereja Berharap Konflik Maybrat Papua Diselesaikan Secara Bermartabat

Peristiwa penangkapan pengungsi di daerah Kokas beberapa waktu lalu, tambah Pastur Imanuel, membuat warga semakin takut untuk pulang. Bahkan ada kabar mengenai keinginan sebagian dari mereka yang justru ingin keluar dari wilayah Maybrat.

Komisi Kerasulan Awam, lanjut Pastur Imanuel, mengecam keras, tindak kejahatan atas nama kepentingan apapun dan siapapun, baik di Maybrat maupun Papua secara umum. Lembaga ini juga menyerukan kepada para pihak, khususnya pihak keamanan, menghadirkan cara-cara humanis menyelesaikan problem kemanusiaan.

“Kami juga meminta kepada Pemda Maybrat untuk membuka akses bagi siapa saja, yang merasa memiliki rasa kemanusiaan untuk membantu saudara-saudara yang mengungsi. Jangan karena harga diri membuat orang menderita. Jangan karena kepentingan sendiri, membuat warga tidak bisa dibantu pihak lain,” tambah Pastur Imanuel.

Pengungsi menyebrang sungai Kais untuk mencari tempat aman. (Foto: Courtesy/KMSPPM)

Genap satu bulan sudah ribuan warga sipil Kabupaten Maybrat hidup di pengungsian dalam kondisi tidak aman. Konflik antara aparat keamanan dangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) bermula pada 2 September 2021 di Kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan. Peristiwa penyerangan TPNPB terhadap Pos Koramil Persiapan Kisor, yang menewaskan empat anggota TNI dan melukai dua orang anggota TNI lainnya memicu konflik bersenjata.

Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pengungsi Maybrat mencatat jumlah pengungsi saat ini mencapai 2.768 orang. Yohanis Mambrasar, juru bicara koalisi menyebut meski berada dalam kondisi sulit, pengungsi belum mau pulang karena mereka mempertanyakan jaminan keamanan.

“Hari ini mereka merasa tidak aman di Kumurkek, karena terjadi sejumlah penangkapan. Kalau orang pulang, bisa ditangkap. Mereka yang sudah mengungsi ke Kumurkek, pasca penangkapan beberapa warga sudah bergeser lagi. Mereka mencari tempat lain lagi, padahal mereka sudah berjauh-jauh dari kampung mereka, supaya dapat aman,” ujar Yohanis.

Yohanis Mambrasar, pengacara PAHAM Papua sekaligus juru bicara koalisi, dalam tangkapan layar.

Kumurkek adalah Ibu Kota Kabupaten Maybrat. Para pengungsi mendengar upaya penangkapan ke sejumlah orang, dan mengira mereka bisa saja menjadi korban berikutnya. Ketakutan inilah yang membuat mereka terus berpindah mencari tempat pengungsian baru, dan semakin jauh. Yohanis menyebut, pengungsi Maybrat membutuhkan kenyamaan, keamanan dan tentu saja bahan makanan dan minuman.

“Anak-anak yang tidak sekolah, harus menjadi perhatian pemerintah. Mereka harus diberikan jaminan atau diurus untuk bersekolah, sehingga mereka tidak terlantar dan tidak menjadi korban, serta kehilangan hak-hak untuk mendapat pendidikan,” lanjut Yohanis.

Dari pemantauan dan investigasi koalisi ini, 2.768 pengungsi itu tersebar di 50 Kampung di lima distrik, yaitu Aifat Selatan, Aifat Timur, Aifat Timur Jauh, Aifat Timur Tengah dan Aifat Timur Selatan. Mereka juga berpindah ke distrik-distrik terdekat, seperti Aiyawasi, Kumurkek, Aitinyo, dan kabupaten lain seperti Sorong Selatan, Bentuni, dan Sorong. Sejumlah pengungsi dilaporkan sakit, ada juga yang sedang mengandung.

BACA JUGA: Banyak Personel TNI-Polri Tiba di Maybrat Papua Barat, Masyarakat Diminta Tak Takut

Koalisi mendorong aparat keamanan untuk mengendurkan upaya pengejaran yang merambat pada upaya penangkapan sebagian pengungsi. Langkah ini sangat mempengaruhi kondisi pengungsi, karena membuat mereka ketakutan. Pengejaran terhadap kelompok TNPPB tidak selayaknya mengorbankan masyarakat awam yang tidak terlibat dalam konflik itu sendiri. [ns/ah]