Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan kepada negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara, alias NATO, pada Kamis (29/2), bahwa jika mereka mengirim pasukan ke Ukraina, bukan tidak mungkin konflik nuklir akan terjadi. Putin menambahkan, Rusia harus memperkuat distrik militernya di sebelah barat, mengingat Finlandia dan Swedia telah bergabung dengan NATO.
“Mereka membahas kemungkinan untuk mengirim pasukan militer NATO ke Ukraina, tapi kita ingat nasib mereka yang dulu mengirim pasukan ke negara kita. Namun kini konsekuensi kemungkinan intervensi itu akan jauh lebih tragis. […] Dan (mereka harus paham) bahwa yang mereka lakukan sekarang, mencoba menakut-nakuti seluruh dunia, berisiko memicu konflik senjata nuklir, yang berarti kehancuran peradaban. Tidakkah mereka memahami hal ini?,” jelasnya.
Awal pekan ini, Amerika Serikat dan sekutu-sekutu utamanya di Eropa menegaskan bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk mengirim pasukan darat ke Ukraina. Hal itu mereka sampaikan setelah Prancis mengisyaratkan adanya kemungkinan untuk mengirim pasukan ke sana.
Pernyataan Putin disampaikan dalam pidato kenegaraannya di hadapan parlemen dan pejabat Rusia, Kamis (29/2), menjelang pemilu beberapa minggu ke depan, yang diprediksi akan kembali dimenangkan olehnya.
Sementara itu, pada hari yang sama, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi yang menentang penindasan politik di Rusia dan kematian pemimpin oposisi Rusia Alexey Navalny. Resolusi itu disahkan dengan 506 suara dukungan, sembilan suara menentang dan 32 absen.
Sesi pemungutan suara yang digelar di Kota Strasbourg, Prancis, itu mengulas berbagai isu, dari perlunya Uni Eropa mengambil tindakan untuk mendukung tahanan politik dan masyarakat sipil tertindas di Rusia, serta perlunya UE mendukung Ukraina setelah invasi Rusia ke negara itu memasuki tahun ketiga.
BACA JUGA: Janda Mendiang Pemimpin Oposisi Rusia Pidato di Parlemen EropaIstri mendiang Navalny, Yulia Navalnaya, Rabu (28/2) juga berpidato di Parlemen Eropa untuk meminta blok beranggotakan 27 negara itu menentang Putin. Ia mengatakan, politisi Eropa harus menggunakan taktik baru untuk mengalahkan Putin.
“Jika Anda benar-benar ingin mengalahkan Putin, Anda harus menjadi inovator. Anda harus berhenti bersikap membosankan. Anda tidak dapat menyakiti Putin dengan resolusi atau paket sanksi lain yang tidak ada bedanya dengan yang terdahulu. Anda tidak bisa mengalahkannya dengan pemikiran bahwa ia adalah orang yang berprinsip, memiliki moral dan aturan. Dia tidak seperti itu dan Alexey sudah sejak lama menyadari hal itu. Anda tidak sedang berhadapan dengan seorang politisi, tapi seorang monster berdarah,” jelas Yulia Navalnaya.
Pada kesempatan itu, Yulia menyampaikan bahwa pemakaman suaminya akan dilakukan di Moskow pada hari Jumat, 1 Maret. Ia tidak tahu apakah polisi akan menangkap para pelayat yang hadir.
Your browser doesn’t support HTML5
Menilik pengalaman sebelumnya ketika para pendukung Navalny berkumpul, pihak berwenang akan membubarkan apa pun yang mereka anggap sebagai demonstrasi politik, sesuai undang-undang unjuk rasa setempat.
Banyak polisi tampak berjaga di sekitar Pemakaman Borisovskoye, Moskow, Kamis (29/2), sehari sebelum Navalny akan dikebumikan. Warga yang mendatangi lokasi hari itu khawatir akan tindakan balasan hari Jumat.
Gennady, salah seorang warga Moskow, mengaku berkeliling di pemakaman itu selama tiga jam hari Kamis. “Saya tahu saya harus datang, tapi saya takut melakukannya besok. Tapi hari ini saya datang.”
Navalny meninggal pada usia 47 tahun di penjara federal Rusia yang berada di dekat lingkar Arktik, Siberia, pada 16 Februari, ketika menjalani hukuman 19 tahun penjara atas dakwaan ekstremisme. Pihak berwenang menetapkan pendukung Navalny sebagai ekstremis yang didukung AS.
Sekutu-sekutu Navalny menuduh Kremlin menghalangi upaya mereka untuk menyelenggarakan acara yang lebih besar sehari sebelum pemakaman karena takut acara itu akan menutupi pidato kenegaraan Putin yang digelar pada hari yang sama. Meski demikian, Kremlin mengatakan pihaknya tidak tahu apa-apa. [rd/jm]