Saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) beberapa waktu lalu, Lis harus berpikir keras bagaimana korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di lokasi terpencil bisa segera mendapat layanan medis.
Pasalnya, penerapan PSBB untuk meredam wabah Covid-19 di Ambon, di mana Lis mendampingi korban KDRT, mengakibatkan banyak jalur menuju rumah sakit dan kantor polisi ditutup. Kondisi tersebut mendorong perempuan asal Ambon itu untuk menggunakan Puskesmas untuk memberikan layanan medis kepada korban kekerasan, seperti layanan visum.
"Kami memang selama ini mengurus korban kekerasan terhadap perempuan dan anak selalu ke rumah sakit. Mengingat kondisi pandemi, kami mencoba mendekatkan layanan dengan kebutuhan korban. Puskesmas bisa digunakan untuk layanan korban,” tutur Lis.
Lis menceritakan pengalamannya dalam diskusi daring hasil kajian Komnas Perempuan, bertema “Gerak Juang perempuan Pengada Layanan dan {egiat Hak Asasi Manusia HAM di Masa Pandemi,” Rabu (12/8).
PSBB juga menyulitkan pelaporan kasus KDRT ke penegak hukum. Apalagi bagi korban yang tinggal di wilayah kepulauan. Pembatasan sebagian besar jalur transportasi selama masa PSBB mengakibatkan biaya transportasi semakin mahal. Belum lagi dibayangi risiko tertular virus corona.
Your browser doesn’t support HTML5
“Wilayah kami, Polres ada di mana, korban ada di pulau lain. Perlu mempermudah kepentingan korban,” ujar Lis.
Juru bicara Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, dalam diskusi yang sama mengatakan pandemi mengakibatkan pelayanan terhadap para perempuan Dan anak-anak korban kekerasan mengalami banyak kendala.
Menurut Rini –panggilan akrab Theresia, hasil kajian di 27 provinsi menunjukkan sejumlah kendala yang dihadapi dalam penangan korban KDRT selama pandemic. Antara lain, pemotongan anggaran oleh pemda karena dana digunakan untuk penangan Covid-19. Lalu, akses ke Rumah Aman, birokrasi pelaporan korban kekerasan, hingga biaya medis untuk visum dan rapid test (tes cepat)/swab (tes usap) untuk korban dan pendamping.
"Masih ada daerah yang belum punya Rumah Aman. Kalaupun punya saat pandemi ini akses terbatas. Harus patuh protokol kesehatan, menyertakan hasil rapid test," tutur Theresia.
Bahkan, imbuhnya, ada Rumah Aman yang terpaksa ditutup selama pandemi.
Para pengada layanan juga harus mengubah cara pengaduan atau pendampingan korban dari tatap muka (offline), menjadi online. Namun, kata Theresia, pengada layanan tetap mengusahakan pendampingan tatap muka.
Hasil kajian lembaga tersebut menunjukkan kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di sektor privat, publik, negara hingga online atau daring. Komnas HAM menerima hingga 1.200 kasus selama masa awal pandemi pada Maret-Mei 2020. Jumlah itu meliputi 800 kasus di ranah privat, 240 kasus di ranah publik, 20 kasus di ranah negara, dan 120 kasus di ranah maya.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Keluarga di Kementerian Kesehatan, Erna Mulati, dalam kesempatan yang sama mengatakan Kementerian Kesehatan sudah bekerja sama dengan pemda untuk menyusun panduan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
Menurut Erna, para korban kekerasan diarahkan ke rumah sakit rujukan non Covid- 19 untuk visum dan konseling. Untuk menghindari ancaman penularan Covi-19, setiap pelapor dan pendamping wajib menjalani tes kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan.
Panduan itu, kata Erna, sudah disosiliasikan hingga ke puskesmas.
"Untuk tenaga kesehatan yang menangani kasus rujukan dan jejaring penanganan mulai dari kepolisian, Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak, pendamping dan korban kekerasan bisa dilakukan dengan menjadwal pertemuan karena mereka rawan penularan Covid-19."
Pelaksana Harian Deputi Perlindungan Hak Perempuan dan Anak Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, mengatakan selama pandemi Kementerian PPA meluncurkan program “Gerakan Bersama Jaga Keluarga.” Ratna berharap gerakan ini bisa mengantisipasi kekerasan perempuan dan anak di masa pandemi.
"Ini sebagai bentuk respons kami dalam menjaga anggota keluarga terutama melindungi perempuan dan anak selama pandemi. Kami juga menyiapkan konsultasi kesehatan jiwa bagi keluarga," kata Ratna.
Sementara itu, perwakilan dari Mabes Polri, Arni, dalam diskusi tersebut mengatakan kepolisian sudah meluncurkan aplikasi HELP untuk mempermudah pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Polda Metro Jaya sudah menerapkan aplikasi tersebut.
Aplikasi itu papar Arni, terhubung dengan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di berbagai kantor polisi. Dengan menggunakan aplikasi HELP RENAKTA, korban KDRT tidak harus mendatangi kantor polisi untuk melaprkan kasus mereka.
"Namun (korban) dapat melaporkan kasus kekerasan tersebut saat masih di tempat kejadian perkara maupun dari Rumah Aman. Aplikasi itu juga terintegrasi dengan rumah sakit terdekat sebagai bentuk layanan kesehatan yang dibutuhkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” papar Arni.
Veni Siregar dari Seknas Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan, mengatakan sejak Januari hingga Juni ini ada 1.432 kasus kekerasan. Veni juga menyoroti selama ini anggaran pemerintah hanya fokus pada upaya penangangan Covid-19. Akibatnya, penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak terpinggirkan.
Veni mencontohkan Jawa Timur yang memiliki kasus kekerasan pada perempuan yang tinggi selama masa pandemi dan belum punya Rumah Aman.
Juru bicara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, Woro Sulistyaningrum mengatakan pemerintah pada 2021 akan menyiapkan Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik dalam membantu perempuan dan anak korban kekerasan. Namun Woro tidak menyebut besarnya anggaran di DAK tersebut.
Dana itu akan digunakan antara lain untuk membiayai kebutuhan medis korban, pengadaan rumah singgah atau rumah aman bagi korban, dan biaya visum korban kekerasan.
"Kita siapkan untuk daerah yang kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi. Paling tidak DAK ini bisa membantu meski belum mengcover semuanya agar di lapangan para korban kekerasan bisa terbantu optimal." [ys/ft]