Tirtawening, pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan sudah saatnya orang tua membekali anak-anak mereka dengan pengetahuan tentang bagaimana bertindak saat mengalami kekerasan. Pasalnya, kekerasan terhadap anak-anak, termasuk kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan terdekat, seperti keluarga dan sekolah, cenderung ditutup-tutupi.
“Ada PR (pekerjaan rumah) dalam memberikan pengetahuan hukum kepada anak-anak dari mungkin yang paling simple dulu, baru kemudian mengenai hak untuk bebas dari kekerasan. Apa sih yang bisa dilakukan kalau terjadi KS (kekerasan seksual), terutama di dalam rumah. Boleh tidak lari, apakah kemudian melawan orang tua itu jadi durhaka,” kata Tirtawening.
Tirtawening berbicara dalam diskusi webinar bertema “Melawan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan” yang diadakan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Kamis (23/7).
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat sebesar 65 persen, dari 1.417 pada 2019 menjadi 2.341 pada awal hingga pertengahan 2020. Sedangkan kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam keluarga tercatat sebanyak 700 kasus, atau meningkat 75 persen selama pandemi corona. Kasus kekerasan seksual meningkat sebesar 55 persen, dari 2.367 pada akhir 2019 menjadi 3.928 kasus pada Januari hingga Juli 2020.
Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum, Pengajar Bidang Studi Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam diskusi yang sama mengatakan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan itu terjadi di mana saja. Mulai dari komunitas, rumah tangga, lingkungan rumah ibadah, sekolah, hingga rumah aman.
“Biasanya anak-anak itu menjadi korban dari kekerasan di ruang-ruang yang tertutup dan tersembunyi sehingga kita tidak mengetahui bahwa di situlah terjadi. Tahunya sudah bertahun-tahun kemudian,” kata Sulistyowati Irianto.
Pengetahuan tentang merespons kekerasan menjadi penting kala kasus masuk proses penyelidikan dan persidangan.
Sulistyowati menyebut tantangan terbesar dari penanganan kasus kekerasan ini terdapat pada pihak korban, orang tua atau wali, aparat penegak hukum, hingga pemerintah. Penegakan hukum dalam kasus-kasus kekerasan terhadap anak-anak, imbuh Sulistyowati, mulai dari penyelidikan oleh kepolisian hingga persidangan cenderung menyulitkan korban. Terutama anak-anak korban kekerasan seksual.
Aparat penegak hukum, kata Sulistyowati, harus membuat terobosan hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar proses hukum yang melibatkan anak dan perempuan sebagai korban harus lebih sederhana dan memudahkan.
“Sudah banyak hukumnya, tetapi hukum acaranya menjadi menyulitkan korban karena beban pembuktian itu harus disediakan oleh korban. Harusnya kan pembuktian itu menjadi dibuat sederhana, kalau korban sudah bercerita, sudah bersaksi atas apa yang dialaminya, maka itu diterima saja, tapi kan hukum acara yang konvensional belum seperti itu,” imbuh Sulistyowati Irianto.
Iva Kasuma, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, juga mengatakan perlunya membangun sistem pengawasan dan evaluasi dari Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015, agar sejak dini efektif mencegah berbagai bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Sebetulnya yang perlu dibangun adalah sistem monitoring dan evaluasi untuk implementasi Permendikbud ini oleh semua satuan yang sudah disebutkan tadi, mulai dari Kemendikbudnya sendiri, dari pemerintah kotanya sendiri. Apalagi yang menyandang gelar kota layak anak, karena selama ini memang kurang efektif,” ujar Iva Kasuma.
Iva Kasuma berharap, pendidikan dan kepedulian terhadap anak-anak bukan hanya jadi tanggung jawab orang tua, melainkan juga seluruh masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan lingkungan, rumah, sekolah, hingga kota yang layak anak. [pr/ft]