Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia, antara lain Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Transparency International Indonesia (TII) telah mengirimkan surat ke beberapa Duta Besar negara asing di Jakarta.
Peneliti dari PSHK, Ronald Rofiandi di Jakarta, hari Selasa mengatakan surat tersebut dikirimkan ke delapan Kedutaan Besar di Jakarta, antara lain Jerman, Perancis, Inggris, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan dan India.
Ronald mengatakan surat ini dikirimkan karena selama ini para anggota DPR telah mengabaikan penolakan publik terkait studi banding mereka. Sampai dengan sekarang para anggota DPR gagal dalam mempertanggungjawabkan hasil studi banding mereka ke dalam proses legislasi dan substansi rancangan undang-undang.
Rencananya dalam waktu dekat, Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Otoritas Jasa Keuangan dari Komisi XI berencana akan melakukan studi banding ke Inggris, Perancis dan Jerman.
Sedangkan Komisi II DPR berencana akan ke India dan Tiongkok sehubungan dengan studi informasi sistem dan kependudukan.
Menurut Ronald, alasan studi banding untuk mencari masukan dalam pembuatan undang-undang mengada-ada karena banyak cara lain yang bisa ditempuh oleh para anggota DPR seperti mengundang ahli. Selain itu, studi banding juga menjadi ajang korupsi dimana para anggota DPR itu biasa membawa keluarga. Dan semua biaya yang dikeluarkan tersebut dibayar menggunakan uang negara.
“Kita sangat sayangkan uang begitu banyak keluar tapi tidak tahu letak pemanfaatannya. Menyerukan kepada terutama dalam hal ini negara-negara tujuan, penolakan terhadap permohonan pengajuan aplikasi visa khusus untuk kegiatan studi banding,” kata Ronald Rofiandi.
Peneliti Hukum dan Anggaran dari Indonesia Budget Center, Roy Salam mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigatif mengingat besarnya dana yang dialokasikan yakni 170 milyar rupiah untuk studi banding anggota DPR pada tahun 2010.
Ketua Komisi VI DPR yang membidangi masalah perdagangan, perindustrian dan BUMN, Airlangga Hartarto menegaskan studi banding sangat diperlukan oleh para anggota DPR untuk memperoleh informasi secara mendalam.
“Studi banding dimana-mana mempunyai nilai karena seperti orang kan harus melihat dan berinteraksi. Kalau bicara misalnya undang-undang investasi itu kita harus mendengar apa keinginan daripada investor luar negeri,” ungkap Airlangga Hatarto.
Sementara itu, masyarakat Jakarta yang ditemui VOA menilai studi banding DPR ke luar negeri merupakan pemborosan uang negara.
Seperti yang dikatakan Ahmad, “Menurut saya itu memboros-boroskan anggaran, cukup studi literature dan tidak perlu studi banding ke luar negeri kita kan juga banyak ahli-ahlinya kalau untuk bidang-bidang tertentu”. Sementara itu menurut Nani,“Masyarakat sangat banyak yang memerlukan uang itu”.
Komisi VI DPR berencana melakukan studi banding ke Inggris, Hong Kong dan Turki pada akhir tahun ini terkait amendemen Undang-Undang Perdagangan Berjangka Komoditi dan Undang-Undang Sistem Resi Gudang.