Dalam jumpa pers secara virtual dari Kota Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Glasgow, sejumlah CEO dari beberapa perusahaan besar Inggris berkomitmen untuk menanamkan modal sebesar $9,29 miliar dalam proyek-proyek ramah lingkungan di Indonesia
Retno mengklaim komitmen investasi tersebut menunjukkan kepercayaan Inggris terhadap komitmen dan langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim global.
"Presiden menegaskan transisi ekonomi dan energi akan dapat berjalan lebih cepat jika terdapat kerja sama internasinal, investasi dan teknologi hijau (ramah lingkungan) yang terjangkau. Oleh karena itu, Presiden menyambut baik komitmen investasi perusahaan-perusahaan Inggris ke Indonesia,” kata Retno.
Menurut Retno, kegiatan kedua yang dilakukan Presiden Joko Widodo adalah berpidato dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) Iklim Dunia di Glasgow. Presiden Joko Widodo menyampaikan pidatonya setelah Spanyol, Mauritania, dan Amerika Serikat.
Retno menjelaskan, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya kemitraan, kerja sama dan kolaborasi global dalam penanganan isu perubahan iklim. Presiden, katanya, juga menjelaskan segala langkah dan kebijakan yang sudah diambil Indonesia untuk memenuhi komitmen nol gas emisi karbon, terutama dari sektor kehutanan.
Di bidang energi, menurut Retno, Presiden Joko Widodo mencontohkan pengembangan mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru dan terbarukan termasuk bahan bakar nabati serta pembangunan industri berbasis energi bersih, seperti kawasan industri ramah lingkungan terbesar di dunia yang berlokasi di Kalimantan Utara.
Presiden Joko Widodo juga menyampaikan mobilisasi yang dilakukan Indonesia dalam hal pembiayaan iklim dan inovasi, seperti kombinasi antara obligasi dan sukuk hijau.
Masih menurut Retno, Jokowi menambahkan bahwa pendanaan iklim dari negara maju akan menjadi faktor kunci dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Tekankan Pentingnya Kerjasama Atasi Perubahan IklimPresiden Jokowi juga menjelaskan pasar karbon dan harga karbon yang harus menjadi bagian dari upaya penanganan perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif dan adil harus diciptakan.
Presiden Joko Widodo juga mengatakan, Forum AIS (negara Kepulauan dan negara pulau-pulau kecil) -- di mana Indonesia menjadi salah satu anggotanya -- telah berkomitmen untuk memajukan kerja sama kelautan dan aksi iklim di tingkat global.
Pada jumpa pers tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menjelaskan Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim dunia melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016.
Perjanjian Paris tersebut, lanjut Siti Nurbaya, berisi sejumlah poin, antara lain mencegah kenaikan suhu Bumi agar tidak sampai 1,5 hingga dua derajat Celcius.
Namun dalam KTT Iklim Dunia di Glasgow yang sedang berlangsung sekarang, para pemimpin dunia sepakat untuk menjaga kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Siti Nurbaya menambahkan pemerintah Indonesia sudah memperbarui komitmen emisi karbonnya kepada PBB pada Juli lalu. Pada komitmen pertama di 2016, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kekuatan sendiri serta hingga 41 persen dengan dukungan pendanaan dan teknologi dari internasional.
"Pada 2021 ini kita bisa mengatakan kita menuju 41 persen penurunan. Kalau dengan dukungan internasional, maka akan bisa dicapai dan mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi tanpa dukungan internasinal pun, kita tetap akan menjalankan itu dan akan berusaha mencapai itu," ujar Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya mengklaim Indonesia sudah melakukan banyak hal untuk mengatasi perubahan iklim global. Dia mencontohkan, Indonesia telah menurunkan laju deforestasi akibat kebakaran hutan, melakukan rehabilitasi hutan dan lahan seluas 3,4 juta hektare, dan membangun konservasi hutan tropis seluas 1,4 juta hektare.
Project Officer Keadilan Iklim Walhi, Abdul Ghofar, mengkritisi pemerintah. Ia mengatakan pemerintah memang sudah menetapkan target pengurangan emisi yang terkesan menjanjikan, tetapi pelaksanaannya tidak serius.
BACA JUGA: Jelang COP26, Jokowi Tegaskan Komitmen Indonesia Atasi Krisis Iklim"Catatan kami, target tersebut tidak serius, tidak ambisius dan berdasarkan analisis dokumen perencanaan yang dilakukan oleh pelacak aksi iklim, kebijakan iklim Indonesia itu masuk kategori sangat tidak memadai," tutur Ghofar.
Ia mengakui pemerintah memang sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menunjukkan komitmen dalam mengatasi perubahan iklim global. Namun dia menegaskan banyak dari kebijakan tersebut bertentangan dan malah berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru di sektor lingkungan hidup.
Your browser doesn’t support HTML5
Ghofar menyebutkan pemerintah masih mengakomodasi pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara yang selama ini merupakan salah satu penyumbang emisi gas karbon terbesar di Indonesia.
Dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan, pemerintah juga mengakomodasi berbagai produk turunan dari batu bara. Hal ini, kata Ghofar, akan mendorong lonjakan produksi batu bara. [fw/ab]