Sekjen ASEAN mengatakan, kelompok itu perlu lebih bersatu, tetapi tidak akan terpecah oleh tekanan pihak luar maupun oleh perbedaan pendapat internal mengenai sengketa Laut Cina Selatan.
ASEAN sedang berusaha menepis kekhawatiran akan perpecahan di antara negara-negara anggota, setelah pertemuan tahunan yang kacau di Kamboja gagal menyepakati sikap mengenai Laut Cina Selatan.
Empat dari 10 anggota ASEAN - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei - mengklaim bagian-bagian dari perairan itu, yang memiliki sumber perikanan yang luas, menyediakan jalur pelayaran penting bagi perdagangan dan, katanya, kaya minyak. Tetapi Tiongkok juga menyatakan punya kedaulatan yang mencakup hampir seluruh wilayah itu.
Pertemuan awal bulan ini diharapkan membantu ASEAN mencapai kesepakatan yang lebih tinggi dan menyatukan keyakinan, tetapi malah mengungkap perpecahan yang terjadi di antara blok yang relevansinya selama ini dipertanyakan oleh banyak pengamat masalah-masalah luar negeri.
Hari Rabu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan mengakui kekurangan kelompok itu dan menyatakan ASEAN harus lebih gesit dan efektif dalam menghadapi kekuatan luar.
"Negara-negara anggota ASEAN harus melakukan survei lansekap, wilayah dan perairan itu dengan sangat hati-hati, karena hal ini bisa menjadi isu kontroversi, supaya kita mampu menghindari atau mengecilkan dampaknya," ujar Pitsuwan.
Laporan yang dirilis hari Selasa oleh International Crisis Group menyebutkan ketidak-efektifan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa itu dan tindakan lebih agresif oleh negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas bagian-bagian laut tersebut menimbulkan kekhawatiran terbesar kemungkinan konflik militer di kawasan itu akan berkembang menjadi konflik bersenjata.
Analis Bryony Lau, dari Crisis Group di Jakarta, menjelaskan mengapa kemungkinan penyelesaian tetap rendah. Ia mengatakan, "Tingkat kepercayaan menurun, dan pilihan diplomatik untuk berusaha meredakan ketegangan itu, sekarang ini tidak berhasil."
Laporan Crisis Group menyebutkan Tiongkok sedang berusaha memanfaatkan perpecahan di antara anggota ASEAN dengan menawarkan perlakuan istimewa bagi mereka yang tidak memihak saingannya.
Vietnam mengangkat isu Laut Cina Selatan dalam forum regional ASEAN tahun 2010. Tahun 2011 Filipina mengangkat isu itu dengan lebih semangat. Menurut Lau, menciptakan ketegangan internal semakin memecah ASEAN.
Lau menambahkan, "Fakta bahwa negara-negara ASEAN punya kepentingan sangat berbeda, punya prioritas sangat berbeda, punya hubungan berbeda dengan Amerika dan Tiongkok, semua itu elemen yang muncul terkait kapasitas ASEAN dalam menangani Laut Cina Selatan."
Deklarasi enam pasal yang disusun Indonesia tentang bagaimana ASEAN akan terus maju dengan kode perilaku mengenai Laut Cina Selatan memberi jaminan, tetapi provokasi terus menerus dari Tiongkok tidak banyak meredakan ketegangan.
Empat dari 10 anggota ASEAN - Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei - mengklaim bagian-bagian dari perairan itu, yang memiliki sumber perikanan yang luas, menyediakan jalur pelayaran penting bagi perdagangan dan, katanya, kaya minyak. Tetapi Tiongkok juga menyatakan punya kedaulatan yang mencakup hampir seluruh wilayah itu.
Pertemuan awal bulan ini diharapkan membantu ASEAN mencapai kesepakatan yang lebih tinggi dan menyatukan keyakinan, tetapi malah mengungkap perpecahan yang terjadi di antara blok yang relevansinya selama ini dipertanyakan oleh banyak pengamat masalah-masalah luar negeri.
Hari Rabu, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan mengakui kekurangan kelompok itu dan menyatakan ASEAN harus lebih gesit dan efektif dalam menghadapi kekuatan luar.
"Negara-negara anggota ASEAN harus melakukan survei lansekap, wilayah dan perairan itu dengan sangat hati-hati, karena hal ini bisa menjadi isu kontroversi, supaya kita mampu menghindari atau mengecilkan dampaknya," ujar Pitsuwan.
Laporan yang dirilis hari Selasa oleh International Crisis Group menyebutkan ketidak-efektifan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa itu dan tindakan lebih agresif oleh negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas bagian-bagian laut tersebut menimbulkan kekhawatiran terbesar kemungkinan konflik militer di kawasan itu akan berkembang menjadi konflik bersenjata.
Analis Bryony Lau, dari Crisis Group di Jakarta, menjelaskan mengapa kemungkinan penyelesaian tetap rendah. Ia mengatakan, "Tingkat kepercayaan menurun, dan pilihan diplomatik untuk berusaha meredakan ketegangan itu, sekarang ini tidak berhasil."
Laporan Crisis Group menyebutkan Tiongkok sedang berusaha memanfaatkan perpecahan di antara anggota ASEAN dengan menawarkan perlakuan istimewa bagi mereka yang tidak memihak saingannya.
Vietnam mengangkat isu Laut Cina Selatan dalam forum regional ASEAN tahun 2010. Tahun 2011 Filipina mengangkat isu itu dengan lebih semangat. Menurut Lau, menciptakan ketegangan internal semakin memecah ASEAN.
Lau menambahkan, "Fakta bahwa negara-negara ASEAN punya kepentingan sangat berbeda, punya prioritas sangat berbeda, punya hubungan berbeda dengan Amerika dan Tiongkok, semua itu elemen yang muncul terkait kapasitas ASEAN dalam menangani Laut Cina Selatan."
Deklarasi enam pasal yang disusun Indonesia tentang bagaimana ASEAN akan terus maju dengan kode perilaku mengenai Laut Cina Selatan memberi jaminan, tetapi provokasi terus menerus dari Tiongkok tidak banyak meredakan ketegangan.