Komitmen itu disampaikan Chair of Task Force Energy, Sustainability, and Climate B20 Nicke Widyawati. The Business 20 atau B20 adalah komunitas bisnis internasional di negara-negara anggota G20. Sektor ini dituntut mendukung pemenuhan masing-masing negara mencapai komitmen net zero emission yang telah ditetapkan.
Dalam wawancara pada Jumat (25/3) malam, Nicke menyebut Presidensi Indonesia di G20 tahun ini butuh dukungan seluruh pihak. Rekomendasi dan kebijakan yang akan disusun negara anggota, harus diterjemahkan ke dalam policy action dan business action.
“Sebagai Dirut Pertamina, saya lihat ini sangat sejalan sekali, karena Pertamina punya kontribusi yang signifikan di dalam energi di Indonesia. Sehingga agenda G20 yang merupakan agenda global untuk melakukan energy transition ini pun menajdi agenda besar bagi Pertamina,” ujarnya.
Dua Pendekatan, Tiga Fokus
Nicke menjelaskan, ada sejumlah langkah yang diambil sektor bisnis dalam gugus tugas energi, keberlanjutan dan iklim. Pertama, ujarnya, adalah melihat target negara karena ada grand energy strategy nasional yang sudah ditetapkan pemerintah, yang memuat tahapan-tahapan transisi energi di Indonesia. Pemerintah menetapkan mengapa, apa dan kapan target transisi energi itu, sedangkan sektor bisnis menjabarkan bagaimana mencapainya.
“Karena sebagai pelaku kita memahami betul, apa yang kita perlukan dan apa yang akan kita lakukan untuk mencapai target tersebut. Peran B20 harus memastikan bahwa agenda besar transisi energi Indonesia ini harus masuk dalam policy recommendations dan policy action di G20 tahun ini,” tambahnya.
Kedua, lanjut Nicke, masing-masing negara mempunyai karakteristik dan tantangan berbeda dalam transisi energi, walaupun tujuannya sama. Karena itu, sebagai Chair B20 Energy Task Force, Nicke yang juga Direktur Utama Pertamina harus melihat secara komprehensif seluruh kepentingan di negara-negara G20.
“Harus kita atur, sisi mana mana yang bisa kita sinergikan agar developing country seperti Indonesia, bisa segera melakukan akselerasi transisi energi melalui prgram kerja sama dengan negara maju.
BACA JUGA: Indonesia Tegaskan Komitmen EBT Melalui Prakarsa PertaminaFokus utama sektor bisnis di G20, lanjut Nicke, setidaknya ada tiga, yaitu akselerasi transisi energi, pendanaan dan kerja sama global.
Indonesia, lanjutnya akan menjalankan akselesasi transisi energi dengan tiga pedoman, yaitu energy security, accessibility dan affordability. Prinsipnya, transisi energi itu harus berjalan adil dan terjangkau untuk semua pihak. Peralihan dari energi fosil ke energi baru terbarukan, tidak boleh meningkatkan angka kemiskinan, apalagi saat ini Indonesia masih didominasi sumber energi fosil.
Sedangkan pendanaan butuh perhatian, karena sektor bisnis memahami transisi energi membutuhkan biaya besar. Karena itulah, fokus terakhir adalah kerja sama global untuk mencapai tujuan itu bersama-sama.
“Sektor bisnis dunia ada yang masih didominasi oleh fosil energy, dan ada yang sudah 100 persen renewables energy. Jadi menarik, merekapun masing-masing punya kepentingan. Kita harus menjembatani dan mengakomodasi menjadi satu kesepakatan,” imbuhnya.
Pengembangan Teknologi
Pertemuan delegasi 1st Energy Transitions Working Group (ETWG) sendiri berlangsung 24-25 Maret 2022 di Yogyakarta. Salah satu tema perbincangan utama dalam pertemuan ini adalah dekarbonisasi pembangkit listrik.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif dalam keterangan kepada media di Yogyakarta mengatakan, khusus untuk energy transition working group, tiga isu utama yang disepakati adalah akses untuk energi, teknologi dan pendanaan.
“Khusus mengenai akses, kita harus memberikan akses kepada seluruh masyarakat untuk bisa menikmati energi. Untuk itu, diperlukan infrastruktur yang mendukung,” kata Arifin.
Untuk pemanfataan energi baru terbarukan, lanjut Arifin, dibutuhkan teknologi pendukung. Karena itu, tugas selanjutnya adalah menghadirkan teknologi yang reliable dan kompetitif.
“Dari pembicaraan, dari 46 teknologi baru baru enam teknologi yang terbukti kompetitif,” tandasnya.
Dari sisi pendanaan, kata Arifin, dukungan dibutuhkan dari sektor bisnis karena transisi energi akan membutuhkan pendanaan besar. Karena itu, negara-negara dalam kelompok G20, yang memberikan kontribusi 80 persen dari perekonomian dunia, harus memastikan dukungannya. Sektor bisnis harus sadar, bahwa dukungan itu juga demi kepentingan mereka.
BACA JUGA: Indonesia Gunakan Presidensi G20 untuk Perkuat Komitmen Transisi Energi“Kita harus mitigasi biayanya. Biaya dan manfaat di masa depan harus dipertimbangkan. Kalau kita tidak melakukan transisi, industri kita produknya akan terkena pajak karbon di luar. Akibatnya produknya tidak kompetitif,” ujar Arifin.
Pembelian Listrik EBT
Dalam rangkaian 1st Energy Transitions Working Group (ETWG) G20 di Yogyakarta, dilakukan juga penandatanganan kerja sama pemenuhan tenaga berasal dari pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Enam pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) melakukan pembelian Renewable Energy Certificate (REC) sebesar 800 ribu megawatt-hours (MWh).
Keenam perusahaan itu adalah H&M Indonesia, PT Goto Gojek Tokopedia, PT Stargate Mineral Asia, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Georg Fischer Indonesia, dan Istana Kepresidenan Bogor.
Pembelian REC merupakan langkah nyata kerja sama dan dukungan pelaku bisnis untuk transisi menuju energi terbarukan, sejalan komitmen Indonesia sebagai tuan rumah G20 menekan emisi karbon dunia.
Kontrak pembelian REC ini berlangsung dalam durasi kerja sama 1-5 tahun, dan diyakini memberikan dampak positif sektor bisnis. Keenam pelanggan PLN ini memperoleh opsi pemenuhan target 100 persen penggunaan EBT yang transparan dan diakui secara internasional. Pelaku bisnis juga tidak perlu mengeluarkan biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur. [ns/ah]